NovelToon NovelToon
Garis Takdir (Raya)

Garis Takdir (Raya)

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Nikah Kontrak / Mengubah Takdir / Penyesalan Suami / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

••GARIS TAKDIR RAYA••

Kehidupan Raya Calista Maharani penuh luka. Dibesarkan dalam kemiskinan, dia menghadapi kebencian keluarga, penghinaan teman, dan pengkhianatan cinta. Namun, nasibnya berubah saat Liu, seorang wanita terpandang, menjodohkannya dengan sang putra, Raden Ryan Andriano Eza Sudradjat.

Harapan Raya untuk bahagia sirna ketika Ryan menolak kehadirannya. Kehidupan sebagai nyonya muda keluarga Sudradjat justru membawa lebih banyak cobaan. Dengan sifat Ryan yang keras dan pemarah, Raya seringkali dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan atau menyerah.

Sanggupkah Raya menemukan kebahagiaan di tengah badai takdir yang tak kunjung reda?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 32: Hukuman

"Ekhmm..... " Suara deheman itu, yang terdengar seperti klarifikasi tak sengaja, berhasil membuat dua insan yang sedang saling bertatapan itu mengalihkan perhatian mereka. Mata keduanya tertuju pada sumber suara itu, dan jantung Raya seakan berhenti sejenak.

"Kak Ryan!" Raya terkejut, suaranya hampir tercekat. Ia tak menyangka bahwa Ryan benar-benar datang menjemputnya. Ryan berdiri tegak di ambang pintu, sosoknya tampak begitu tenang namun penuh kewibawaan. Raya hampir tak percaya, bahkan calon suaminya itu menjemputnya sampai ke depan pintu masuk kediaman utama keluarga Louwis. Raya bertanya-tanya, bagaimana mungkin Ryan bisa diizinkan masuk oleh penjaga gerbang yang biasa sangat ketat?

Arka melepaskan cengkraman tangannya di pinggang Raya, dan tersenyum tipis, tatapannya tetap terkunci pada Ryan. Senyum itu seolah penuh makna, seperti sedang menantang pria yang kini berdiri dengan angkuh di pintu masuk mansion tersebut.

Mata Arka tak lepas dari Ryan, dan di balik tatapan itu ada ketegangan yang semakin jelas terasa di antara keduanya.

"PULANG!!" Ryan akhirnya berbicara dengan suara yang begitu tegas, meski raut wajahnya terlihat datar, sebuah perintah yang keluar dengan nada yang lebih keras dari biasanya. Meski tak ada ekspresi marah yang mencuat, namun ada kekuatan yang memancar dari tatapan matanya yang tajam. Raya merasa tubuhnya sedikit tegang mendengar perintah itu. Namun di sisi lain, matanya tetap terpaku pada dua pria yang ada di hadapannya, seperti dua dunia yang saling bertabrakan.

"Pulanglah... Tapi aku serius tentang ucapanku barusan. Kamu boleh memikirkannya. Dan ya, tolong simpan baik-baik cincin itu, Ray," ujar Arka, suaranya terdengar dalam dan mantap. Dengan perlahan, dia melepaskan tangannya dari genggaman tangan Raya, seolah berat untuk melakukannya.

Raya terdiam, bingung harus menjawab apa. Namun sebelum dia sempat membuka mulut, suara tinggi yang memecah keheningan membuat tubuhnya terkejut.

"KAMU TULI, HUH?!" bentak Ryan dari ambang pintu, nada tajamnya memenuhi seluruh ruangan. Raya tersentak, tubuhnya bergetar oleh nada kemarahan pria yang kini berdiri dengan wajah penuh amarah. Dia segera berjalan terburu-buru menghampiri Ryan, takut situasi semakin memanas. Ryan, tanpa banyak bicara, langsung menarik tangan Raya dengan kasar.

"Pulang," ujarnya dingin. Langkah Ryan yang besar membuat Raya kesulitan mengimbangi. Kakinya terseret dan beberapa kali tersandung.

"Kak, tunggu... pelan sedikit," pinta Raya dengan suara lirih, tapi Ryan tidak menggubris.

Bruk! Raya terjatuh ke lantai kasar, lututnya tergores, tapi Ryan hanya mengangkatnya dengan kasar, menyeretnya lagi menuju mobil yang terparkir di halaman.

Arka hanya berdiri mematung di depan pintu mansion, rahangnya mengeras melihat wanita yang berhasil mengisi hatinya diperlakukan dengan semena-mena oleh calon suaminya sendiri. Tatapannya tajam, penuh amarah yang ditahan. Dia mengepalkan tangannya, tapi memilih tetap di tempat, menghormati keputusan Raya yang memilih pria itu..

"Sepertinya kamu berbohong, Ray... Tidak mungkin kamu mencintai pria seperti dia. Jika mau, aku bisa membantumu, tapi katakan dari sekarang. Aku tidak akan bisa menyentuhmu lagi jika kamu sudah resmi menjadi bagian dari keluarga Sudradjat itu," batin Arka dengan tatapan nanar, menyaksikan punggung Raya yang semakin menjauh bersama Ryan. Hembusan angin malam menyapu wajah Arka, namun hatinya terasa jauh lebih dingin dari udara sekitar.

••

"MASUK!" bentak Ryan kasar, mendorong Raya tanpa perasaan hingga tubuhnya terhuyung masuk ke dalam mobil. Raya duduk dengan ketakutan, kedua tangannya menggenggam erat rok yang dipakainya. Jantungnya berdetak kencang saat melihat Ryan menginjak pedal gas hingga mobil melaju dengan kecepatan tinggi, nyaris tanpa memedulikan rambu-rambu lalu lintas.

Raya menggigit bibir bawahnya, menahan tangis yang ingin pecah. Pemandangan kota malam yang biasanya indah terasa buram oleh kecemasannya. Tak sampai tiga puluh menit, mereka tiba di depan rumah Raya—bangunan megah berlantai dua yang diberikan oleh Liu. Udara seharusnya terasa lebih lega setelah keluar dari mobil, namun tidak bagi Raya.

Ryan membuka pintu mobil dengan kasar dan kembali menyeret Raya tanpa memberi kesempatan untuk berjalan sendiri.

Brukk!

Ryan menendang pintu rumah dengan keras, hingga pintu itu terbuka dengan satu tendangan kuat. Suara benturan kayu yang memekakkan telinga memenuhi ruang tamu.

Brughhhhh...

Raya terjatuh ke lantai akibat dorongan Ryan, lututnya menghantam permukaan keras dengan perih yang menyebar hingga ke tulang. Air matanya mulai mengalir tanpa bisa ditahan.

"Dasar wanita tidak tahu diri! Kemarin kamu menunduk layaknya seekor anjing yang patuh, dan sekarang malah dengan berani tidur di rumah pria lain?," bentak Ryan dengan wajah penuh amarah.

Raya terisak, tubuhnya gemetar ketakutan. Matanya membulat saat Ryan mulai membuka ikat pinggangnya. Ingatan akan ancaman Arka dulu kembali menghantui pikirannya.

"Kumohon, Kak... Aku bisa menjelaskan semuanya," pintanya dengan suara serak, mencoba menahan gemetar tubuhnya.

"Penjelasan apa?" tanya Ryan dingin, mendekat dengan langkah lambat namun mengancam. Raya terus meringsut mundur.

"Aku hanya membantu saja, Kak... Semalam dia masuk rumah sakit, dan aku hanya menemani dia. Aku tidak melakukan apa pun dengannya," jawab Raya putus asa, air matanya semakin deras. Ryan berhenti sejenak, menatap Raya dengan wajah datar yang justru terasa jauh lebih menyeramkan daripada ekspresi marahnya.

"Baik sekali..." sindir Ryan dengan nada rendah yang tajam.

"Kumohon, Kak..." Raya kembali memohon dengan suara tersendat. Tubuhnya gemetar hebat, sementara ketakutan mencengkeram hatinya seperti belenggu yang tidak terlihat.

Ryan berdiri di hadapannya dengan napas yang memburu, matanya memancarkan kemarahan yang sulit dijinakkan. Wajahnya memerah, rahangnya mengeras seolah menahan amarah yang sudah meluap.

"Kamu tahu?" suaranya tajam, menusuk hingga ke tulang. "Tadi sore saya dan ibu saya datang ke sini untuk menemui kamu. Aku dengan suka rela membuang waktu berharga hanya untuk itu!" Ia berhenti sejenak, menatap Raya dengan tajam sebelum melanjutkan dengan nada tinggi "TAPI APA YANG KAMU LAKUKAN? KAMU MALAH TIDAK ADA DI RUMAH DAN LEBIH MEMILIH MENGINAP DI RUMAH PRIA LAIN!" Raya menelan ludah dengan susah payah, kedua tangannya gemetar saat mencoba menjelaskan.

"Aku tidak tahu kalau kalian akan datang, Kak... Dan aku sama sekali tidak menginap di sana," katanya terbata, suaranya penuh ketakutan.

"Begini kah sifat aslimu?" sindir Ryan dingin.

"Tidak, Kak... Aku tidak melakukan apa pun!" Raya terus meringsut mundur, tubuhnya bergetar hebat. Namun Ryan tidak memberikan ruang untuknya. Dengan gerakan cepat, pria itu menarik pergelangan kakinya hingga Raya terseret mendekat ke arahnya. Raya tersentak, terperangkap dalam cengkeraman yang kuat.

"Setiap kesalahan itu harus ada hukumannya, kan?" ujar Ryan dengan nada dingin yang menakutkan. Raya menggigit bibir bawahnya, rasa takut semakin memuncak ketika melihat Ryan melayangkan ikat pinggang yang telah dia genggam erat.

Plakk!

Sabetan pertama mengenai betis Raya dengan keras.

"Ahhh!" jerit Raya tertahan, rasa perih menjalar seketika di kulitnya.

Ctasss! Ctasss!

Cambukan berikutnya datang tanpa ampun. Ryan seolah buta dan tuli, tidak peduli pada jeritan dan tangisan Raya yang memohon ampun.

"Akh... Maaf, Kak! Aku tidak melak..." suara Raya terputus oleh sabetan yang terus datang tanpa jeda.

Ctasss! Ctasss!

Raya tergeletak lemah di lantai, tubuhnya bergetar hebat. Rasa sakit menjalari setiap inci tubuhnya, bercampur dengan perasaan ngeri yang semakin menguasai pikirannya.

"Sakit... Kak, maafkan aku... Aku tidak melakukan apa pun, demi Tuhan," isaknya dengan suara bergetar, mencoba mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata.

Namun Ryan tetap tidak bergeming. Tangannya yang memegang ikat pinggang terus bergerak seolah dipenuhi oleh amarah yang tidak terbendung. Raya hanya bisa pasrah, merasakan perih yang menancap tidak hanya di tubuhnya, tetapi juga di hatinya.

"Kamu sudah berani membuat ibu saya kecewa. Semua ini sangat pantas diterima oleh wanita sepertimu. Lihat saja, di setiap apapun yang kamu lakukan, kamu akan menerima konsekuensinya sendiri! Kamu paham?" ujar Ryan dengan nada tinggi yang menusuk, suaranya menggetarkan udara di ruangan itu. Raya hanya bisa mengangguk, tubuh ringkihnya tampak bergetar hebat menahan rasa takut dan sakit yang mendera tubuhnya secara bersamaan. Pandangannya kosong, namun matanya terus mengikuti langkah Ryan yang masuk ke sebuah kamar di rumah itu, seolah-olah itu adalah rumahnya sendiri. Setelah mengucapkan kalimat itu, Ryan berlalu begitu saja, meninggalkan Raya yang terdiam, merintih kesakitan karena ulahnya yang tak terduga.

"Apa ini Tuhan? Kenapa Kau tidak pernah adil padaku? Kurang menderita apa aku selama hidup dengan keluargaku, Tuhan... Kenapa Kau menghadirkan pria seperti dia dalam hidupku? Aku tidak suka padanya..." Raya menangis tersedu-sedu, suara isakannya terpecah-pecah, merasakan luka batinnya yang tak kalah sakitnya dengan luka fisik di betisnya, yang sedikit berdarah karena pukulan Ryan.

"Sakit... Aku tidak mau menikah dengannya, tolong aku, Tuhan..." Tangisnya semakin pecah, seolah semua beban hidupnya mengalir keluar dari matanya.

Raya mencoba bangkit, mengumpulkan sedikit tenaga untuk berjalan ke kamarnya. Namun sayang, tubuhnya yang lemah tak mampu menopang berat dirinya, dan dengan langkah goyah, kakinya akhirnya menyerah. Tubuhnya terjatuh, ambruk begitu saja di lantai, terkulai lemas tanpa daya. Di saat itu, gelap perlahan menyelimuti pandangannya, dan Raya akhirnya pingsan, tak mampu melawan rasa sakit dan keletihan yang menghancurkan tubuhnya.

........

Mentari pagi menyeruak masuk melalui celah pintu yang sedikit terbuka, sinarnya menyentuh wajah Raya yang terbaring di lantai. Sinar matahari itu seperti tamparan yang mengganggu kedamaian tidurnya, membuat tubuh ringkihnya terbangun dengan tersentak.

"Uhh..." Raya meringis, merasakan sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya. Setiap gerakan terasa begitu menyakitkan, seolah tubuhnya bukan miliknya lagi. Dia menatap pintu yang sedikit terbuka, dan tanpa sadar ingatan semalam kembali muncul. Bayangan wajah Ryan yang penuh amarah dan tindakan kekerasan itu berputar-putar di kepalanya, seperti terjebak dalam lingkaran yang tak bisa lepas.

Raya menunduk, melihat betisnya yang membiru akibat cambukan Ryan semalam. Pemandangan itu membuat hatinya semakin perih. Dengan susah payah, ia berusaha untuk bangkit, menahan rasa sakit yang mendera tubuhnya. Dengan langkah terhuyung, ia berusaha menutup pintu utama rumahnya yang terbuka, seakan menutupi kenangan buruk yang ingin ia lupakan. Meskipun tubuhnya tak sekuat biasanya, Raya bertekad untuk tetap melangkah.

Setelah menutup pintu, Raya perlahan berjalan menuju kamar untuk bersiap-siap. Dia tak ingin ada yang menghalangi langkahnya meski tubuhnya terasa sangat lemah. Sesampainya di depan jendela, matanya secara otomatis terarah pada garasi. Sebuah mobil sport mewah milik Ryan masih terparkir di sana, sebuah tanda bahwa Ryan belum pulang sejak semalam.

"Dia belum pulang," ujar Raya pelan, hampir tak ada perasaan saat melihat mobil itu. Namun, ia memutuskan untuk tidak ambil pusing. Yang terpenting saat itu adalah dia harus tetap melanjutkan hidupnya meski dengan segala luka dan penderitaan yang belum sembuh.

Dengan langkah tertatih dan hati yang penuh kekhawatiran, Raya melanjutkan perjalanannya menuju kamar yang terletak di lantai dua. Setiap langkahnya terasa berat, namun ia tetap memaksakan diri untuk pergi ke kampus.

1
Nunu Izshmahary ula
padahal cuma bohongan, tapi posesif banget 😅
Nunu Izshmahary ula
emang gak kebayang sih se desperate apa kalau jadi Raya, wahhh🥹🙈
Nunu Izshmahary ula
keluarga Raya gaada yg bener 🤧 orang tua yang seharusnya jadi pelindung pertama untuk seorang anak, malah menjadi orang pertama yang memberikan lukaಥ⁠‿⁠ಥ
Nunu Izshmahary ula
raya bego apa gimana sihh 😭 bikin gregetan deh .. lawan aja padahal
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!