••GARIS TAKDIR RAYA••
Kehidupan Raya Calista Maharani penuh luka. Dibesarkan dalam kemiskinan, dia menghadapi kebencian keluarga, penghinaan teman, dan pengkhianatan cinta. Namun, nasibnya berubah saat Liu, seorang wanita terpandang, menjodohkannya dengan sang putra, Raden Ryan Andriano Eza Sudradjat.
Harapan Raya untuk bahagia sirna ketika Ryan menolak kehadirannya. Kehidupan sebagai nyonya muda keluarga Sudradjat justru membawa lebih banyak cobaan. Dengan sifat Ryan yang keras dan pemarah, Raya seringkali dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan atau menyerah.
Sanggupkah Raya menemukan kebahagiaan di tengah badai takdir yang tak kunjung reda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34: Kebahagiaan kecil
Jam Pulang...
Langit sore mulai bergradasi dengan warna jingga yang samar, membayangi seluruh sudut kampus. Hiruk-pikuk mahasiswa yang baru saja selesai kuliah memenuhi area parkiran dan jalan utama kampus. Suara langkah kaki dan deru kendaraan saling bersahutan. Beberapa mahasiswa terlihat bercengkerama sambil tertawa, sementara yang lain buru-buru berjalan menuju halte atau kendaraan mereka masing-masing.
"Ayo lah, Ray... Masa selama kita berteman kamu tidak pernah mampir sama sekali ke rumahku?" ucap Mia sembari bergelayut manja di lengan Raya, tatapan matanya penuh harap. Raya menghela napas panjang, mencoba tersenyum meski seluruh tubuhnya terasa nyeri akibat perlakuan Ryan semalam.
"Lain kali saja ya, Mia. Kamu kan tahu kalau kita harus rajin belajar supaya IPK kita bagus. Aku tidak sabar ingin segera lulus dan mengejar cita-citaku selama ini," ujarnya, berusaha menyembunyikan rasa sakit di balik alasan klise. Mia menyipitkan mata, menatap sahabatnya dengan penuh curiga.
"Kita pasti lulus dengan IPK bagus kok, Raya. Kamu tahu sendiri nilai kita tidak sejelek itu. Jadi, ayolah... aku mohon. Masa kau tega meninggalkan aku sendirian di rumah? Kak May asyik dengan dunianya sendiri, tidak pernah peduli padaku." Nada suaranya terdengar mendramatisir, seakan dunia akan runtuh jika Raya tidak ikut.
"Baiklah, Nyonya Drama. Pintar sekali kamu membujukku," ucapnya dengan nada bercanda, meski hatinya masih diliputi kegelisahan.
Mia bersorak kecil sambil menarik tangan Raya. Mereka segera memesan taksi untuk menuju rumah Mia yang tidak terlalu jauh dari universitas. Jalanan siang itu cukup lengang, membuat perjalanan hanya memakan waktu sekitar dua puluh lima menit..
Begitu sampai, Mia langsung menggiring Raya masuk ke dalam rumah yang Raya anggap besar dan megah, dengan halaman yang tertata rapi serta pintu depan yang tinggi. Langit-langit rumah itu tinggi, memberikan kesan lapang dan elegan. Aroma harum lavender menyambut mereka begitu memasuki ruang tamu.
"Selamat datang di istanaku, yang sepi ini, Tuan Putri!" seru Mia dengan gaya bercanda, sembari melambaikan tangan ke arah sofa empuk berwarna krem yang terletak di tengah ruangan besar itu. Dia tersenyum lebar, mencoba mencairkan suasana.
"Seluas ini dan kalian hanya tinggal berdua?" tanyanya dengan heran, takjub dengan kemewahan yang ada di sekelilingnya. Ruangan itu terasa begitu sepi meski dihiasi dengan perabotan mewah dan dekorasi yang elegan.
"Ummm... Itulah sebabnya aku mengajakmu ke sini. Aku selalu kesepian, Raya. Kak May jarang sekali ada di rumah, jadi aku hanya sendirian. Mommy dan Daddy juga jarang kesini," jawab Mia, suaranya terasa sedikit patah, mencerminkan betapa ia merindukan kehadiran orang-orang terdekatnya. Raya tersenyum lembut dan duduk di sofa, mengangkat pandangannya menatap Mia.
"Sekarang kan ada aku, aku ada di sini, tenang saja," ujarnya, berusaha meyakinkan sahabatnya itu dengan senyum hangat.
"Kamu juga sendirian kan di rumah?" tanyanya lagi, penasaran.
"Iya," jawab Raya, sedikit ragu sebelum melanjutkan, "Tapi aku tidak kesepian karena aku memang suka ketenangan." Senyumnya yang tenang seolah menunjukkan bahwa dia sudah terbiasa dengan kesendirian itu.
"Ouh ya... kamu ganti baju dulu, pakai saja bajuku, anggap rumah sendiri. Kamar ku yang itu, aku sudah menyiapkan bajunya di atas tempat tidur sebelum aku pergi ke kampus tadi pagi, karena aku memang sudah berniat mengajak mu main," Matanya berbinar-binar karena senang akhirnya bisa membujuk sahabatnya itu untuk datang ke rumahnya. Raya tersenyum kecut, merasa sedikit canggung dengan keramahan Mia, namun dia tahu sahabatnya itu hanya ingin membuatnya merasa nyaman.
"Baiklah. Aku masuk ya terimakasih banyak,," jawab Raya, sambil beranjak menuju kamar Mia, meninggalkan gadis itu yang masih duduk di sofa, terlihat sedikit merenung. Mia memang selalu merasa kesepian di tengah kehidupannya yang bergelimang harta dan serba tercukupi oleh kedua orang tuanya. Meski rumah megah dan fasilitas yang dimilikinya lebih dari cukup, tak ada yang bisa menggantikan kehadiran orang-orang yang dia cintai di sisinya.
Mia hanya tinggal berdua saja dengan sang kakak, Ulamay, karena kedua orang tuanya tinggal di Kuala Lumpur, Malaysia. Alasan mengapa Mia dan Ulamay memilih tinggal sendiri di jakarta, dibandingkan ikut dengan orang tua mereka, adalah karena Ulamay yang memilih untuk bekerja di Jakarta daripada di tempat kelahirannya (Kuala Lumpur), ditambah Mia yang ingin melanjutkan kuliahnya di universitas yang ada di Jakarta, supaya bisa dekat dengan sang kakak.
Aziz Rakib Johari, ayah Mia, tidak merasa keberatan sama sekali dengan hal itu, karena dia merasa kedua putrinya sudah cukup dewasa dan bisa mengurus diri sendiri. Namun, sebenarnya, Nor Ismawati Johari, ibu Mia, sedikit keberatan karena harus jauh dari kedua putri kesayangannya. Terlebih lagi, keluarga Johari bukanlah keluarga biasa. Kekayaan mereka tidak perlu dipertanyakan lagi. Meski demikian, demi menuruti keinginan kedua putrinya, sang ibu terpaksa harus mengalah. Walaupun pada akhirnya mereka menjadi sangat jarang bertemu, kesibukan keduanya yang begitu padat, yang mengharuskan mereka bolak-balik ke luar negeri, membuat keduanya sulit untuk mampir ke rumah putri-putri mereka itu.
.. BACK TO STORY..
Sekitar lima menit kemudian, keduanya kini sudah berada di dapur rumah Mia. Suasana dapur yang hangat itu terasa nyaman, dengan aroma mie yang mulai tercium. Dua wanita itu sedang memasak mie untuk makan malam mereka. Setelah mie matang, mereka langsung bergegas menuju kamar Mia, membawa mangkok penuh mie yang masih mengepul.
"Bagaimana, ada pria sesempurna dia di dunia ini, Raya? Dia sangat tampan," ujar Mia dengan mata berbinar, memperhatikan aktor yang sedang beradu peran dengan lawan mainnya. Sorot matanya tak lepas dari layar laptop, seolah ingin meneliti setiap gerakan sang aktor.
"Ntah, dia memang sangat tampan," jawab Raya, sembari menyuapkan mie pedas ke mulutnya. Suasana kamar yang remang-remang hanya diterangi cahaya dari layar laptop dan lampu meja, membuat mereka merasa nyaman.
"Eh, Ray, kalau dilihat-lihat, dia mirip banget dengan kakak tingkat kita itu kan... emhh, si kak Arkana itu, iyakan?" Tanya Mia sumringah, sambil sesekali menoleh ke Raya untuk mencari persetujuan.
"Emm... iya juga, kenapa aku baru sadar kalau mereka mirip," ujar Raya yang mengangguk pelan, sedikit terkejut dengan kesamaan yang Mia sebutkan.
"Raya... kau kan pacar dia, apa kau tahu kenapa kak Arkana akhir-akhir ini jarang masuk?" tanya Mia, matanya menatap tajam sahabatnya dengan rasa ingin tahu yang tak terbendung. Namun, pertanyaan Mia itu justru membuat Raya tersedak oleh mie yang tengah dikunyah nya. Mie pedas yang seharusnya nikmat justru terasa panas di tenggorokan, dan Raya mulai terbatuk. Mia yang melihatnya langsung panik, mengambil gelas minum dan buru-buru menyodorkannya ke tangan Raya.
Raya akhirnya bisa mengatur napasnya dan merasa sedikit lega setelah meneguk air. Wajahnya yang semula pucat kini mulai kembali ke warna aslinya.
"Ka... kata siapa kami pacaran? Jangan mengarang, Mia!" ujar Raya sambil masih terengah-engah, berusaha menenangkan diri.
"Heii, ayolah jangan menyembunyikan apapun dariku, aku tahu semuanya. Ehh, bukan hanya aku, tapi semua orang juga tahu kalau kalian pacaran. Jangan lupakan, kak Arkana pernah menyatakan hal itu sendiri," ujar Mia dengan senyum lebar, matanya menyipit karena sedang mengingat dengan jelas saat Arka dengan tegasnya mengatakan jika tidak ada yang boleh mengganggu Raya karena dia adalah kekasihnya sekarang.
"Mia... menurutmu kak Arka itu baik nggak?," tanya Raya, suaranya terdengar ragu, seperti sedang mencari kejelasan yang seakan belum dia temukan.
"Hehyy, stupid manalah saya tahu, dia itu boyfriend awak, bukan boyfriend aku! Kenapa awak tanya aku?" jawab Mia sambil tertawa kecil, menggunakan logat khas Malaysia yang lebih terasa ketika dia menjawab pertanyaan itu.
"Hehehe... Sudahlah, untuk apa membahas hal tak penting? Lebih baik kita lanjutkan menonton saja," ujar Raya, mencoba mengalihkan pembicaraan. Untungnya, Mia pun mengangguk setuju, mematikan sejenak obrolan itu dan kembali menikmati waktu mereka bersama.
Sudah beberapa judul drama Korea yang mereka tonton bersama, dari satu ke satu, tanpa sadar waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Keasyikan mereka menonton membuat mereka tidak peduli dengan berjalannya waktu, banyak tawa dan tangis yang mereka lalui hanya karena menonton Drakor.
"Aku tidak menyangka ending-nya sesedih ini, huaaaaaaa! Raya tak nak macam ni!" ujar Mia sambil memukul-mukul bantal, terlihat frustasi dengan drama yang baru saja mereka tonton. Karakter pria dalam drama itu meninggal dunia, dan Mia sangat terpengaruh.
"Ini menyedihkan... kenapa orang baik selalu Tuhan ambil lebih dahulu?," ujar Raya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Huaaaaaaa, Raya... aku nggak mau nonton lagi, hatiku sakit!" ujar Mia, langsung memeluk sahabatnya itu. Raya yang ikut terbawa suasana juga memeluk Mia. Saat mereka berpelukan, tiba-tiba suara langkah kaki terdengar di luar kamar. Pintu terbuka dengan cepat, dan Ulamay, yang baru pulang dari bekerja, muncul dengan ekspresi bingung.
"Heyy... kalian kenapa?" tanya Ulamay, suaranya terdengar cemas saat dia melihat kedua adiknya terisak. Dia tidak sengaja lewat di depan kamar adiknya dan mendengar suara tangisan mereka. Instingnya langsung bereaksi, panik melihat kondisi adiknya seperti itu, terutama ketika dia melihat Raya yang biasanya tegar, kini terisak dalam pelukan Mia.
"Huaaaaaaa, Kak May... dia... dia sudah meninggal!" Ujar Mia dengan suara tercekat, langsung berlari ke pelukan sang kakak. Ulamay, yang merasa cemas, segera membalas pelukan adiknya itu. Dahi Ulamay berkerut, matanya menatap penuh tanda tanya.
"Siapa yang meninggal, Mia? Katakan," ujar Ulamay, suaranya bergetar, berusaha tetap tenang.
"Pria baik itu mati, Kak... istri-nya sendiri yang menghabisi nyawa-nya... aku ingin membuat wanita ular itu menyesal, huaaaaaaa!" Tangis Mia semakin keras, seakan tak bisa berhenti.
"Lepas dulu, Mia," ujar Ulamay, melepaskan pelukan sang adik dengan lembut. "Kalian berdua ini kenapa? Siapa yang meninggal? Pria baik siapa? Dan kenapa istri-nya menghabisi pria itu? Katakan pelan-pelan, Kakak pusing," tambahnya, mencoba menenangkan Mia yang semakin panik.
"Dia pemain utama-nya, Kak... huaaaaaa... kasihan sekali pria itu," lanjut Mia menjelaskan.
"Pemain utama?" Ulamay mengernyitkan dahi, kebingungannya makin menjadi. "Ak...," Ulamay berdeham, matanya terbuka lebar saat menyadari sesuatu, "Jangan bilang kalian berdua menangis gara-gara Drakor?," Tanya Ulamay dengan nada skeptis.
Sebelum Mia atau Raya bisa memberikan jawaban, Ulamay sudah tahu jawabannya. Tanda-tanda itu jelas, dengan laptop yang masih menyala di meja samping mereka dan bekas makanan yang berserakan di lantai. Itu adalah bukti takea terbantahkan bahwa adiknya sedang menangis karena drama Korea, sesuatu yang sering terjadi saat alur cerita mencapai puncaknya yang tragis.
"Keterlaluan kalian, membuatku panik saja! Mia, mulai sekarang sampai seminggu ke depan jangan pernah menonton drakor lagi, atau Kakak akan sita laptop kamu," ujar Ulamay dengan tegas, membuat wajah Mia langsung cemberut.
"Itu tidak adil! Masa cuma aku saja yang dihukum? Raya juga menangis. Apa Kakak tidak merasa di-prank juga oleh dia?" protes Mia sambil memanyunkan bibirnya.
"Tentu saja Raya juga akan dihukum," sahut Ulamay sambil melirik Raya yang menunduk malu.
"Maafkan aku, Kak. Aku terbawa suasana," ujar Raya dengan suara lirih.
"Tentu saja aku memaafkan mu, Dek. Tapi hukumanmu tetap berjalan!" Ulamay terkekeh, puas melihat wajah bingung adiknya.
"Apa hukumannya?" tanya Raya penasaran, sedikit menyesal telah menangis tanpa alasan jelas.
"Menginap lah semalam saja di sini. Dan ya, aku tidak menerima penolakan," jawab Ulamay sambil berbalik meninggalkan kamar.
"Haiss, ini gara-gara kamu, Mia. Aku harusnya pulang, tapi kenapa malah jadi menginap di sini?" omel Raya kesal, sementara Mia hanya tertawa tanpa dosa.
"Santai aja, Ray. Sekali-kali menginap seru juga kan?" ujar Mia sambil terus tertawa, bahkan asyik membersihkan kamar yang sedikit berantakan. Raya mendengus, namun akhirnya ikut membantu Mia tanpa banyak bicara lagi.
"Aku senang melihatmu bahagia, Raya," ujar Mia tiba-tiba, matanya penuh kehangatan.
"Aku lagi marah, tahu," balas Raya dengan ekspresi cemberut, yang justru semakin memancing kekehan Mia.
•••
Drtttt... Drtttt... Drtttt...
Ponsel Raya tiba-tiba bergetar di atas meja.
"Ray, ponselmu!" seru Mia sambil mengambil sampah yang dipegang Raya.
"Makasih, Mia." Raya meraih ponselnya setelah Mia pergi membuang sampah. Di layar tertera nama Tante Ashanty. Dengan cepat Raya mengangkat panggilan itu.
"Halo, Tante!" Raya menjawab, sedikit penasaran dengan alasan panggilan mendadak tersebut.