NovelToon NovelToon
Cinta 'Terkontrak'

Cinta 'Terkontrak'

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / CEO / Romansa / Slice of Life / Chicklit
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Luckygurl_

Senja Maharani, seorang sekretaris muda yang cerdas, ceroboh, dan penuh warna, di bawah asuhan Sadewa Pangestu, seorang CEO yang dingin dan nyaris tak berperasaan. Hubungan kerja mereka dipenuhi dinamika unik: Maha yang selalu merasa kesal dengan sikap Sadewa yang suka menjahili, dan Sadewa yang diam-diam menikmati melihat Maha kesal.

Di balik sifat dinginnya, Sadewa ternyata memiliki sisi lain—seorang pria yang diam-diam terpesona oleh kecerdasan dan keberanian Maha. Meski ia sering menunjukkan ketidakpedulian, Sadewa sebenarnya menjadikan Maha sebagai pusat hiburannya di tengah kesibukan dunia bisnis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Abimana, ngeselin!

Ruangan kerja yang redup, dengan pencahayaan temaram yang hanya mengalir dari beberapa lampu meja, menciptakan atmosfer yang dingin dan penuh ketegangan. Suasana semakin terasa hening, saat dua insan berbeda jenis kelamin, Sadewa dan Maha, duduk didalam ruangan yang sama.

Masing-masing tenggelam dalam pekerjaan mereka. Kesunyian itu menyelimuti setiap sudut ruangan, hanya terpecah oleh suara ketikan tuts keyboard dari laptop Maha yang berada di pangkuannya.

Sadewa duduk dengan tubuh sedikit miring, menopang dagunya dengan tangan yang memegang bolpoin. Matanya tertuju pada Maha. Sesekali ia mengerling saat melihat gadis itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Sementara Maha, begitu asyik dengan layar laptopnya, kacamata yang ia kenakan seolah menambah kesan pesona pada dirinya.

Sadewa terpaku, saat menatap Maha dalam keheningan, ia juga berusaha mengendalikan perasaan yang mulai menggebu-gebu. Kenapa dia selalu terlihat cantik? Pikirnya, bibirnya sedikit terangkat, tanda kekaguman yang tak bisa disembunyikan. Mungkin, itu bukan hanya karena penampilan luar Maha, tapi juga karena sikapnya yang penuh dedikasi dan kerja keras. Keanggunan nya, bahkan saat sedang tenggelam dalam pekerjaan, terasa begitu memikat bagi Sadewa.

Ataukah memang perasaan saya yang sudah lama memujanya sejak dulu? Tambahnya dalam hati. Perasaan itu menggelora dengan lembut, penuh keyakinan.

Meski Sadewa berusaha terlihat tenang, matanya tak pernah lepas dari Maha. Setiap detik, setiap gerakan kecil yang Maha lakukan, terasa begitu memukau. Kekaguman itu sudah melebur menjadi sesuatu yang lebih dari sekedar pengamatan. Dan, seiring dengan semakin dekatnya mereka diruang yang sempit ini, Sadewa, tahu ia tidak bisa lagi menahan perasaannya.

Sebenarnya, pekerjaan yang sedang dikerjakan oleh Maha saat ini hanyalah alibi Sadewa. Ini adalah caranya untuk memastikan gadis itu tetap di dekatnya setelah beberapa hari tidak bertemu karena pekerjaannya di luar kota. Rindu yang terus menumpuk seolah tak memberikan ruang pada logikanya. Namun, Sadewa terlalu takut untuk mengungkapkannya secara langsung. Kata ‘rindu' mungkin sederhana, tetapi jika sampai keluar dari bibir Sadewa, ia tahu Maha akan menertawakannya dan ia tidak siap untuk menghadapi rasa malunya sendiri.

Disisi lain, Maha mulai merasa kelelahan. Dia meletakkan laptopnya sejenak di atas meja, lalu meregangkan tubuhnya untuk mengurangi rasa penat. Bahunya bergerak pelan, tangan diangkat tinggi ke udara, mengiringi gerakannya yang tampak luwes. Namun, tanpa sengaja tatapannya bertemu dengan mata Sadewa yang sedang memperhatikannya dalam diam. Hal itu membuat tubuh Maha membeku, tatapan itu sangat tajam seperti sorot elang yang tak mau berpaling dari mangsanya.

Maha seolah dirinya ditelanjangi oleh tatapan itu, membuat pipinya terasa hangat karena malu. “P-pak?!” Ia memanggil dengan suara pelan mencoba memecah keheningan yang tiba-tiba terasa berat. Berharap suaranya bisa menyadarkan Sadewa dari lamunannya itu, tetapi pria itu masih tak berkedip, menatapnya dengan wajah tanpa ekspresi.

“Sudah berapa persen pengerjaannya?” Tanya Sadewa memecah keheningan, suaranya rendah tetapi tetap tegas.

Astaga! Bukannya nyuruh aku pulang malah nanya kerjaan?! Memangnya dia nggak lihat apa, ini udah jam sepuluh malam?! Maha menggerutu dalam hati, berusaha menahan rasa kesal yang hampir meledak sambil meremas roknya.

Seolah bisa membaca pikiran, Sadewa menyandarkan punggungnya di kursi dan menatap Maha tajam. “Saya tahu ini sudah jam sepuluh malam. Jadi, kamu berharap saya menyuruhmu untuk menyudahi pekerjaan ini? Hm?” Ucapnya dengan nada yang tak terbaca. Ia mengangkat sebelah alisnya, membuat Maha merasa semakin kecil ditempatnya.

Maha terperangah, pun matanya membulat dan reflek menegakkan tubuhnya. Lah, kok, dia tahu? Apa dia cenayang atau semacam dukun? Batin Maha dengan rasa terkejut bercampur bingung.

Sadewa yang masih memperhatikan Maha, tersenyum kecil di sudut bibirnya. Ia tahu betul apa yang sedang Maha pikirkan. Gadis itu begitu mudah ditebak, tetapi dibalik sikap ceroboh nya, ada pesona yang membuatnya sulit untuk berpaling.

Ting! Tong!

Tiba-tiba, suara bel pintu berbunyi, memecah ketegangan di antara mereka.

Sadewa mengerutkan keningnya, menatap kearah pintu dengan ekspresi bertanya-tanya. Jam sudah menunjukkan larut malam. Lantas, siapa yang datang bertamu di waktu seperti ini? Tanpa pikir panjang, ia beranjak dari kursinya dan langkah-langkahnya terdengar mantap di lantai marmer yang dingin.

Ketika pintu besar unitnya terbuka, Sadewa mendapati sosok Abimana berdiri dengan senyum khas yang selalu menghiasi wajahnya. Pria itu tampak santai seperti biasanya, mengenakan jaket kulit hitam yang melengkapi auranya yang penuh percaya diri.

“Ada kepentingan apa kamu datang ke unit saya malam-malam begini? Hm?” Tanya Sadewa, suaranya terdengar dingin, nyaris seperti interogasi. Sementara tangannya terlipat di dada, menatap Abimana dengan penuh tanya.

Abimana bukannya tersinggung, ia justru mengangkat sebelah alisnya, ekspresinya terlihat seperti seseorang yang baru saja mendengar lelucon. “Nggak boleh datang tanpa ijin, ya? Tapi, masuk dulu boleh, dong?” Balasnya dengan senyum yang tidak juga surut dari wajahnya.

Sadewa hanya menghela nafas kecil, lalu tanpa sepatah kata, ia menggeser tubuhnya memberikan ruang bagi Abimana untuk masuk. Bersamaan dengan itu, Maha keluar dari ruang kerja Sadewa dengan langkah pelan. Sementara tangannya sibuk mengikat rambutnya yang terurai asal-asalan. Gerakan sederhana itu—mengangkat tangan keatas, membuat pakaian yang ia kenakan tampak menonjolkan lekuk tubuhnya. Meskipun Maha sama sekali tidak menyadarinya. Namun, hal itu cukup untuk membuat dua pasang mata pria dewasa di ruangan itu membelalak sejenak.

Abimana, menegakkan tubuhnya dengan tatapan tak percaya. Mulutnya bahkan terbuka sedikit, tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Disisi lain, Sadewa mengerutkan keningnya. Tatapannya tajam penuh campuran rasa terkejut dan kesal. Dalam pikirannya, Maha baru saja—tanpa sengaja, memamerkan dirinya pada orang lain.

Maha yang sadar dengan suasana hening itu pun menghentikan langkahnya. Matanya membulat saat melihat Abimana, pun ia terpaku di tempatnya. Seolah menyadari sesuatu yang tak seharusnya terjadi.

“Kamu… Maharani, ‘kan? Sekertaris nya Sadewa?” Tanya Abimana, senyumnya lebar sambil berjalan mendekati Maha, menatapnya dengan seksama. Kekaguman terpancar jelas dari sorot matanya.

Maha terdiam, wajahnya memanas karena malu. Namun, ia segera menegakkan postur tubuhnya, mencoba terlihat tenang meskipun gerakannya canggung. “I-iya, saya Maharani,” jawabnya pelan sambil mengangguk sopan, sambil tersenyum tipis.

“Kamu cantik banget, Maha. Ini kali pertama aku lihat kamu, sebelum-sebelumnya aku cuma dengar dari Sadewa kalau dia punya sekertaris cantik, dan beneran cantik, cantik banget malahan,” puji Abimana dengan antusiasme, nada kekaguman itu tidak bisa ia sembunyikan.

Brengsek, Abimana! Kenapa dia berbicara seperti itu, sih?! Rutuk Sadewa dalam hati dengan tatapannya yang tak lepas dari sosok Abimana.

Pantas saja, Sadewa, tergila-gila sama Maha. Bentukannya pulen begini, mulus, cantik lagi. Sumpah, Maha bener-bener tipe idaman kaum adam, Abimana tak bisa berhenti memuji Maha. Ia tersenyum lebar, terlalu terfokus pada Maha hingga lupa menjaga sopan santun tatapannya.

Maha hanya berdiri mematung, tubuhnya kaku dan ia merasakan ketidaknyamanan yang perlahan menjalar di setiap inci tubuhnya. Senyuman tipis yang ia berikan sangat terpaksa, hanya sekedar formalitas untuk menjaga suasana agar tidak semakin canggung.

Sadewa yang sejak tadi mengamati interaksi Abimana dan Maha, pun melangkah tanpa pikir panjang. Langkah kakinya tegas, hingga akhirnya ia berdiri tepat di antara Abimana dan Maha. Menciptakan jarak tegas dan tatapannya tajam seperti sebuah perisai yang tidak bisa ditembus.

“Abimana. Kamu tahu, ‘kan, kalau tindakan yang melewati batas itu dianggap pelecehan? Dan itu bisa dipidana” ucap Sadewa yang penuh peringatan.

“Aku cuma ngeliatin, Maha. Nggak aku apa-apain dia. Astaga, Sadewa, kamu posesif banget!” Protes Abimana, agaknya ia kesal tapi diselingi senyum ledekan khasnya.

“Menatap, Maha, seperti itu jelas tidak sopan, Mana.” Sambar Sadewa tegas, ia menatap Abimana dengan sorot mata yang nyaris menusuk. Sebab, Sadewa tidak akan pernah membiarkan siapapun memperlakukan Maha sembarangan. Terlebih lagi, Maha itu adalah gadis yang diam-diam sudah ia anggap sebagai miliknya, meskipun belum diakui.

Abimana mendecak, tak kehilangan akal untuk melawan Sadewa. “Maha, dia posesif banget, ya, sama kamu. Kalau aku jadi kamu, udah jelas bakal aku tinggalin, sih, soalnya nyebelin.” Ledeknya sambil tertawa kecil, membuat situasi terasa lebih santai di matanya, tapi jelas tidak bagi Maha dan Sadewa.

Maha yang berdiri di sebelah Sadewa, pun hanya diam. Wajahnya menegang tidak tahu harus berkata apa. Situasi ini begitu asing baginya—berada di tengah-tengah Sadewa yang protektif dan Abimana yang terus memancing. Ia merasa lebih baik tidak berkomentar karena takut salah langkah. Apalagi di depan teman Sadewa yang baru saja ia temui.

“Ng… saya permisi dulu, ya, mau ambil minum,” cetus Maha, mencoba mencari celah untuk menghindar. Nada suaranya terdengar sopan, tapi sedikit gemetar. Langkahnya baru saja beranjak, ketika suara berat Sadewa memotong langkahnya.

“Maha, buatkan juga kami minuman. Apapun itu.” Ucap Sadewa tegas, tanpa sedikitpun kompromi. Bahkan ia tak menoleh kearah Maha. Setelah itu, ia berjalan santai menuju sofa, meninggalkan Maha yang mematung di tempatnya.

Maha menatap punggung Sadewa yang bergerak menjauh dengan penuh penyesalan. Sialan, masih sempat-sempatnya nyuruh aku kayak gini?! Ngomongnya juga nggak pakai lihat orangnya lagi! Batinnya, matanya memicing kesal.

Abimana yang berdiri santai didepan Maha terkikik kecil, tak bisa menahan godaannya. “Semangat ya, cantiknya, Sadewa…” ucapnya dengan nada mengejek.

Sementara Maha, ia memilih untuk tidak menggubris pria tampan di depannya itu. Ia menghela nafas pelan, berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap tenang sebelum akhirnya melangkah pergi menuju dapur.

Namun, Abimana tidak berhenti begitu saja. Tatapannya terus mengikuti Maha yang perlahan menjauh. Ia bersiul pelan, nadanya penuh godaan. Tangannya reflek bergerak di udara, memperagakan lekuk tubuh Maha yang menyerupai jam pasir. Wajahnya penuh kekaguman, meskipun terselip niat mengganggu.

“Wow, body-nya luar biasa, Wa,” gumam Abimana mengangguk-angguk kecil seolah memberi penghargaan pada Maha yang sudah tak lagi berada dihadapannya.

“Hentikan atau kamu aku bunuh!” Balas Sadewa, nada tajamnya membuat ruangan seketika terasa lebih tegang. Tatap matanya menusuk ke arah Abimana, penuh peringatan. Ia juga menahan kesal, membuat tangannya terkepal diatas pahanya.

“Astaga, Sadewa. Aku cuma bercanda, loh. Nggak perlu pakai ancaman bunuh segala,” Balas Abimana sambil melangkah menuju sofa. “Tapi serius, Maha, bener-bener istimewa,” sambungnya kembali memuji Maha.

“Dia bukan untuk kamu lihat, apa lagi dinilai,” ucap Sadewa dengan nada dingin. Tatapannya mengunci pada Abimana, memberi peringatan terakhir.

“Oke, oke. Kamu menang, Tuan posesif,” Abimana mengangkat kedua tangannya, seolah menyerah. Senyumnya masih melekat, tapi kali ini ia tahu batasnya. “Nikahan aja lah, Wa. Keburu disikat cowok, berlian seindah itu kalau dianggurin, mubazir,” imbuhnya, matanya berbinar penuh usil.

Ucapan Abimana jelas mengarah ke hal lain, dan Sadewa tahu betul kemana arah candaan itu mengarah. Namun, ia memilih tidak menanggapi langsung, hanya menahan diri agar tidak terpancing.

Namun Abimana tidak berhenti disitu. “Eh, tadi kalian didalam ngapain aja, sih? Lesu banget keliatannya,” tanyanya penuh selidik. Terlebih sekarang ia melihat Sadewa yang mengenakan jimbei berbahan satin, sementara sebelumnya ia juga sempat melihat Maha dengan pakaian kusut.

“Pikiranmu terlalu jauh, Mana! Kalau memang kami melakukan hal seperti yang ada di otakmu itu, sudah jelas saya tidak akan sudi mempersilahkan mu masuk, karena jelas kamu mengganggu,” jawab Sadewa, suaranya tegas dengan tatapannya melotot tajam.

Abimana tertawa, mengangkat bahunya tanpa rasa bersalah. “Santai, Wa. Astaga, aku cuma bercanda. Tapi… serius, deh. Kamu harus cepat ambil langkah sebelum berlian mu diambil orang.”

Sementara itu, di dapur, Maha yang sedang membuat minuman untuk dirinya sendiri dan kedua pria di ruang tamu, hanya bisa menggerutu pelan. Gerakan tangannya yang mengaduk lemon tea di teko, terdengar keras, mencerminkan suasana hati yang kesal.

“Ck, ini kalau ada temannya Sadewa, makin lama aja aku disini, nggak bisa pulang. Lagian… tuh, cowok ngapain, sih, malam-malam begini bertamu? Kayak nggak ada hari esok aja?!” Maha berbicara pada dirinya sendiri. Matanya melirik jam di pergelangan tangannya, dan berharap waktu cepat berlalu.

“Aku, tuh, capek banget. Mau istirahat, tapi nggak mungkin juga ninggalin kerjaan gitu aja!” Maha menghela nafas panjang, dan menyerah pada keadaan. Lalu ia menuang lemon tea kedalam gelas-gelas dengan gerakan cepat.

1
Bunda Mimi
thor bab 21 dan 22 nya kok sudah tidak ada ya
Bunda Mimi: ok siap thor
Lucky ᯓ★: terimakasih atas dukungannya kak, dan mohon maaf jika nanti update ulang dengan isi yang sama. aku revisi karena biar lebih nyaman untuk dibaca, juga ini saran dari editor saya
total 4 replies
Wayan Sucani
Luar biasa
Wayan Sucani
Rasanya berat bgt
catalina trujillo
Bikin ketawa sampe perut sakit.
Lửa
Ngakak sampai sakit perut 😂
Kiyo Takamine and Zatch Bell
Asiknya baca cerita ini bisa buat aku lupa waktu
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!