Kalian Bisa Dukung aku di link ini :
https://saweria.co/KatsumiFerisu
Seorang pengguna roh legendaris, yang sepanjang hidupnya hanya mengenal darah dan pertempuran, akhirnya merasa jenuh dengan peperangan tanpa akhir. Dengan hati yang hancur dan jiwa yang letih, ia memutuskan mengakhiri hidupnya, berharap menemukan kedamaian abadi. Namun, takdir justru mempermainkannya—ia terlahir kembali sebagai Ferisu Von Velmoria, pangeran ketiga Kerajaan Velmoria.
Di dunia di mana setiap orang memiliki kesempatan untuk menjalin kontrak dengan roh, Ferisu justru dikenal sebagai "Pangeran Sampah." Tidak ada roh yang mau menjawab panggilannya. Dipandang sebagai aib keluarga kerajaan, ia menjalani hidup dalam kemalasan dan menerima ejekan tanpa perlawanan.
Tetapi saat ia masuk ke Akademi Astralis, tempat di mana para ahli roh belajar tentang sihir, teknik, dan cara bertarung dengan roh, sebuah tempat terbaik untuk menciptakan para ahli. Di sana Ferisu mengalami serangkaian peristiwa hingga akhirnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Katsumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 32 : Kali Ini Saja... Aku Akan Menggunakan Sihir
Bam!!!
Hantaman dahsyat dari ekor Manticore menghantam pedang Ferisu. Meskipun berhasil menahan serangan itu, tubuh Ferisu terdorong beberapa langkah ke belakang, sementara tangannya bergetar hebat karena menahan kekuatan yang begitu besar. Pedang biasa di tangannya tampak hampir retak, tapi Ferisu tetap memegangnya erat.
"Haha... sepertinya ini akan jauh lebih sulit dari yang kupikirkan," gumamnya sambil menyeringai tipis, seolah menikmati tantangan yang dihadapinya meskipun kondisinya jelas tak menguntungkan.
"Ferisu!" teriak Erica dari belakang dengan nada penuh kekhawatiran. Matanya melebar saat melihat Ferisu hampir kehilangan keseimbangan akibat hantaman barusan.
Ferisu menoleh sedikit, suaranya tegas namun tetap tenang. "Tenang saja, Erica. Tetap di belakangku dan jangan lakukan apa-apa!" perintahnya, memastikan agar Erica tetap aman.
Dengan cepat Ferisu mengatur napasnya, satu tarikan panjang sebelum iA mendorong ekor Manticore dengan sisa tenaganya, memanfaatkan momen itu untuk melompat ke samping, menghindari serangan lanjutan. "Kulitnya keras seperti baja... jika terus menyerang sembarangan, pedang ini akan hancur duluan," pikirnya sambil mengamati tubuh Manticore dengan seksama.
Mata Ferisu menyipit saat memperhatikan kelemahan makhluk itu. "Kalau begitu..." Bisikannya hampir tak terdengar, tapi matanya kini terpaku pada salah satu bagian paling rentan dari monster itu—matanya.
Dengan gerakan cepat, Ferisu melompat ke arah kepala Manticore, mengarahkan pedangnya lurus seperti tombak, bermaksud menusukkan ujungnya tepat ke salah satu mata makhluk itu. Namun, Manticore bukanlah monster biasa.
Makhluk itu menyadari ancaman tersebut. Mata merahnya bersinar terang, dan dalam sepersekian detik, ia menoleh ke arah Ferisu dan membuka mulutnya lebar-lebar.
Wushhhh!!!
Nafas api yang menyala-nyala melesat keluar, menghanguskan udara di sekitarnya. Gelombang panas yang dihasilkan membuat Erica mundur beberapa langkah, menutup wajahnya dengan lengannya untuk menghalangi hawa panas.
"Ferisu!!!" seru Erica panik.
Namun, di tengah kobaran api itu, sosok Ferisu tampak melompat ke udara dengan kecepatan luar biasa, menghindari nafas api tersebut dengan gesit. "Serangan yang cukup cepat, tapi aku lebih cepat," gumamnya pelan sambil berputar di udara, mendarat dengan sempurna di lantai kristal.
Wajah Ferisu tetap tenang meski peluh mulai membasahi dahinya. Pedangnya sedikit hangus di ujung, tapi ia tak terlihat gentar sedikit pun. "Baiklah, ini akan memakan waktu lebih lama dari yang kukira," katanya sambil mengangkat pedangnya lagi, matanya tetap fokus pada Manticore yang bersiap untuk menyerang kembali.
Erica yang berada di belakang menggigit bibirnya, tubuhnya gemetar antara rasa takut dan frustrasi. Ia tahu Ferisu sengaja melindunginya, tetapi melihat pria itu melawan monster sebesar ini sendirian tanpa sihir atau kekuatan roh membuat hatinya bergejolak.
"Kenapa dia selalu berusaha menanggung semuanya sendiri?" pikir Erica, tinjunya mengepal. Meskipun masih diliputi rasa takut, ia mulai merasa bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk membantu. Tapi apa?
Sementara itu, Ferisu mulai bergerak lagi, menyusun rencana lain di dalam kepalanya. "Kalau aku bisa memotong ekornya, mungkin aku punya peluang lebih besar," pikirnya sebelum kembali menyerbu ke arah Manticore dengan kecepatan tinggi.
Namun, sebelum Ferisu sempat melancarkan serangannya, Erica melangkah maju dengan tekad yang kuat. Ia mengangkat tangannya, dan dalam sekejap, beberapa tombak es terbentuk di udara. Tombak-tombak itu memancarkan hawa dingin yang tajam, membuat udara sekitar terasa beku.
Swish! Swish! Swish!
Tombak es melesat dengan kecepatan tinggi, langsung menuju tubuh besar Manticore.
"Erica, tunggu! Apa yang kau lakukan?!" seru Ferisu dengan nada panik, matanya melebar melihat tindakan nekat tunangannya.
Tombak-tombak itu menghantam tubuh Manticore dengan keras, tetapi seperti yang sudah diduga oleh Ferisu, serangan itu nyaris tidak memberikan dampak berarti. Sisik keras yang melapisi tubuh makhluk itu hanya tergores sedikit, sementara tombak es lainnya pecah sebelum sempat menembus lebih dalam.
Namun, hal yang paling mengkhawatirkan terjadi. Mata merah menyala Manticore, yang sebelumnya fokus pada Ferisu, kini beralih ke Erica. Makhluk itu menggeram keras, suara beratnya menggema di seluruh ruangan.
"Apa...?" Erica tersentak, tubuhnya seolah membeku saat merasakan tatapan tajam makhluk itu tertuju padanya. Ia melangkah mundur dengan kaki gemetar.
"Dasar bodoh! Aku bilang jangan melakukan apa pun!" geram Ferisu, ekspresinya berubah serius. Dalam sekejap, ia berlari ke arah Erica, mencoba mendahului serangan yang akan dilancarkan Manticore.
Makhluk besar itu mengangkat salah satu cakarnya yang besar, siap menghantam Erica dengan kekuatan penuh. Aura kematian menyelimuti gadis itu, membuatnya terpaku di tempat, tak mampu bergerak.
Boom!
Sebuah ledakan keras terdengar saat Ferisu tiba tepat waktu. Dengan pedangnya, ia menahan serangan cakar besar itu, menciptakan benturan yang mengguncang lantai di sekitar mereka.
"Jangan membuat situasi makin buruk!" bentak Ferisu, meskipun tubuhnya menunjukkan tanda-tanda kesulitan menahan kekuatan besar dari Manticore.
"T-Tapi aku hanya ingin membantumu!" balas Erica, suaranya gemetar dipenuhi rasa bersalah.
"Bantuanmu hanya akan membuatmu jadi target!" teriak Ferisu tanpa menoleh, matanya masih fokus pada Manticore yang terus memberikan tekanan. "Jika kau ingin membantu, dengarkan aku dan jangan bertindak sembarangan!"
Erica menggigit bibirnya, hatinya bergejolak. Ia tahu Ferisu benar, tetapi perasaan ingin melindungi dan tidak menjadi beban terus menggelayut dalam pikirannya. Namun, ia juga sadar bahwa tindakannya barusan justru memperburuk keadaan.
"Aku... aku mengerti," gumamnya lirih, menundukkan kepala.
Ferisu menghela napas berat. Dengan satu dorongan kuat, ia berhasil melepaskan cakar Manticore dari pedangnya dan melompat mundur, menjaga jarak antara mereka bertiga. Namun, kini Manticore tampak lebih agresif. Mata merahnya menyala lebih terang, dan aura menakutkan yang memancar dari tubuhnya semakin intens.
"Hebat... sekarang dia benar-benar marah," gumam Ferisu, sembari memperbaiki posisi bertarungnya. Ia menyipitkan mata, menilai situasi. "Jangan lakukan kesalahan lagi, Erica. Aku akan menyelesaikan ini, apapun caranya."
Ferisu menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. "Kali ini saja... aku akan menggunakan sihir," gumamnya pelan, suaranya cukup terdengar oleh Erica yang berada tepat di belakangnya.
Ia mengangkat tangannya ke depan. Sebuah lingkaran sihir besar dengan cahaya hijau terang muncul di udara. Aura angin mulai terkumpul, menciptakan pusaran kuat yang berputar di sekitar Ferisu.
"Kulitmu memang keras. Tapi, mari kita lihat apakah kau bisa menahan ini," tantangnya dingin.
"Wind Pressure!" seru Ferisu.
Lingkaran sihir itu bersinar lebih terang, dan angin yang berputar membentuk sebuah tombak spiral seperti bor. Sihir ini memancarkan energi yang cukup kuat untuk menembus pertahanan monster kelas tinggi. Angin itu menciptakan suara menderu yang menggetarkan udara di sekitar mereka.
Erica yang melihat pemandangan itu terdiam, terpaku oleh kekaguman dan keterkejutan. Ferisu, yang selama ini selalu menahan diri untuk tidak menggunakan sihir, tiba-tiba mengeluarkan sihir tingkat tinggi dengan kemahiran yang luar biasa.
"Dia... dia benar-benar bisa menggunakan sihir sekuat ini?" gumam Erica dalam hati. "Tapi... kenapa dia selama ini tidak pernah menunjukkan hal ini?"
Namun, pertanyaan itu hanya berputar-putar di pikirannya. Saat ini, yang bisa ia lakukan hanyalah mempercayai Ferisu dan menunggu hasil dari serangan dahsyat tersebut.
Sihir itu melesat bagaikan peluru, menciptakan tekanan udara yang begitu kuat hingga lantai di bawahnya bergetar. Manticore, merasakan ancaman besar, segera membuka mulutnya lebar-lebar dan menghembuskan nafas api yang menyala-nyala. Namun, tindakan itu malah menjadi bumerang baginya.
Api yang dikeluarkan terserap oleh pusaran angin dari sihir Wind Pressure, menjadikannya bor angin yang dilapisi lapisan api mematikan. Bor itu kini tidak hanya berputar dengan kecepatan luar biasa, tetapi juga memancarkan panas yang membakar udara di sekitarnya.
Manticore yang panik berusaha mengelak ke samping, gerakannya yang cepat membuat ruangan seolah bergetar. Namun, upayanya sia-sia. Bor angin yang berapi itu sudah terlalu dekat—hanya lima sentimeter dari tubuhnya.
BAM!!!
Dentuman dahsyat menggema di seluruh ruangan. Bor angin itu menghantam tubuh Manticore dengan kekuatan luar biasa, menembus sisik keras yang melindunginya seperti kertas. Tidak hanya itu, lubang besar tercipta di tubuh monster itu, tampak jelas dari depan hingga belakang, membentuk lingkaran sempurna.
Tak ada raungan terakhir dari Manticore. Hanya terdengar suara keras ketika tubuhnya yang raksasa terhantam ke tanah, disusul dengan keheningan mencekam.
Erica yang menyaksikan kejadian itu berdiri mematung. Mulutnya sedikit terbuka, namun tak ada kata yang keluar. Tatapannya sesekali beralih dari tubuh Manticore yang terkapar hingga ke Ferisu yang berdiri di depannya, masih memancarkan aura dingin dari serangan tadi.
"Kalau dia sekuat ini..." gumam Erica lirih, suaranya hampir tak terdengar di antara keheningan. "Kenapa dia selalu menyembunyikan kemampuannya? Kenapa dia memilih bersikap seperti pangeran sampah yang pemalas?"
Pikiran Erica dipenuhi kebingungan. Ferisu, yang selama ini dikenal sebagai pria tanpa ambisi, kini menunjukkan sisi lain yang benar-benar berbeda. Tatapan mata Ferisu yang penuh determinasi tadi, cara dia melindunginya dengan gigih, dan sihir tingkat tinggi yang baru saja dia gunakan—semua itu membuatnya sulit dipercaya.
Ferisu, tanpa menoleh ke arah Erica, hanya menghela napas panjang, lalu menyarungkan pedangnya kembali. "Ayo, kita lanjutkan," ucapnya datar, seolah pertarungan itu tak lebih dari tugas kecil yang harus diselesaikan.
Namun, di dalam hati Erica, rasa kagum dan penasaran mulai tumbuh lebih besar. Ia tahu bahwa Ferisu menyimpan rahasia yang jauh lebih dalam daripada apa yang terlihat di permukaan.
raja sihir gitu lho 🤩