DALAM TAHAP REVISI TANDA BACA
Jangan lupa follow IG Author : tiwie_sizo08
Karena insiden yang tak diinginkan, Zaya terpaksa harus mengandung benih dari seorang Aaron Brylee, pewaris tunggal Brylee Group.
Tak ingin darah dagingnya lahir sebagai anak haram, Aaron pun memutuskan untuk menikahi Zaya yang notabenenya hanyalah seorang gadis yatim piatu biasa.
Setelah hampir tujuh tahun menikah, rupanya Aaron dan Zaya tak kunjung mejadi dekat satu sama lain. perasaan yang Zaya pendam terhadap Aaron sejak Aaron menikahinya, tetap menjadi perasaan sepihak yang tak pernah terbalaskan, hingga akhirnya Aaron pun memilih untuk menceraikan Zaya.
Tapi siapa sangka setelah berpisah dari Zaya, Aaron justru merasakan perasaan asing yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Jatuh cintakah ia pada Zaya?
Akankah akhirnya Aaron menyadari perasaannya dan kembali bersama Zaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiwie Sizo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mari Kita Menikah
Zaya duduk di bangku taman sambil menikmati udara pagi. Suasana rumah baru yang ditempatinya sekarang sangatlah nyaman. Ada beberapa pohon rindang yang tumbuh di sekitaran rumah itu sehingga udaranya terasa sejuk. Halamannya luas ditata sedemikian rupa menjadi taman yang sangat indah. Dan ada beberapa jenis tanaman hias yang cantik menambah keindahan taman tersebut.
Di sinilah Zaya sekarang. Menikmati cahaya matahari pagi dengan pandangan menerawang.
Dimana dia sekarang? pikir Zaya.
Setiap hari Zaya selalu bertanya-tanya tentang keberadaan Aaron. Setelah pertemuan mereka di sebuah restoran waktu itu, Zaya tak pernah lagi melihat sosok Aaron. Padahal Zaya ingat, waktu itu Aaron mengatakan akan menemuinya. Tapi nyatanya nyaris dua bulan Aaron menghilang tanpa kabar.
Aaron memang menepati kata-katanya untuk menyiapkan segala kebutuhan Zaya, bahkan mempekerjakan seorang wanita paruh baya yang mengurus Zaya sepenuhnya, hingga Zaya tak perlu melakukan apa-apa selain makan dan tidur. Tapi tetap saja, entah karena pengaruh kehamilan atau apa, Zaya ingin sekali bertemu dengan lelaki itu.
Zaya pun tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Padahal ia sudah mendapatkan apa yang ia inginkan dari Aaron. Jadi wajar saja jika Aaron kini merasa tidak perlu menemuinya lagi. Entahlah. Zaya hanya sangat merindukan lelaki itu tanpa alasan, meski Zaya enggan untuk mengakuinya.
Tiba-tiba Zaya merasa kepalanya pusing dan sedikit mual, padahal belakangan kondisinya sudah semakin baik. Kesehatan Zaya memang meningkat sejak tinggal dirumah ini. Itu karena Zaya sangat terurus dan mendapatkan asupan nutrisi yang cukup. Bahkan beberapa kali wanita paruh baya yang dipekerjakan Aaron mengantarkan Zaya kedokter kandungan.
"Nona tidak apa-apa?" tanya wanita yang biasa disapa Bi Laila itu.
Zaya berdiri sempoyongan dan memegang kepalanya yang pusing.
"Kepala saya mendadak pusing," desis Zaya.
"Mari saya bantu, Nona."
Bi Laila memapah Zaya masuk kedalam rumah dan membaringkan Zaya ke tempat tidur. Kemudian ia memberikan Zaya obat yang telah diresepkan dokter seandainya Zaya kembali pusing dan mual.
"Nona istirahatlah. Saya akan memasak untuk makan siang." Bi Laila pamit ke dapur, meninggalkan Zaya yang mulai kembali menerawangkan pandangannya.
Mungkin karena pengaruh obat yang diminumnya, perlahan Zaya merasakan matanya berat, hingga akhirnya ia pun masuk ke alam mimpi.
___________________________________________
Mobil yang dikendarai Aaron baru saja melaju meninggalkan bandara. Pekerjaan Aaron ternyata memakan waktu lebih lama dari perkiraan Dean, hingga ia baru bisa kembali setelah hampir dua bulan lamanya.
Dan kini Aaron bisa bernafas lega, karena semua permasalahan di perusahaannya sudah bisa diatasi. Tapi yang jadi beban Aaron saat ini adalah, dia masih belum menemukan jawaban pasti untuk permasalahannya dengan Zaya. Waktu dua bulan masih tetap tak membantu dirinya untuk memantapkan hati.
"Langsung ke rumah peristirahatan," perintah Aaron pada sopir yang melajukan mobil.
"Baik, Tuan." Sang sopir menjawab sambil terus menatap ke arah depan.
Dean yang ikut mendengar pun sedikit melirik majikannya itu. Bukannya rumah itu yang jadi tempat tinggal gadis tempo hari? Sebenarnya ada hubungan apa mereka berdua? Dean tampak berjuang untuk tidak bertanya.
Rasa bersalah Aaron telah membuat ia bertindak impulsif dengan berniat langsung menemui Zaya. Terlepas dari bagaimana keputusannya nanti, Aaron sama sekali tidak ada niatan menelantarkan gadis itu.
Setelah beberapa saat, mereka pun sampai di rumah peristirahatan milik Aaron. Hanya Aaron yang turun dari mobil, sedangkan Dean langsung menuju kantor untuk menyerahkan berkas-berkas.
Aaron masuk disambut Bi Laila yang membungkuk hormat.
"Selamat datang, Tuan," sapa Bi Laila sopan.
"Dimana dia?" tanya Aaron. Bi Liala pun langsung tahu siapa yang Aaron maksud.
"Nona sedang beristirahat di kamarnya, Tuan. Tadi Nona merasa pusing dan mual. Setelah minum obat, sepertinya Nona langsung tertidur," jawab Bi Laila.
"Apa setiap hari dia seperti itu?" tanya Aaron lagi.
"Awalnya iya, tapi sekarang sudah tidak lagi. Hanya kadang-kadang saja Nona mengalaminya."
"Baiklah. Aku akan ke atas sekarang."
Bi Laila kembali membungkukkan badannya saat Aaron melangkah menuju kamar Zaya.
Pelan-pelan Aaron membuka pintu kamar Zaya seakan tak ingin menimbulkan suara yang bisa membangunkan gadis itu. Ditutupnya kembali pintu kamar sebelum ia melangkah mendekati tempat tidur Zaya.
Aaron duduk di pinggiran tempat tidur, menghadap ke arah Zaya yang tengah terlelap. Matanya menatap Zaya lekat dengan tatapan yang sulit untuk dijelaskan. Tampak perut Zaya sudah mulai membesar, membuat perasaan Aaron campur aduk melihatnya.
Apa yang harus aku lakukan padamu, Zaya?
Perlahan Aaron mengulurkan tangannya, menyingkirkan anak rambut Zaya yang menutupi dahinya. Tindakan Aaron itu rupanya membuat Zaya terganggu dan membuka matanya. Tatapan mereka pun bertemu.
"Tuan ...." Sontak Zaya langsung duduk karena terkejut dengan kehadiran Aaron yang tiba-tiba.
"Maaf, Tuan. Saya tidak tahu Anda datang." sesalnya.
"Aku yang harusnya minta maaf karena mengganggu istirahatmu. Apa sudah merasa baikan?" tanya Aaron
Zaya mendongak. Kenapa pertanyaan Aaron terasa penuh perhatian di telinga Zaya.
"Bi Laila yang mengatakan kalau tadi kau pusing," sambung Aaron lagi, yang dibalas senyum canggung dari Zaya.
"Saya tidak apa-apa sekarang," ujarnya lirih.
"Bersiap-siaplah. Kita akan ke dokter kandungan. Aku mau membersihkan diri dulu di kamar sebelah," perintah Aaron selanjutnya sambil meninggalkan kamar Zaya.
"Eh, i-iya," jawab Zaya terbata.
Zaya masih terkejut dengan kehadiran Aaron. Kenapa sekarang dia tiba-tiba datang setelah menghilang sekian lama. Dan apa itu tadi, dia memperhatikan Zaya yang sedang tertidur dengan jarak yang sangat dekat. Jantung Zaya saja sampai bedegup tak karuan dibuatnya.
Setelah sedikit menenangkan hatinya yang tadi tak menentu, akhirnya Zaya bersiap-siap.
Atasan longgar berwarna coklat muda dipadu celana panjang berwarna putih susu sangat pas membalut tubuh Zaya. Tak lupa flat shoes berwarna senada melengkapi penampilannya. Terakhir, rambutnya ia ikat tinggi menampakkan leher jenjangnya yang mulus.
Zaya sangat manis, meski tak menggunakan make-up.
Aaron yang telah menunggunya di sofa ruang tengah tampak mendongak melihat kedatangan Zaya. Ia senang melihat penampilan Zaya yang jauh lebih baik daripada saat bertemu di restoran tempo hari.
Mereka pun berangkat menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan mereka berdua sama-sama diam. Baik Zaya maupun Aaron, keduanya sama-sama tenggelam dalam pikirannya masing-masing.
Sesampainya di rumah sakit, mereka langsung mendatangi bagian obgyn, yang ternyata kedatangan mereka telah ditunggu oleh seorang dokter kandungan. Sepertinya Aaron telah melakukan reservasi sebelumnya, sehingga mereka tidak perlu mendaftar dan mengantri terlebih dahulu.
Dokter kandungan mulai memeriksa Zaya. Mulai dari tekanan darah, detak jantung dan terakhir sang dokter mempersilakan Zaya untuk berbaring.
Semua itu tak luput dari pengamatan Aaron. Hingga akhirnya dokter wanita itu menyingkap atasan Zaya sampai ke bawah dada. Sontak Aaron memalingkan wajahnya, membuat dokter yang melihatnya tersenyum.
Kemudian dokter memberikan jel pada perut Zaya dan mulai menggerak-gerakkan sebuah benda di atas permukaan kulit perutnya itu. Dan nampaklah di layar monitor, gambar janin mereka yang ukurannya sedikit lebih besar dari sebutir telur ayam.
Aaron tertegun. Ia nampak sangat takjub. Seumur hidupnya baru kali ini ia melihat wujud janin di dalam rahim, dan juga ini darah dagingnya sendiri.
"Bayinya kalian sangat sehat, Tuan, Nyonya. Umurnya saat ini 18 minggu. Detak jantungnya bagus. Dan kemungkinan besar jenis kelaminnya laki-laki." Dokter memberikan penjelasan sambil masih mengamati layar monitor.
"Laki-laki?" Aaron memastikan.
"Ya," jawab dokter sambil tersenyum.
"Lalu suara itu, apa itu suara detak jantungnya?" tanya Aaron lagi.
Dokter itu kembali tersenyum.
"Iya, Tuan, Anda benar. Itu suara detak jantung calon anak Anda. Kuat dan sehat."
Mata Aaron berbinar. Tiba-tiba ada debaran aneh saat ia mendengar detak jantung calon bayinya itu. Seperti seseorang yang sedang jatuh cinta. Ya, sepertinya Aaron telah jatuh cinta pada calon anaknya pada pandangan pertama.
Mata Aaron lalu beralih menatap Zaya yang ternyata juga tengah melihat ke arahnya. Pandangan mereka pun bertemu cukup lama. Suara dokter yang mempersilakan Zaya untuk duduk kembali akhirnya memutus kontak mata antara keduanya.
Setelah dokter meresepkan vitamin untuk Zaya, akhirnya mereka meninggalkan ruangan itu.
"Tunggu di sini sebentar, aku akan menebus resep," pinta Aaron.
Zaya mengangguk mengiyakan. Ia lalu duduk di salah satu bangku yang terdapat di koridor rumah sakit. Tak lama kemudian, Aaron kembali terlihat dari kejauhan tengah berjalan kembali ke arah Zaya.
Zaya tersenyum. Ia merasa sangat senang melihat Aaron yang begitu antusias dengan calon anak mereka. Walaupun ia tidak tahu bagaimana nasibnya setelah ini. Setidaknya Aaron menerima anak yang dikandungnya. Dan itu sudah cukup bagi Zaya.
"Ayo."
Zaya bangkit dari duduknya, lalu berjalan mengekor di belakang Aaron. Lorong rumah sakit nampak sepi. Tak ada orang yang berpapasan dengan mereka selama mereka berjalan.
Tiba-tiba Aaron menghentikan langkahnya, membuat Zaya ikut berhenti juga.
"Apa rencanamu setelah melahirkan?" tanyanya kemudian.
Zaya sedikit tertegun. Terlihat tidak siap dengan pertanyaan Aaron.
"Saya ... belum memikirkannya, Tuan. Yang jelas saya akan mencari kerja lagi," jawab Zaya akhirnya.
"Lalu anakmu?" tanya Aaron lagi.
"Anak? Tentu saja saya akan merawatnya. Saya akan mencari pekerjaan yang bisa dilakukan sambil merawat bayi."
"Pekerjaan apa tepatnya itu?" tanya Aaron semakin tajam
Zaya bingung. Tak tahu lagi mesti menjawab apa.
"Saya belum mencari tahu, Tuan. Memangnya kenapa Tuan bertanya?" Zaya balik bertanya.
"Bagaimana kalau aku mengatakan aku menginginkan anak ini juga?"
Zaya menautkan alisnya. Dia tidak tahu apa yang Aaron coba katakan.
"Apa ... maksudnya?" tanyanya bingung.
"Dia anakku juga, Zaya. Aku juga ingin merawatnya. Aku ingin melihat dia tumbuh dan aku ingin dia mendapatkan semua yang terbaik. Aku menginginkan anakku, Zaya," ujar Aaron dengan nada rendah, namun penuh dengan penekanan.
Zaya terpana. Matanya menatap Aaron nanar.
"Tuan ... apa anda ingin mengambilnya dari saya?" tanyanya dengan suara bergetar.
Aaron tak menjawab. Dihelanya nafas panjang, seolah ia tengah berusaha mengendalikan sesuatu yang bergejolak didalam dirinya. Kemudian ia menatap Zaya dalam dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Zaya ...," panggilnya kemudian.
"Mari kita menikah."
Bersambung ....
jangan sedikit-sedikit marah, menangis 😭 dan Mengabaikan suami.
bisa-bisanya mamanya dikasi. zombie
baru merasa kehilangan ya Aaron
waktu zaya kau menghina dan menyeretnya seperti sampah di rumah mu menyakiti nya di tempat tidur dia tetap memaafkan dan bertahan padamu.
dia tidak meminta hartamu Aaron hanya kasih sayang perhatian atau lebih tepatnya CINTA.
tapi setelah berpisah baru kau merasa kehilangan
masih waras kah Aaron?
karena zaya patut di perjuangkan
seganti g apapun laki-laki kalau tak bisa menghargai ya percuma