Narendra sang pengusaha sukses terjebak dalam situasi yang mengharuskan dirinya untuk bertanggung jawab untuk menikahi Arania, putri dari korban yang ia tabrak hingga akhirnya meninggal. Karena rasa bersalahnya kepada Ayah Arania akhirnya Rendra bersedia menikahinya sesuai wasiat Ayah Arania sebelum meninggal. Akan tetapi kini dilema membayangi hidupnya karena sebenarnya statusnya telah menikah dengan Gladis. Maka dari itu Rendra menikahi Arania secara siri.
Akankah kehidupan pernikahan mereka akan bahagia? Mari kita ikuti ceritanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rose Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Hati
Gladys yang telah menapakkan kakinya di lantai dua, berusaha menahan air matanya dengan sekuat hatinya. Ia tidak mau membuat Rendra menjadi cemas atau mencurigai nya. Jika itu terjadi, maka mungkin saja bisa membuat pergerakan kariernya menjadi terhambat bila sang suami mengetahui permasalahannya dengan sang Produser sinting itu. Bisa-bisa ia di suruh agar tidak menyelesaikan pekerjaan nya yang sedang ia lakoni di bawah naungan pria duda itu, atau lebih parahnya bisa saja Rendra tak mengizinkannya berkarier di dunia keartisan lagi.
Seperti biasanya Gladys memainkan peran nya dengan sangat baik dalam dunia nyata sekalipun. Walaupun ini memang sangat bertolak belakang dengan isi hatinya, namun ia dapat melakukannya dengan sangat-sangat natural dalam menjiwai peran kehidupannya saat ini.
Gladys menyeka sisa-sisa air mata yang menempel di sudut matanya, mengatur kembali nafasnya, menegakkan postur tubuhnya, memasang senyum terbaik di dalam kegetirannya, kemudian ia berjalan dengan penuh percaya diri dengan tetap memasang wajah cerianya yang tidak pernah terputus.
Gladys telah membuka pintu kamarnya, namun kosong, tak di temui juga suami-suamiannya tercinta di dalam kamar besar itu. Gladys menarik senyum pahit. Menertawakan permainan warna suram hidupnya yang sialnya harus ia jalani entah sampai mana ujungnya. Dalam kesendirian nya, seolah rasa penat lelahnya, rasa sedihnya, rasa bosannya, serta rasa amarahnya tiba-tiba kembali untuk menemaninya untuk turut merayakan dukacitanya sepanjang waktu.
Gladys menuju kamar mandi, memandang wajah menyedihkannya dalam pantulan cermin wastafel. Wanita cantik itu menyalakan kran air, kemudian membasuh wajahnya berulang-ulang seolah tak ingin berhenti agar menghapus segala pengaruh buruk pada dirinya. Beberapa saat ia berhenti dan terengah-engah karena asupan oksigen yang semakin berkurang saat melakukan hal itu. Setelah itu kembali ia menatap pantulan dirinya si cermin. Sesaat kemudian ia tiba-tiba tertawa terbahak-bahak sebelum akhirnya menangis sejadinya dengan suara yang ia redam dalam tangkupan tangan di mulutnya. Gladys membekap dirinya sendiri. Menikmati indahnya kesedihan yang semakin pilu di hatinya. Itu sangat menyesakkan dadanya.
"Darren..." Jerit hatinya dalam kerinduan yang tak berujung, tak pernah sirna dan tak pernah terobati.
"Darren... bawalah aku bersama mu, sayang." lirihnya di akhir batas perasaannya yang semakin hampa.
***
Di sisi lain Arania dengan sekuat perasaan nya membantah segala tudingan miring yang di tujukan kepadanya.
"Bibi.. aku.. bukan wanita yang seperti itu, bi... Ini semua hanya_"
"Neng Ara, sebaiknya berhenti menggoda Tuan Rendra. Biar bagaimanapun dia sudah beristri. Dia bahagia hidup bersama istrinya selama ini. Dengan perbuatan mu itu, Bibi takut terjadi keretakan dalam rumah tangga mereka nantinya." Ujar Bik Erna dengan nada serendah mungkin.
"Seandainya, bibi tau dengan keadaanku sebenarnya. Mungkin dia tidak terus menerus menyalahkan ku, tidak menyuruh ku untuk berhenti menggoda Mas Rendra atau pun menjauhi nya. Namun sayangnya aku tidak bisa mengatakan apapun demi hubungan Mas Rendra dan istri sahnya. Sedangkan aku, hanya istri cadangan yang selalu ada hanya untuk mengisi kekosongan Mas Rendra saat istri sahnya tidak berada di sisinya."
Arania hanya bisa menahan segalanya dalam hatinya. Semua tudingan miring itu benar-benar ia terima, ia telan mentah-mentah walaupun terasa sangat pahit di lidahnya.
"Lalu... Apa yang seharusnya aku lakukan, bik?" Lirih Arania dengan hati yang lara menyadari posisinya saat ini.
Bik Erna menatap mata nelangsa Arania. Biar bagaimanapun ia terlanjur menyayangi gadis itu seperti layaknya anak kandungnya sendiri. Ia juga tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya. Berhubung perselingkuhan ini belum terlanjur jauh lagi, Bik Erna akan mengusahakan yang terbaik untuk kedamaian keluarga majikannya dan juga untuk Arania sendiri.
Bik Erna menggenggam jemari tangan Arania dengan segala kasih sayangnya. "Lupakan Tuan Rendra, dan segeralah pergi dari rumah ini. Pergi yang jauh sampai Tuan tidak bisa menemukan mu, Ara." Pungkas bik Erna.
Deg!
Arania menatap manik mata sayu Bik Erna dengan rasa pilu di hatinya. "Pergi dan melupakan Tuan?" Lirih nya.
Bik Erna tersenyum kemudian menganggukkan kepalanya dengan lembut.
"Tapi... Itu tak mungkin. Aku terlanjur menyayangi Tuan, aku terlanjur menyerahkan diri ku untuk Tuan, aku_" Arania menjeda kalimatnya saat air mata mulai terasa menyesakkan dadanya. "... Terlanjur jatuh cinta pada Tuan Rendra, bik."
Bik Erna menajamkan pandangannya. Dan seketika ia juga melepaskan genggaman tangannya pada jemari halus itu. Aura dingin menyeruak di dirinya saat ia mulai melangkahkan kakinya meninggalkan Arania sendirian di kamar itu tanpa kata-kata lagi.
"Bibi... Maafkan aku.." Seru Arania saat melihat punggung Bik Erna menjauh dari pandangannya. Bik Erna yang terlanjur kecewa, mengabaikan Arania saat gadis itu kembali mulai terisak.
***
Rendra kembali dari lantai atas setelah beberapa saat menyempatkan diri berolahraga ringan di ruang gym agar Gladys tak curiga padanya. Laki-laki rupawan penuh sejuta pesona itu melangkah dengan gagahnya seraya sesekali menyeka keringatnya saat keluar dari lift menuju ke kamar utama menemui istri sahnya.
Walaupun Rendra sangat tampan, akan tetapi pesona ketampanannya itu sama sekali tidak bisa sungguh-sungguh memikat hati Gladys. Dalam hati kecil wanita cantik itu, hanya bisa menganggap Rendra sebagai teman yang sangat baik baginya. Hanya itu saja, hanya sekedar teman dekat, tak lebih. Meskipun demikian, ia tetap melayani Rendra sebagai istri di ranjang hangatnya. Menemaninya berbagi peluh. Walaupun tanpa rasa cinta, karena bagaimanapun ia adalah wanita normal yang juga haus akan pemuasan hasrat serta belaian laki-laki. Apalagi mereka adalah pasangan suami istri, itu adalah hal yang wajar bukan? Tentu saja.
Rendra mendapati Gladys yang telah berbaring di ranjang dengan mata yang terpejam. Ia mendekati ranjang itu dan berjongkok di hadapan wajah Gladys yang terlihat sembab. Rendra mulai membelai wajah cantik itu. Wajah yang selalu di pujanya dari semenjak pertama kali mereka bertemu walaupun tanpa adanya polesan make up yang selalu dikenakannya sepanjang waktu.
"Sayang, kamu habis menangis?" Bisik Rendra di dekat wajah Gladys yang masih terpejam dengan kelopak mata yang sedikit membengkak.
Mendapatkan sentuhan serta sapaan itu, Gladys yang baru saja akan terlelap membuka matanya kembali, ia menatap lekat manik mata Rendra yang penuh kekhawatiran padanya.
"Kenapa kamu tidak pulang tadi malam? Ponselmu pun diluar jangkauan saat ku hubungi." Lirih Rendra.
Tangan Gladys mulai terulur membelai rahang tegas Rendra yang halus tanpa bulu, karena Rendra selalu rutin mencukur kumis serta jenggotnya yang selalu tumbuh.
"Aku memerankan tokoh yang menyedihkan, Mas. Hingga aku dituntut untuk selalu menangis." Ujar Gladys dengan suara serak. Memang benar apa yang dimaksud Gladys memerankan tokoh yang menyedihkan yang tak lain adalah dirinya sendiri dalam dunia nyata, bukan tokoh dalam peran yang sedang di lakoninya dalam drama film.
"Aku dan kru terjebak hujan badai di lokasi syuting, makannya kami semua bermalam di sana. Ponsel ku juga tidak dapat jaringan, mungkin karena pengaruh cuaca buruk, Mas. Kamu khawatirkan aku, Mas?"
"Aku memang khawatir pada mu. Tapi kemudian aku pikir kamu memang selalu menghadapi situasi yang seperti itu. Aku takut kamu tak nyaman kalau ada aku disana. Makannya aku yang tadinya akan menjemput mu tapi akhirnya tidak jadi karena badai semalam."
Gladys tersenyum, "Sudah kubilang kan, Mas nggak usah khawatirkan aku. Aku bisa menjaga diri ku. Toh di sana aku tidak sendirian. Aku bersama kru-kru yang lain kan." Gladys terpaksa berbohong pada Rendra agar dirinya selamat dari kemarahan pria baik yang berada di hadapannya itu.
"Kamu capek?" Tanya Rendra.
"Hem, aku sedikit tidak enak badan. Mungkin pengaruh cuaca semalam."
"Yasudah, kamu istirahat saja. Aku akan menemani mu seharian karena hari ini aku tidak ke kantor. Tapi aku juga harus bekerja dari rumah." Ujar Rendra.
Gladys menganggukkan kepalanya, sedang Rendra terus membelai wajah Gladys. "Beristirahatlah, sayang." Ujar Rendra, Gladyspun kemudian menutup matanya kembali.
"Maafkan aku, Gladys. Cintaku kini bukan hanya untukmu, tapi untuk Arania juga. Meskipun demikian tidak mengurangi rasa cinta dan sayang ku padamu ataupun pada Arania. Aku ingin kalian berdua dalam hidup ku, sayang-sayang ku."
Tiba-tiba terlintas wajah lugu Arania di bayangan matanya. Gadis itu kini menjadi warna lain di hidup nya, warna yang lebih spesial, warna yang terlihat lebih indah serta meneduhkan hatinya. Warna yang lebih cerah dan ceria, yang bisa membangkitkan semangat hidupnya kala dirinya dalam kehampaan tanpa hadirnya seorang Gladys di sisinya.
"Arania..."
***
Terimakasih /Pray//Pray//Pray/