Ibrahim, ketua geng motor, jatuh cinta pada pandangan pertama pada Ayleen, barista cantik yang telah menolongnya.
Tak peduli meski gadis itu menjauh, dia terus mendekatinya tanpa kenal menyerah, bahkan langsung berani mengajaknya menikah.
"Kenapa kamu ingin nikah muda?" tanya Ayleen.
"Karena aku ingin punya keluarga. Ingin ada yang menanyakan kabarku dan menungguku pulang setiap hari." Jawaban Ibra membuat hati Ayleen terenyuh. Semenyedihkan itukah hidup pemuda itu. Sampai dia merasa benar-benar sendiri didunia ini.
Hubungan mereka ditentang oleh keluarga Ayleen karena Ibra dianggap berandalan tanpa masa depan.
Akankah Ibra terus berjuang mendapatkan restu keluarga Ayleen, ataukah dia akan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34
Ayleen berdiri dibalkon sambil menatap kearah gerbang rumahnya. Sudah seminggu, tapi Ibra tidak datang untuk mencarinya. Air matanya menetes, teringat saat Ibra berdiri diseberang rumahnya sambil membentangkan tulisan will you merry me?
Bodoh, dia merutuki diri sendiri. Kenapa harus terus-terusan memikirkan cowok itu. Ibra saja belum tentu saat ini memikirkannya. Buktinya malam itu, Ibra menolak permintaannya untuk keluar dari geng motor. Dan sekarang, cowok itu tak ada niatan untuk datang mencarinya.
"Kak Ibra," gumamnya sambil tersenyum saat melihat motor sport berhenti didepan gerbang rumahnya. Tapi sesaat kemudian, dia menepuk kepalanya sendiri. Jelas-jelas itu bukan Ibra, melainkan Alfath. Meski sama-sama pakai motor sport, tapi motor mereka berbeda, helmnya juga.
Ayleen masuk kedalam kamar lalu menutup pintu. Menjatuhkan tubuhnya sedikit kasar keatas ranjang lalu meraih boneka tedi kesayangannya. Memeluknya sambil menatap langit-langit kamar.
"Aku kangen kamu, Kak," gumamnya sambil menitikkan air mata. Memejamkan mata, berharap akan segera ketiduran hingga tak lagi tersiksa rindu. Tapi kantuk itu tak kunjung datang, malah ketukan dipintu yang terdengar.
Tok tok tok
Ceklek
Pintu sudah dibuka dari luar sebelum Ayleen menyahuti. Siapa lagi kalau bukan Alfath orangnya. Buru-buru Ayleen menyeka air agar tak diledeki adiknya itu.
Sambil tersenyum lebar, Alfath menunjukkan kantong kresek berisi makanan yang dia bawa.
"Chicken popcorn, kesukaan Kakak." Ujarnya sambil berjalan mendekati Ayleen lalu duduk diatas ranjang.
"Tumben kamu baik." Sindir Ayleen sambil bangun lalu duduk disebelah adiknya. Meraih makanan ditangan adiknya lalu membukanya. Beberapa hari ini, dia kehilangan selera makan, tapi aroma chicken popcorn kesukaannya mampu membuatnya berselera.
"Ck, hobi banget sih nangis." Alfath berdecak pelan melihat mata sembab kakaknya. "Aku sampai bela-belain ke mall cuma buat beli makanan kesukaan Kakak. Jadi gak usah nangis lagi. Lagian cowok bukan hanya satu, ada banyak. Jangan kayak cewek gak laku, nangisin cowok sampai_ Aw..." Pekik Alfath saat lengannya dicubit Ayleen.
"Emang enak?" geram Ayleen sambil melepaskan cubitannya. Kesal dikata-katain cewek gak laku. "Kamu mana tahu tentang cinta. Aku doain kamu bucin saat punya cewek nanti." Alfath langsung terkekeh mendengar doa kakaknya.
"Segitunya ya, cinta." Alfath membuang nafas kasar sambil geleng-geleng. Menatap nanar kearah jendela sambil senyum-senyum. Untung belum pernah jatuh cinta, gumamnya dalam hati. "Aku sampai kayak gak percaya loh, Kak Leen nekat gak pulang demi nyamperin cowok. Nginep di basecamp geng motor. Sumpah, ini bukan Kakak banget. Cinta emang gila."
Ayleen memasukkan ayam popcorn kedalam mulut lalu menunduk dalam. Dia sendiri juga bingung atas kenekatannya. Ibarat kata pepatah, cinta itu buta, tuli, gak ada logika, dan entah apalagi. Dan saat ini, Ayleen benar-benar merasakan itu.
Alfath mengeluarkan ponsel dari saku celana abu-abunya lalu menyodorkan pada Ayleen. "Mau pinjam buat nelfon dia?" Jujur, dia kasihan sekali lihat kakaknya gak boleh keluar rumah dan hpnya disita. Dia saja, 10 menit gak lihat hp, rasanya udah gatel.
Ayleen menatap ponsel tersebut. Bimbang antara iya dan tidak, tapi akhirnya, dia menggeleng. "Gak usah." Dia teringat kata-kata ayahnya, jika cowok itu sungguh-sungguh mencintainya, pasti akan datang kesini, jika tidak, lebih baik lupakan. Saat ini, dia sudah pasrah. Ibra yang akan menentukan seperti apa kisah mereka nanti, bukan dia.
Kalau dia dan Ibra memang berjodoh, sebesar apapun halangannya, mereka akan tetap bersama, tapi jika tidak, meski cintanya sangat besar untuk cowok itu, mereka tetap tak akan bisa bersatu.
...----------------...
Saat makan malam, Ayah Septian menatap putrinya yang masih sama seperti hari-hari sebelumnya, tak semangat. Sebenarnya kasihan juga melihat Ayleen seperti ini, gadis itu pasti bosan dirumah terus. Sudah 2 minggu Ayleen tak kemana-mana. Beberapa hari yang lalu, Dian datang berkunjung, tapi sepertinya, sama sekali tak bisa membuat Ayleen kembali ceria. Karena sesungguhnya, ada orang lain yang lebih dia harap kedatangannya.
"Kamu tadi ngapain aja Leen, dirumah?" tanya Ayah disela-sela makan. Menatap putrinya yang tampak tak selera makan.
"Biasanya Yah, nonton drakor," sahut Ayleen sambil tersenyum. Senyum yang terlihat sangat dipaksakan.
"Leen bisa gak lulus kalau terus gak masuk. Apa gak lebih baik, dia pindah kuliah aja," saran Aydin.
"Masalah itu untuk dihadapi, bukan dihindari," sahut Ayah. "Bulan depan, Ayleen mulai kuliah lagi. Ayah yakin, saat itu, Leen tahu seperti apa harus bersikap." Meski sudah pernah dikecewakan, dia masih yakin putrinya tahu seperti apa harus bersikap.
"Tapi gimana kalau berandalan itu gangguin Leen lagi?" Mama Nara masih belum bisa tenang.
"Ayleen udah dewasa, dia pasti bisa ambil sikap. Iya gak, Leen?" tanya Ayah Septian. "Emang Leen masih mau sama pecundang?" tanyanya sambil tersenyum penuh arti.
Ayleen tersenyum kecut lalu menggeleng.
"Tenang Kak Leen. Mati satu tumbuh seribu. Lupain pecundang itu, masih banyak yang ngantri buat Kakak, termasuk si Rizal," ujar Alfath.
"Rizal siapa?" tanya Mama Nara.
"Yaelah Mah, si Rizal, temen Al yang biasanya main kesini, yang suka bawain lapis legit, martabak, rujak manis, sampai bawain mama daging kurban juga." Sebenarnya masih banyak bawaan Rizal lainnya tak tak mungkin Alfath sebut satu persatu.
"Si Rizal yang gendut itu?" tanya Aydin. Rizal memang sering main kesini, tak heran jika keluarga mereka kenal semua.
"Iya, siapa lagi," sahut Alfath enteng.
"Gila kamu," seru Ayleen. "Aku ogahlah sama dia. Orang gendut gitu."
"Hei, gak boleh body shaming," tegur Alfath. Tak terima temannya dihina, karena bagaimanapun, Rizal adalah temannya yang paling royal. "Meski dia gendut, dompetnya juga gendut. Anak pengusaha batubara."
"Si Ibrahim juga kaya." Celetukan Mama Nara langsung membuat semua orang menatapnya. "Kenapa pada ngeliat Mama kayak gini?"
"Mama gak lagi ngedukung pecundang itukan?" tanya Aydin.
"Heis, kamu terlalu cepat mengambil kesimpulan. Mama cuma bilang dia kaya, gak bilang suka apalagi ngedukung dia," sangkal Mama Nara. Jelas dia tahu seperti apa keluarga Ibra, karena sudah kenal baik dengan alm. Ibunya sejak lama.
"Percaya kalau dia kaya. Motornya aja harganya ratusan juta. Bahkan mungkin setengah M." Sekarang, semua orang ganti melihat Alfath. Sampai-sampai, Ayah Septian yang hendak memasukkan makanan kedalam mulut, jadi batal.
"Darimana kamu tahu?" tanya Aydin.
Sadar sudah keceplosan, Alfath langsung salah tingkah. Tapi pelototan tajam Abangnya membuat dia mati gaya.
"A-aku....aku...pernah ngelihat dia sama Kak Ayleen di....food...fes-tival." Jawabnya sambil tersenyum absurd. Saat itu, Ibra memang memakai motor matic. Tapi pernah sekali dia melihat Ibra dirumah Joko. Saat itulah dia tahu kalau Ibra punya motor yang keren. Sebagai pecinta motor sport, Alfath jelas ngiler lihat motornya Ibra.
"Jadi kamu udah tahu dari dulu, lalu kenapa diam saja?" Ditanya Aydin seperti itu, Alfath hanya nyengir sambil garuk-garuk kepala. Gak mungkinkan, dia bilang kalau waktu itu, mikirnya siapa tahu bisa dipinjemin motor. "Harusnya kamu ngasih tahu semuanya kalau_"
"Udah-udah," Ayah Septian melerai. "Kok malah debat ngurusin dia. Dia bukan siapa-siapa kita, jadi gak usah ngeributin dia apalagi ngitungin hartanya. Abang Ay besok Sabtu malam gak ada jadwal kencankan?" tanyanya sambil menatap si anak sulung.
"Hahaha.." Tawa Alfath seketika meledak. Sadar jika jadi pusat perhatian, buru-buru dia membungkam mulut agar tawanya reda. "Gimana mau kencan Yah, pacar aja gak punya," ledeknya sambil menunduk. Mana berani dia meledek sambil menatap abangnya yang garang itu.
"Ya bagusnya memang begitu, gak usah pacaran. Taaruf aja, kalau cocok, langsung lamar," ujar Ayah. "Ada film baru, gimana kalau sabtu nanti, kita quality time, nonton bareng sekeluarga. Sekalian jalan-jalan di mall. Siapa tahu nih para perempuan, pengen shopping." Dia melihat kearah Mama Nara dan Ayleen. Tujuan utama Ayah sebenarnya ingin ngajak Ayleen jalan-jalan. Biar dia bisa kembali bersemangat dengan dukungan seluruh keluarga. Semua orang sayang dia, buat apa sedih hanya karena kehilangan satu cowok pecundang.
"Kok perempuan aja, aku juga mau, Yah," Alfath tak mau ketinggalan.
"Ya udah sabtu nanti kita ke mall," Aydin juga setuju. "Abang baru gajian, nanti Abang belanjain adik-adik Abang ini." Ujarnya sambil menatap Ayleen dan Alfath bergantian.
"Abangku yang satu ini emang the best." Alfath langsung tersenyum lebar sembari menepuk lengan Aydin yang duduk disebelahnya. Berbeda dengan Alfath, Ayleen tampak tak terlalu bersemangat.
Ting tong ting tong
Suara bel membuat orang-orang yang sedang makan itu berhenti sejenak. Semua orang langsung menatap Alfath.
"Heis, kalau urusan gini, selalu aku yang kena." Gerutu cowok itu sambil beranjak dari duduknya. Karena yang paling kecil, dia selalu yang disuruh-suruh.
"Biar saya saja yang buka, Mas." Tiba-tiba Bi Tyas muncul dari dapur. Menjadi dewi penolong bagi Alfath.
"Alhamdulillah." Cowok itu mengangkat kedua telapak tangannya lalu duduk kembali.
Tak lama kemudian, Bi Tyas datang kembali. "Ada tamu nyariin Bapak," ujarnya pada Ayah Septian.
"Siapa Bi, laki apa perempuan?" tanya Mama Nara. Denger ada yang nyariin suaminya, dia langsung mode waspada.
"Laki-laki Bu, masih muda."