NovelToon NovelToon
Jejak Langkah Menuju Dunia

Jejak Langkah Menuju Dunia

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: avocado lush

Dina, seorang pelajar dari kota kecil dengan mimpi besar, memiliki hasrat yang kuat untuk menjelajahi dunia dan mengembangkan diri. Ketika sekolahnya mengadakan lomba sains tingkat provinsi, Dina melihat ini sebagai kesempatan emas untuk meraih impian terbesarnya: mendapatkan beasiswa dan melanjutkan studi ke luar negeri. Meskipun berasal dari keluarga sederhana dan di hadapkan pada saingan-saingan dari sekolah sekolah-sekolah elit, Dina tak gentar. Dengan proyek ilmiah tentang energi terbarukan yang dia kembangkan dengan penuh dedikasi, Dina berjuang keras melampaui batas kemampuannya

Namun, perjalanan menuju kemenangan tidaklah mudah. Dina Harus menghadapi keraguan, kegugupan, dan ketidakpastian tentang masa depannya. Dengan dukungan penuh dari keluarganya yang sederhana namun penuh kasih sayang, Dina berusaha membuktikan bahwa kerja keras dan tekad mampu membuka pintu ke peluang yang tak terbayangkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon avocado lush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Puncak Pengorbanan

Langit pagi di atas bukit ketiga terasa lebih dingin dari biasanya. Dina berdiri di tepi jalur sempit yang kini menjadi satu-satunya akses menuju lokasi pembangunan kincir terakhir. Di bawahnya, jurang menganga, sementara di atasnya, angin bertiup kencang membawa aroma hutan dan tanah basah.

“Ini akan menjadi ujian terberat kita,” gumam Dina pada Aditya yang berdiri di sampingnya, memandangi rute penuh tantangan itu.

“Ujian ini lebih berat dari sebelumnya,” jawab Aditya. “Tapi kalau kita bisa menyelesaikan ini, semuanya akan terbayar.”

---

Di desa, warga berkumpul di balai untuk mendengar arahan terakhir sebelum memulai pekerjaan besar. Dina berdiri di tengah-tengah mereka, membawa peta lokasi dan jadwal yang telah ia susun bersama tim teknis.

“Kita sudah menyelesaikan dua kincir dengan kerja keras dan gotong royong,” katanya dengan nada tegas namun lembut. “Tapi kincir terakhir ini adalah tantangan terbesar kita. Medannya berat, dan cuaca tidak selalu bersahabat. Namun, saya percaya bahwa bersama-sama, kita bisa melakukannya.”

Pak Karim angkat bicara, seperti biasa memberikan semangat kepada warga. “Kita sudah sampai sejauh ini. Tidak ada alasan untuk mundur sekarang. Kalau Dina percaya kita bisa, maka saya pun yakin kita bisa.”

Sorak-sorai warga menggema memenuhi ruangan. Dina merasa hatinya hangat, meski di dalam dirinya ada kekhawatiran besar.

---

Pembangunan dimulai dengan memindahkan material ke atas bukit menggunakan sistem manual. Jalur sempit yang curam membuat kendaraan berat tidak memungkinkan untuk digunakan, sehingga warga dan tim teknis harus bekerja sama membawa material dengan tangan.

Setiap hari, mereka membentuk barisan panjang, mengoper material dari tangan ke tangan. Meski lelah, tidak ada yang menyerah. Dina selalu berada di barisan, membantu dan memberi semangat.

“Kamu harus istirahat, Din,” ujar Mira suatu hari saat melihat Dina duduk di atas batu dengan napas terengah-engah.

Dina menggeleng. “Aku nggak bisa, Ra. Kalau mereka lihat aku berhenti, semangat mereka bisa turun.”

Mira menatapnya dengan penuh kekhawatiran. “Tapi kalau kamu tumbang, siapa yang akan memimpin?”

Dina terdiam. Ia tahu Mira benar, tetapi hatinya tidak pernah tenang membiarkan orang lain bekerja tanpa dirinya.

---

Sementara itu, cuaca semakin tidak menentu. Hujan deras yang tiba-tiba datang sering membuat jalur pengangkutan licin dan berbahaya. Suatu sore, salah satu warga tergelincir saat membawa balok besi, hampir jatuh ke jurang jika tidak ditahan oleh rekan-rekannya.

“Kita tidak bisa terus seperti ini,” ujar Aditya setelah kejadian itu. “Kita butuh waktu untuk membuat jalur ini lebih aman, atau kita akan kehilangan orang.”

Dina mengangguk pelan. “Kita tunda sementara untuk memperbaiki jalur. Tapi kita tidak bisa berhenti terlalu lama. Waktu kita semakin sedikit.”

---

Warga bekerja siang dan malam memperbaiki jalur. Mereka menggunakan kayu dan batu lokal untuk membuat jalan setapak yang lebih stabil. Meskipun lelah, semangat tetap menyala.

Pak Karim, yang kini memimpin beberapa warga, sering terlihat memotivasi kelompok-kelompok kecil. “Kita harus terus maju,” katanya sambil membantu menumpuk batu. “Dina sudah memberikan segalanya untuk kita. Sekarang giliran kita menunjukkan bahwa kita bisa menyelesaikan ini.”

---

Akhirnya, setelah berminggu-minggu kerja keras, kerangka kincir terakhir mulai terlihat. Hari itu, warga dan tim teknis berkumpul di lokasi, menatap baling-baling besar yang siap dipasang.

“Ini momen yang kita tunggu,” ujar Dina dengan suara penuh emosi. “Saya tahu ini tidak mudah. Tapi semua ini adalah bukti dari kerja keras dan kebersamaan kita.”

Baling-baling mulai diangkat dengan hati-hati menggunakan alat sederhana. Proses itu berlangsung selama berjam-jam, dengan semua orang menahan napas setiap kali baling-baling bergoyang terkena angin.

Ketika akhirnya baling-baling itu terpasang dengan sempurna, sorak-sorai menggema di seluruh bukit. Dina merasa air matanya mengalir, bukan karena lelah, tetapi karena rasa bangga yang luar biasa.

---

Malam itu, warga mengadakan perayaan kecil di puncak bukit. Mereka menyalakan api unggun, bernyanyi, dan menceritakan pengalaman mereka selama proyek berlangsung. Dina duduk di dekat api, ditemani Mira dan Aditya.

“Kamu berhasil lagi, Din,” ujar Aditya sambil tersenyum. “Ini proyek yang paling sulit yang pernah saya kerjakan, tapi juga yang paling berarti.”

Dina mengangguk, menatap api yang berkobar. “Ini bukan tentang aku, Aditya. Ini tentang kita semua. Semua orang di sini adalah bagian dari keberhasilan ini.”

---

Ketika malam semakin larut, Dina berjalan sendirian ke arah kincir yang berdiri megah di atas bukit. Angin berhembus lembut, membuat baling-baling berputar perlahan di bawah sinar bulan. Ia merasakan kedamaian yang sulit dijelaskan, seolah angin itu berbicara padanya.

“Terima kasih,” bisiknya pelan, entah pada siapa. Pada angin, pada desa, atau mungkin pada dirinya sendiri.

Dina tahu, ini bukan akhir dari perjalanannya. Ini hanya satu babak yang selesai. Masih banyak tantangan di depan, tetapi untuk malam itu, ia membiarkan dirinya merasakan kebahagiaan yang murni.

Di bawah bintang-bintang, Dina berdiri, membawa harapan bahwa apa yang mereka bangun di desa ini akan terus berputar, seperti baling-baling kincir angin di tengah angin malam. ***

Malam itu, di bawah langit penuh bintang, Dina berusaha merenungkan apa yang baru saja mereka capai. Namun, di dalam dirinya, ada perasaan ganjil yang belum ia pahami sepenuhnya. Seolah, kesuksesan kincir ketiga hanyalah permulaan dari sesuatu yang lebih besar—atau lebih berat.

Di tengah lamunannya, Aditya mendekat membawa secangkir kopi panas. “Kamu belum tidur?” tanyanya sambil duduk di samping Dina di atas batu besar yang menghadap kincir terakhir.

“Aku terlalu banyak berpikir,” jawab Dina jujur. “Kita sudah sampai sejauh ini, tapi rasanya belum selesai.”

Aditya menyesap kopinya. “Karena memang belum. Kamu tahu, Din, setiap puncak yang kita capai selalu membawa kita pada perjalanan berikutnya. Dan itu tidak salah.”

Dina tersenyum tipis, meski matanya menunjukkan kelelahan. “Tapi bukankah rasanya melelahkan, Dit? Seakan-akan perjuangan tidak pernah berhenti.”

Aditya menatapnya dalam-dalam. “Kalau tidak ada perjuangan, kita tidak akan pernah tahu sejauh mana kita bisa melangkah. Dan kalau aku boleh bilang, Dina, kamu itu lebih kuat daripada yang kamu kira.”

---

Keesokan harinya, kabar yang tidak terduga datang. Sebuah insiden terjadi di salah satu kabel utama yang menghubungkan kincir ketiga ke sistem distribusi energi. Dina menerima laporan bahwa kabel tersebut terputus akibat tekanan angin yang terlalu kuat di lereng bukit.

“Ini bukan masalah kecil,” ujar Armand di rapat darurat. “Tanpa kabel itu, kincir ketiga tidak bisa mengalirkan energi sama sekali.”

“Kita harus memperbaikinya secepat mungkin,” jawab Dina. “Tapi bagaimana cara kita melakukannya tanpa membahayakan tim?”

Armand menghela napas. “Itulah masalahnya. Lokasi kabel terputus berada di titik yang sulit diakses. Kita butuh alat berat atau tim khusus untuk menangani ini, tapi kita tidak punya waktu.”

Pak Karim, yang juga hadir, angkat bicara. “Kalau kita tunggu alat berat, itu bisa memakan waktu berminggu-minggu. Tapi kalau warga ikut membantu, mungkin kita bisa memperbaikinya lebih cepat.”

Dina merasa ragu. “Tapi risikonya terlalu besar, Pak Karim. Aku tidak bisa membahayakan nyawa siapa pun.”

Pak Karim menatap Dina dengan tegas. “Dina, kita sudah melalui banyak hal bersama. Kalau kita bisa membangun kincir di bukit ini dengan tangan kita sendiri, maka kita juga bisa memperbaiki kabel itu. Percayalah pada kami.”

---

Dengan hati yang berat, Dina akhirnya setuju, tetapi dengan syarat bahwa semua tindakan harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Pagi itu, warga dan tim teknis mulai bekerja sama mencari cara untuk menjangkau lokasi kabel yang putus.

Mereka membangun jalur improvisasi menggunakan kayu dan tali untuk memudahkan akses ke lereng bukit. Meski perlahan, progres mulai terlihat. Dina terus mengawasi dari kejauhan, memastikan tidak ada yang mengambil risiko terlalu besar.

Namun, tiba-tiba, angin kencang datang dari arah barat, mengguncang jalur yang mereka bangun. Salah satu warga hampir terjatuh jika Aditya tidak segera menangkapnya.

“Kita harus berhenti sementara!” teriak Dina. “Ini terlalu berbahaya.”

Aditya mendekatinya dengan napas memburu. “Din, kalau kita berhenti sekarang, kerusakan bisa semakin parah. Kita harus selesaikan ini sebelum cuaca semakin buruk.”

Dina tahu Aditya benar, tetapi hatinya tetap diliputi kekhawatiran. Ia hanya bisa berdoa agar semua ini berakhir tanpa korban.

---

Setelah berjam-jam bekerja keras, akhirnya kabel berhasil diperbaiki. Armand melakukan uji coba terakhir, dan aliran energi dari kincir ketiga mulai mengalir ke seluruh sistem. Warga yang menyaksikan dari kejauhan bersorak gembira.

Dina terduduk lemas di tanah, air matanya mengalir tanpa ia sadari. Aditya mendekatinya, menyentuh bahunya dengan lembut.

“Kita berhasil, Din,” katanya.

Dina mengangguk, masih berusaha mengendalikan emosinya. “Tapi rasanya seperti... aku hampir kehilangan semuanya.”

Aditya tersenyum tipis. “Tapi kamu tidak kehilangan apa pun. Kamu malah mendapatkan lebih banyak: kepercayaan, harapan, dan bukti bahwa kita bisa melewati apa pun bersama-sama.”

---

Malam itu, saat semua orang merayakan keberhasilan mereka di balai desa, Dina memilih untuk berjalan sendirian menuju bukit ketiga. Ia berdiri di bawah kincir yang kini berputar sempurna, memandangi baling-baling yang terus berputar seolah tak pernah lelah.

“Terima kasih,” bisiknya pelan, kali ini dengan perasaan yang lebih dalam.

Angin malam yang menyapa wajahnya membawa kedamaian, seolah menjanjikan bahwa badai apa pun yang akan datang, mereka akan mampu melewatinya. ***

1
Sisca Audriantie
good keren banget😊
avocado lush: terima kasih /Pray//Whimper/
total 1 replies
elayn owo
Gak bisa berhenti baca deh! 🔥
ADZAL ZIAH
semangat menulisnya ya kak ❤ dukung juga karya aku
avocado lush: makasih kak dukungan nya /Heart/ siap kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!