HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN, PASTIKAN UDAH PUNYA KTP YA BUND😙
Bosan dengan pertanyaan "Kapan nikah?" dan tuntutan keluarga perihal pasangan hidup lantaran usianya kian dewasa, Kanaya rela membayar seorang pria untuk dikenalkan sebagai kekasihnya di hari perkawinan Khaira. Salahnya, Kanaya sebodoh itu dan tidak mencaritahu lebih dulu siapa pria yang ia sewa. Terjebak dalam permainan yang ia ciptakan sendiri, hancur dan justru terikat salam hal yang sejak dahulu ia hindari.
"Lupakan, tidak akan terjadi apa-apa ... toh kita cuma melakukannya sekali bukan?" Sorot tajam menatap getir pria yang kini duduk di tepi ranjang.
"Baiklah jika itu maumu, anggap saja ini bagian dari pekerjaanku ... tapi perlu kau ingat, Naya, jika sampai kau hamil bisa dipastikan itu anakku." Senyum tipis itu terbit, seakan tak ada beban dan hal segenting itu bukan masalah.
Ig : desh_puspita
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yg gamodal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6
“Papaku? Itu papa,” jawab Kanaya menunjuk papa tirinya, padahal tadi sudah dia kenalkan lalu kenapa Ibra bertanya lagi, pikir Kanaya.
“Sepertinya bukan, dia bukan papa kandungmu kan?”
Pertanyaan Ibra cukup membuatnya terkejut, pasalnya tak banyak yang mengira jika Kanaya bukan anak dari Mahatma. Hal ini karena sikap papa tirinya jauh lebih baik daripada Widya dan Adrian padanya.
“Sok tau!! Tugasmu hanya mendampingi aku, bukan banyak tanya begini,” cetus Kanaya menatap tajam Ibra namun tak berani begitu lama, karena tatapan Ibra justru jauh lebih tajam daripada tatapannya.
“Hanya bertanya, kalau salah maaf,” ucapnya enteng sekali, Ibra memang terlihat begitu santai dan mudah sekali menyesuaikan lingkungan. Tak salah, toh memang itu profesinya, pikir Kanaya.
Cukup lama duduk diam sembari menatap kebahagiaan manusia paling munafik di dunia. Gibran anggareksa, pria yang sempat menjadi tempat Kanaya pulang nyatanya menggaggap Kanaya tak lebih dari sekadar batu loncatan.
Tak puas dengan menyakiti dari sisi pekerjaan, Gibran kembali mengorek luka batin Kanaya dengan menikahi adik tirinya dengan alasan Khaira lebih baik darinya.
Seorang dokter yang memiliki kepintaran di atas rata-rata sementasa dirinya hanya karyawan biasa, tak apa sebenarnya, Kanaya sudah hapal bagaimana orang kerap membandingkannya.
“Kanaya, akhirnya gandeng cowok baru lagi … gantengan ini sih, tapi tante nggak yakin dia kuat sama kamu, buktinya Gibran aja nyerah ya, Mba?”
Kali ini Widya tampak berbeda, benar kan kata Kanaya, mamanya luluh jika Kanaya membawakan masa depan yang kelihatan cerah dihadapan mamanya. Sekalipun senyum itu palsu, bagi Kanaya tak apa dan dia tidak mempermasalahkannya.
“Semoga yang ini beneran, Dewi, kamu tu doain keponakannya sesekali gimana sih.”
Ibra hanya menatap interaksi mereka sedikit bingung. Ekspresi apa yang kini Kanaya berikan padanya. Sedih tapi dia tidak sedih, akan tetapi hendak disebut bahagia sepertinya tidak juga.
“Hahaha iya, Mba, dari sejak dia sama Gibran kita sekeluarga juga udah doa, buktinya yang dilamar justru Khaira, memang bener zaman sekarang laki-laki kalau cari istri harus selektif ya, karena calon ibu itu harus pinter.”
Rasanya Kanaya tak punya muka lagi, kenapa bisa selentik itu lidah Dewi mengatakan hal gila semacam itu. Terkhusus di depan Ibra yang memang jelas hanya kekasih bayaran semata. Ingin membantah akan tetapi mungkin keputusan Gibran memang itu salah satunya, cari istri cerdas bukan hanya cantik saja.
“Kampungan,” desis Ibra kala tante dan mamanya sudah berlalu, entah kenapa sedikitpun Widya tidak marah kala dirinya justru dijadikan bahan gunjingan skeluarga, Kanaya hanya bisa terdiam sembari menghela napas pelan.
“Keluargamu toxic semua, ck wajar tidak kaya.”
Kanaya menajamkan alisnya, apa tadi? Ibra bawa status keluarganya. Padahal apa bedanya dengan dirinya, pikir Kanaya. Ya walau sebenarnya penampilan Ibra dapat menjelaskan seberapa kaya dia, dan jujur saja aura kekayaan pria ini tercium sejak awal pertemua. Tapi kan, bayaran dia tinggi, jelas saja bisa hidup mewah, Kanaya membatin berusaha berpikir sebaik mungkin.
“Ya memang sih tidak kaya, bangkrut lebih tepatnya,” jawab Kanaya asal, berucap santai dan tidak sama sekali terlihat tengah bersedih.
Bangkrut, dirinya yang membuat bangkrut sebenarnya. Kecelakaan tragis yang menyebabkan sang ayah meninggal di tempat dan dirinya koma selama 7 bulan dengan biaya pengobatan yang tak sedikit membuat Widya kacau luar biasa.
Kuliah Adrian terpaksa dihentikan demi mempertahankan abygail bisa masuk SMA. Kedua kakaknya sekolah di tempat yang cukup mahal dan tidak memungkinkan Widya mampu membiayai ketiga anaknya yang sama-sama menguras uang hingga tak bersisa.
“Hm, begitu … tidak kaya tapi mampu mengadakan pesta semewah ini ya?”
“Iya mampu, kan Gibran udah kaya … lagipula gaji Khaira dan uang papaku yang sekarang banyak, kami tidak semiskin itu asal kau tau.”
Ibra merasa tak enak hati seketika kala Kanaya berucap demikian, nampaknya dia tersinggung dengan kalimat tidak kaya yang dia tujukan pada wanita keriting yang menggunjingkan Kanaya beberapa saat saat lalu.
“Maaf, kau sangat sensitif ternyata.”
Persis pasangan yang baru jadian, satunya ngambekan dan satunya asal ceplos. Kanaya menghela napas pelan, ia tak tersinggung sebenarnya. Akan tetapi pembahasan Ibra justru membuatnya kembali mengingat fakta seberapa besar Widya dan Ardian membencinya.
Kanaya memejamkan mata, di sini terlalu ramai dan dia semakin pusing jika sudah terlalu lama. Belum lagi harus menyaksikan senyum Gibran yang menjadi raja sehari di depan sana batinnya semakin tersiksa saja.
“Waktumu bersamaku berapa jam lagi?” tanya Kanaya tanpa menatap wajah Ibra.
“Satu jam tiga puluh menit lagi, aku baru tiba di sini? Apa sudah selesai?” tanya Ibra heran, jika hanya begini tarif 10 juta sangat fantastis tentu saja.
“Cih, aku membayarmu mahal dan waktu yang kau janjikan 2 jam … temani aku untuk sisa waktu yang ada, sudah cukup pekernalan di sini, aku tidak dibutuhkan lagi.”
Ucapan macam apa itu, yang Ibra ketahui itu adalah ucapan seseorang yang tengah berada di titik kecewanya. Pria itu menatap lekat pundak Kanaya yang tampak bergetar seperti menahan tangis di sana.
“Jangan seperti ini, orang akan menganggap kau gagal lagi.” Ibra merangkul pundak Kanaya posesif, seakan menjelaskan jika dirinya kini tengah menjadi pemilik wanita cantik itu. Tak bisa Ibra pungkiri, memang Kanaya secantik itu.
“Gagal apanya, toh memang cuma dua jam, jangan berlebihan … kau cuma pria bayaran, Ibra.”
Lugas dan amat jelas, ucapan Kanaya sama sekali tak membuat Ibra sakit. Pria itu hanya tersenyum menatap amarah Kanaya yang tampak tertahan. Entah apa yang sebenarnya kini bercamuk dalam benaknya.
“Mau kemana?”
“Bawa aku ke tempat dimana aku bisa melupakan semuanya, keluarga toxic seperti yang kau katakan.”
“Baiklah, kau percaya padaku, Kanaya?” Ibra bertanya dengan sedikit penekanan, karena baginya kalimat iya dan izin dari seorang wanita adalah segalanya dan kunci utama dalam menjalani hubungan.
“Hm, bawa aku terserah kemanapun kau mau.”
Pria itu tertawa sumbang, mulai melajukan mobilnya perlahan dan menuju tempat yang kerap ia datangi kala masalah justru lebih besar dari pada dirinya. Ya, kemana lagi jika bukan club malam yang seakan menjadi rumah kedua bagi Ibra.
“Ibrahim Megantara, nama Ibrahim kelakuannya persis anak jin.”
Begitulah julukan yang kerap ia dapatkan, sejak dahulu bahkan masih duduk di bangku SD. Anak yang tubuh dengan didikan keras dan derita yang diluar batas membuat Ibrahim terlatih sejak kecil.
Baginya tak apa julukan sejelek apapun yang orang lain berikan padanya, yang jelas dia hanya menikmati hidup dengan nama yang diberikan orang tuanya sebagai doa. Dan sesuai keyakinan Ibra, bahwa doa tak selamanya dikabulkan Tuhan, termasuk namanya.