Dikhianati sang kekasih dan melihat dengan mata kepalanya sendiri wanita yang dia cintai tengah bercinta dengan pria yang tak lain sahabatnya sendiri membuat Mikhail Abercio merasa gagal menjadi laki-laki. Sakit, dendam dan kekacauan dalam batinnya membuat pribadi Mikhail Abercio berubah 180 derajat bahkan sang Mama sudah angkat tangan.
Hingga, semua berubah ketika takdir mempertemukannya dengan gadis belia yang merupakan mahasiswi magang di kantornya. Valenzia Arthaneda, gadis cantik yang baru merasakan sakitnya menjadi dewasa tak punya pilihan lain ketika Mikhail menuntutnya ganti rugi hanya karena hal sepele.
"1 Miliar atau tidur denganku? Kau punya waktu dua hari untuk berpikir." -Mikhail Abercio
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22 - Ikut!!
Takut hamil atau takut jadi istriku?
Sejak Mikhail benar-benar pergi, pertanyaan itu masih menghantui benak Zia. Keduanya sama-sama dia takutkan, Zia tak punya mimpi mengandung anak Mikhail apalagi menjadi istrinya.
"Kapan makannya? Kamu mikirin apa sih, Zia?"
"Hah? Bentar, Ka ... masih panas."
"Dasar sinting! Yang kamu pesen es kelapa muda, panas apanya?"
Erika mencebik dan menggeleng pelan, sore-sore begini sudah dibuat bingung dengan Zia yang begini setelah tadi siang Zidan melakukan hal sama. Sama-sama membingungkan, dan Erika sebagai pihak penengah belum menemukan titik terangnya.
"Hee lupa, seingetku bakso tadi."
Sepertinya masalah Zia memang berat, padahal sepengetahuan Erika hidupnya lebih baik sejak dua minggu terakhir. Tempat tinggal yang layak yang hampir setara apartemen, kesehatan orang tuanya membaik dan semua hutang sana sini sudah Zia tuntaskan.
"Kalian ada masalah apa sebenarnya? Kalau misal nggak sanggup jangan terusin, Zia ... itu namanya nyakitin diri sendiri."
"Bukan masalah itu, Ka, aku cuma capek aja dikit." Dia mengeluh sebelum kemudian menyeruput air kelapa yang begitu menyegarkan itu.
"Capek kenapa? Ketahuan jual tanah kakek kamu ya jangan-jangan?" tanya Erika sedikit berbisik, hal yang membuat dia tak curiga asal uang Zia dari mana adalah ini, Zia mengaku diam-diam menjual tanah warisan keluarganya.
"Hm, gimana dong!! Kamu punya tanah juga nggak?" Zia bertanya demi membuat Erika benar-benar menduga masalahnya saat ini memang perkara tanah.
"Ya enggaklah, pertanyaannya macem-macem ... kamu pinjem aja sama pak Mikhail, kan kalian lumayan deket."
Setelah tragedi terkunci di kamar mandi itu, Erika menganggap Zia memiliki hubungan baik dengan Mikhail. Namun otak udangnya tak sampai untuk menelaah jika sahabatnya kaya mendadak karena uluran tangan pria itu.
Memang semudah itu membuat Erika percaya, hanya dengan pura-pura menjual tanah dia percaya dan tidak mencari tahu lebih dulu apa yang terjadi dengan sahabat karibnya kini.
"Dia bukan renternir, Ka."
"Hm iya juga sih ... oh iya, tapi hubungan kalian berdua baik-baik saja kan?" tanya Erika sedikit ragu, Zidan yang mengutarakan kegalauannya kemarin seakan mempelihatkan jika mereka sebenarnya tidak baik-baik saja.
"Baik-baik aja kok, kemarin aku sama Zidan jalan berdua seharian ... dan memang baik-baik saja." Dia merasa pertanyaan Erika sedikit aneh, pasalnya tidak ada hal yang kemarin Zidan perlihatkan. Sikapnya masih sama bahkan beberapa kali mengungkapkan dia sangat-sangat cinta.
"Jangan sakiti dia, Zia ... kamu tau nggak malem minggu dia nungguin kamu di taman kota selama tiga jam tanpa kabar mana basah semua."
Zia tertunduk lesu, dia paham akan hal itu. Zidan mengatakan itu kemarin, dan rasa bersalahnya mencuat hingga sekarang. Namun anehnya, perasaan itu perlahan terasa biasa ketika dia kembali bertemu Mikhail pagi ini.
"Aku ketiduran, dan aku beneran lupa kalau itu tanggal jadian kami berdua."
"Woah? Seorang Zia bisa lupa tanggal jadian ... aku curiga kamu selingkuh salah nggak sih?" Pertanyaan paling mengerikan yang pernah ada, Zia menggeleng cepat dengan wajah panik dan tak lupa sebelumnya menggebrak meja.
"Heh!! Jaga ya mulutnya, enak aja, wanita paling setia dituduh selingkuh!" Mulutnya membantah tapi hatinya seakan menerima tuduhan Erika. Mau dengan cinta atau tidak, yang jelas Zia sudah mengkhianati cinta Zidan padanya.
"Semoga memang enggak ya ... aku yakin pria baik akan mendapatkan wanita yang baik juga, begitupun sebaliknya."
Jika dahulu dia akan tersenyum dengan perkataan itu, kini tidak lagi. Zia bukan wanita yang baik lagi, dan sepertinya pria baik akan terlalu rugi mendapatkan dirinya. Zia terdiam, wanita itu memilih untuk tak banyak bicara kini.
-
.
.
.
Langkah Zia terasa berat ketika tiba di kamarnya, jika biasanya dia pulang dengan Mikhail yang mengantarnya, kini semua terasa berbeda. Menatap sekeliling kamarnya yang begitu lenggang, Mikhail yang memilih tempat itu dengan alasan dia harus nyaman jika bertamu.
Malam sudah hampir larut dan dia baru bisa pulang karena memang pekerjaannya baru saja selesai. Jika ditanya lelah atau tidak, jelas saja dia lelah bahkan rasanya untuk mandi saja dia enggan.
Tempat tidur tampaknya lebih menarik daripada kamar mandi, wanita itu memilih menghempaskan diri di atas tempat tidur empuk itu. Memejamkan matanya sejenak namun itu bukan terlelap.
"Satu ... dua ... ti ...."
Belum selesai dia menghitung, dugaannya tepat sekali. Ponselnya berdering dan bisa dipastikan itu adalah Mikhail, pria yang sejak tadi menganggu waktu kerjanya dan merengek minta ditemani namun Zia benar-benar sibuk dan tidak mungkin melakukan panggilan video (VC) saat bekerja.
"Hm, kenapa?" tanya Zia setelah beberapa saat sengaja menahan untuk tidak menerima panggilan itu segera.
"Baru pulang?"
Suaranya terdengar berat dan namun tetap dipaksakan tetap terjaga. Sejak tadi dia menunggu dan akhirnya wanita itu pulang juga. Setelah sebelumnya dibuat uring-uringan wajah itu bisa Mikhail lihat puas-puas.
"Iya ... Bapak kenapa belum tidur?" tanya Zia pura-pura tak mengerti, padahal sebelumnya dia sendiri yang minta Mikhail untuk menunggu jika ingin menghubunginya.
"Nunggu kamulah, apalagi?" celetuk Mikhail sedikit kesal. Dia berdecak lantaran Zia bersikap biasa saja padahal kerinduannya menggebu-nggebu padahal baru berpisah hitungan jam.
Zia tak lagi menjawab, kantuknya semakin merajalela dan Mikhail tidak menginginkan dia tidur cepat-cepat. Akan tidak adil jika dirinya hanya melihat Zia terlelap sekarang.
"Zia ... kamu tidur?"
"ZIA!!!"
"Astaga, nggak usah teriak, Pak ... sakit telinga saya!" sentak Zia kesal bukan main, pria itu membuat kesadaraannya seakan terkumpul seketika, teriakan Mikhail di seberang sana membuat pria itu terlihat amat egois sebagai pria.
"Jangan tidur dulu."
Siapa juga yang bisa tertidur lagi jika sudah begini, Zia beranjak dan kini duduk di tepian ranjang. Kesal sekali rasanya dengan kelakuan Mikhail yang begini. Tak ingin kepalanya terasa sakit, Zia memutuskan untuk mandi sebelum benar-benar beristirahat.
"Kamu mau kemana?" tanya Mikhail cepat ketika ponselnya menghadap ke langit-langit kamar, bukan itu yang Mikhail mau saat ini.
"Mandi." Zia menjawab singkat, masih sedikit kesal lantaran Mikhail yang membuatnya terkejut.
"Ikut."
"Ikut gimana?" tanya Zia kemudian, belum terlihat wajahnya dan bisa dipastikan memang Zia sedikit jauh dari ponselnya.
"Bawa hp-nya, aku ingin melihatmu."
"What?!!" Suaranya meninggi disertai ekspresi tak suka dari Zia di sana, Mikhail serius dan itu bukan candaan. Memang belum pernah dia lakukan dan tidak terpikirkan sebelumnya, akan tetapi ketika mendengar kalimat mandi dari Zia nalurinya berkata lain.
"Aku serius, Zia ... tolonglah jangan membuatku tersiksa malam ini," pinta Mikhail penuh pernohonan, dia bahkan bangun dari tempat tidur dan mengacak rambutnya kasar seraya menuju kamar mandi.
"Zia please!!"
Tbc