Reina Amelia merupakan pembunuh bayaran terkenal dan ditakuti, dengan kode name Levy five. Sebut nama itu dan semua orang akan bergidik ngeri , tapi mati karena menerima pengkhianatan dan gagal misi.
Namun, Alih-alih beristirahat dengan tenang di alam baka, jiwa Reina malah masuk ke tubuh seorang siswi bernama Luna Wijaya yang merupakan siswi sangat lemah, bodoh, jelek, dan menjadi korban bullying di sekolah.
Luna Wijaya, yang kini dihuni oleh jiwa pembunuh bayaran, harus menghadapi berbagai tantangan, mulai dari kehidupan sekolah yang keras hingga mencari cara untuk membalas dendam kepada keluarga dragon!
“Persiapkan diri kalian … pembalasan dendamku akan dimulai!”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.A Wibowo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
ESOKNYA setelah kekalahan dan kehancuran markas Keluarga Elang, pada malam hari. Di sebuah gedung.
“BUKU VONGOLA DICURI? Apa yang kalian lakukan, hingga sebegitu lalai?” Suara seruan itu nyaring. Mata pria itu dipenuhi oleh sekelebat emosi, perasaan kecewa saat barang berharga dicuri membuat ia murka. “DASAR TAK BERGUNA!”
Lagi, seolah melampiaskan emosi. Ia melemparkan barang-barang, menuju ke kening Baskara.
“saya sungguh minta maaf sebesar-besarnya, Tuan Liam.” Orang sekelas Baskara, yang merupakan bos keluarga Elang pun dibuat tanduk. Sudah jelas orang ini bukanlah sembarangan.
Ia adalah bos dari segala aliansi keluarga. Bos Dragon, Tuan Liam Midnight. Semenjak dua tahun yang lalu, karismanya meningkat pesat.
Sebut nama dia, maka akan berhasil membuat semua orang bergidik ngeri, buru-buru kabur. Selain itu ia pun juga merupakan penguasa dunia gelap dan bawah, segala jenis transaksi gelap seperti penyelundupan barang, pembersihan uang, perbudakan, berada di bawah kekuasannya.
Begitu besar kekuatannya.
“Maaf? Kau bilang maaf?” seru Liam. Merasa makin emosi, ia pun memberikan tendangan ke muka Baskara. Hingga membuat orang itu terhuyung, dan mengaduh sakit. “DASAR SAMPAH TAK BERGUNA.”
Ia terus melakukan tendangan, guna untuk meredakan emosi. Setelah kian menit, napasnya mulai terengah-engah. Ia sudah mulai stabil.
“Dengan siapa kamu dikalahkan, sangat susah dibayangkan. Orang selevel dirimu, keluarga selevel Elang. Hancur lebur dalam semalam … katakan siapa MUSUHnya!”
Bila dipikir lagi, Liam terlalu terbawa emosi negatif. Hingga tak menyadari bahwa adalah hal yang cukup janggal. Sebenarnya siapa? Menurut perkataan hanya sekedar gadis kecil dan beberapa kelompok. Jumlah sekitar 4 orang, saja.
Perasaan Liam jadi tak enak. Mengingat lagi musuh besar dalam masa lalu.
Baskara membuka mata. Sekilas ingatan saat bertemu Luna tergambar secara ulang, bagaikan sebuah film yang diputar.
Si gadis lihai, refleksnya cepat. Ia bisa menghindari tembakan darinya sangat mudah. “Aku tak yakin. Jumlah musuh hanya 4 orang, salah satu adalah gadis muda. Dan tiga yang lain adalah … musuh yang mungkin Anda kenal. Thomas Elbaf, Ryan Alexander, dan Hans. Tak ada data untuk si gadis kecil, namun mereka tampak mengikuti perintah darinya.”
Liam menjadi panik. Ia kembali teringat oleh Reina. Layar yang terbentang di dinding ruangan itu berganti. Muncul beberapa foto dari 4 tersangka.
Liam terus menatap foto, ekpresi menjadi makin serius. “Tak diragukan lagi. Tuan muda dari bos vongola ke-9. Dan dua anggota dari organisasi BSO.Tapi siapa gadis kecil itu?”
“Namanya, Luna Wijaya. Tuan.” Seorang pria berkata, kacamata bulat itu bercahaya dalam kegelapan. “salah satu teman sekolahku dan dia patut mewaspadainya.”
Liam tersenyum. Ia punya banyak teman, relasinya jelas teramat luas. Bukan hal yang sulit untuk menaruh beberapa mata-mata. “Kerja bagus. Alfian Mahendra.”
Liam menggelengkan kepala, meralat ucapannya. “Atau kau lebih suka disebut … Gilbert, tunangan Reina.”
“Jaga ucapan Anda, saya tak punya perasaan dengan gadis bodoh itu. Segalanya hanya renca dari Tuan Liam, saya cuma bertugas sebagai mata-mata. Saya bukan tunangannya.”
“Kendati demikian.” Liam pun tersenyum. “gadis pembunuh itu sangat menempel denganmu, ia sangat menyukaimu.”
Suasana mendadak saja hening. Tak ada jawaban dari Alfian Mahendra, selaku tangan kanan Liam.
“Lupakan saja,” Liam menengahi. “jika dia kenalanmu, maka semua akan lebih mudah … mari rebut kembali buku Vongola, Alfian Mahendra … Tidak, maksudku Gilbreat.”