Naina Simont, putri seorang Bangsawan bergelar Baron terpilih untuk menikahi Pangeran Kedua Xero Yamen.
Menikahi cinta pertamanya tak melulu membuat Naina menjadi bahagia, faktanya Pangeran kedua telah mempunyai wanita pujaan hatinya yang kini telah berstatus permaisuri, alias istri Kakaknya.
Bahkan saat Naina akhirnya mengandung dan mempunyai anak dengannya, sikap dingin Pangeran Xero tak meleleh. Pun saat Naina keguguran, suaminya lebih memilih menemani Calista, istri mendiang kakaknya yang tengah cidera.
Rumah tangganya diuji dan saatnya Naina harus memilih
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khorik istiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Mengupayakan, itulah yang selalu Xero tanamkan. Meski mencabut akar beracun rupanya rasa sakit yang ditinggalkan belum kunjung hilang. Bahkan jika itu hilang, rupanya mempunyai bekas. Hal hal yang bisa dengan mudah berjalan lancar dengan penuh kesabaran rupanya tak berbuah manis seperti yang di harapkan. Kalau cinta nya itu hanya membelenggu orang terkasihnya lalu buat apa? Rasa obsesi dirinya , ego nya semuanya akan sirna ketika melihat mata yang memandangnya di kedalaman.
Meski semangatnya memacu kudanya agar selalu berlari untuk menemui orang tercintanya, tapi apakah benar itu sudah bener benar terlambat.
"Saya sudah ikhlas dengan semua yang terjadi dengan diriku. Saya sudah memaafkan Yang Mulia. Jadi semoga Yang Mulia tidak terlalu keras dengan diri Yang Mulia sendiri. Hanya saja... Saya butuh waktu."
Dengan sangat berat hati Xero mengikhlaskan hal tersebut. Tentu saja dia ingin membela diri, tapi melihat mata lelahnya Xero mengurungkan niatnya.
Dia menerima!
Meski ditawarkan menginap karena perjalanan jauh, Xero berdalih banyak urusan sehingga dia beserta rombongannya langsung pamit undur diri dari wilayah Tohama.
Setelah Xero dan rombongannya pergi, Naina ikut berkemas dan pulang ke rumah orang tuanya. Naina juga harus segera menyelesaikan urusannya . Tidak baik selalu menunda pekerjaan yang ada.
Setibanya dirumah, Naina langsung di berondong pertanyaan oleh kedua orang tuanya. Bahkan sang kakak yang biasanya tidak ikut campur masalahnya pun ikut banyak bertanya.
Naina hanya diam memandangi mereka. Dulu dia terlalu menutup dirinya dan menyembunyikan semua perasaan gelisahnya. Tapi kini rasanya dia juga ingin terbuka, berbagi perasaan agar keluarganya juga bisa mengerti dirinya.
Setelah menghela nafas yang panjang, akhirnya Naina membuka mulutnya, "Saya tahu betul bahwa kalian sangat mengkhawatirkannya keadaan ku, tapi bagaimana ya... Saya ingin memastikan kondisi saya, posisi saya dan banyak hal lainnya. Mungkin Ayah dan Ibu juga sudah mendengar bagaimana saya hidup di istana. Jadi sulit untuk bisa berdiri tegak lalu berpura pura bahwa masa lalu itu tidak ada artinya."
Semuanya hampir seperti menahan nafas ketika Naina menjawab pertanyaan beruntun mereka dengan pernyataan yang tidak terlalu panjang tersebut.
"Tapi Naina, kita tidak hidup untuk masa lalu." Kakak Naina tiba tiba juga menimpali omongan Naina.
Jleb... Kata itu bagai menancap di dada Naina. Betul, tidak salah memang , tapi yah Naina mungkin masih terjebak di masa lalu.
Ibu Naina langsung mencubit paha kakaknya.
"Aaaa... Sakit Bu..."
"Sudah Naina jangan pedulikan omongan Kakakmu. Yang terpenting adalah kebahagiaan mu. Apapun keputusanmu , kamu yang menjalaninya jadi kami ini tidak berhak ikut campur atau turut peran. Kamu sudah dewasa dan bisa berfikir sendiri. Asal kamu bertanggung jawab dengan konsekuensi dari semua perbuatanmu sendiri. Sebagai keluarga kita hanya bisa saling menopang dan mendukung satu sama lain."
Naina ingin meneteskan air matanya. Kalimat penghiburan yang seperti itu lah yang Naina rindukan.
"Ehem..." Baron Dake rasanya ingin ikut berkomentar. "Rumah ini masih rumah mu, kapan pun kau mau, pulanglah nak. Pintu ini akan terbuka selalu, dan selama kami masih hidup, kami akan datang menyambut mu dengan pelukan."
Berasal dari air mata yang menggenang sekarang tiba tiba Naina menjadi menangis histeris.
"Hiks...hiks... A...Ayah....Iiibu..." Memang usia hanyalah angka. Emosi manusia tidak membatasi umur.
Setelah berbincang dengan penuh haru tersebut. Naina berpamitan untuk pergi ke istana kembali. Naina ingin menyelesaikan masalahnya yang belum selesai terlebih dahulu.