Ada begitu banyak pertanyaan dalam hidupku, dan pertanyaan terbesarnya adalah tentang cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ahyaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode dua belas
Saat ini aku sedang melaju bersama kereta yang baru. Tidak jauh berbeda dengan kereta sebelumnya, hanya saja kereta yang baru ini tampak sedikit lebih muda. Interior kereta kali ini lebih tersusun dan lebih rapi. Aku memutuskan untuk tetap duduk di kursi gerbong terkahir di samping jendela.
Kereta melaju dengan mulus tanpa ada guncangan, akhirnya aku bisa menikmati perjalanan dengan tenang pikir ku. Sedari tadi aku melongok kan kepala keluar jendela, sudah tidak ada lagi pemandangan hitam dan gelap di sekeliling, sekarang pemandangan di gantikan oleh perkebunan pepaya serta rumah rumah panggung para warga.
Pengumuman di spiker memberi tahukan bahwa sudah waktunya untuk makan siang. Aku bergegas turun dari kursi, mengambil tiket kereta, lalu mulai bergabung dengan yang lain untuk mengambil jatah makan.
Antrian penumpang terlihat sepi, beberapa penumpang ada yang masih kenyang, ada juga yang tidak berselera makan setelah kejadian tadi. Tidak masalah, lebih baik pikir ku karena aku tidak perlu menunggu lama.
Lima menit aku mengantri akhirnya tiba giliran ku yang di berikan jatah makan siang. pramusaji masih dengan khas keramah tamahannya menanyakan apakah aku mau sambal dan sayur. Aku tersenyum lalu mengangguk. Bagaimana mungkin tinggal di pedalaman Sumatera tapi tidak makan sambal, agak aneh pikir ku.
Aku bergegas membawa nampan setelah makanan ku selesai di sajikan. Tidak ada kursi kosong di samping jendela, tidak masalah aku memutuskan untuk mengambil tempat di samping tempat mencuci tangan.
Kali ini mereka kembali menyajikan makanan yang menggugah selera dan tentu saja dalam posisi yang besar. Aku sudah mencuci tangan sejak tadi, jadi langsung saja menyantapnya.
Lima belas menit berlalu aku akhirnya menyelesaikan makan siang ku, kali ini aku benar benar hampir membuka seluruh kancing baju ku agar semua makanan bisa aku telan, ibu tidak akan mengampuni ku jika melihat ada makanan yang tersisa. Aku duduk sejenak membiarkan tubuhku mulai mengolah makanan. Setelah hampir lima menit berdiam diri dan pramusaji yang lewat berbaik hati memberikan ku segelas teh hangat, aku akhirnya memutuskan untuk berdiri dan bersiap kembali ke gerbong untuk beristirahat.
Tapi entah mengapa aku melihat para penumpang yang baru saja selesai makan malah mengantri lagi. ' ada apa ' batin ku dalam hati.
Karena tidak ingin terlihat berbeda, maka aku juga ikut mengantri meskipun tidak tau apa yang sedang aku dan penumpang lainnya lakukan. Ada sekitar lima atau enam orang yang berada di dekatku. Ternyata mereka ingat memberikan jatah makan malam, tidak ada makan malam di kereta karena jam lima nanti kami sudah tiba di stasiun, bagus lah pikir ku, jadinya nanti aku tidak bingung harus beli makan ke mana.
Antrian mulai menipis hingga akhirnya tibalah bagian ku, pramusaji yang sudah mengenaliku tidak banyak bicara, langsung menyiapkan apa yang aku butuhkan. Dua menit kemudian makan malam ku sudah jadi. Aku sudah keluar dari barisan, mengintip sedikit kedalam kresek yang aku dapatkan, ternyata mereka memberikan air putih, syukur lah.
Aku kembali ke gerbong dalam posisi perut yang terisi penuh, serta membawa tentengan. Kalau menurut orang orang kampung ku, ini adalah waktu yang tepat untuk tidur. Aku harus segera tidur karena empat jam lagi kereta akan tiba di stasiun, kereta baru ini sepertinya memiliki tarikan yang lebih kuat, kami tiba satu jam lebih awal meskipun tadi ada kendala.
Aku membiarkan jendela terbuka agar angin bisa masuk, mulai mengatur posisi kepala dan sim salabim aku pun tertidur. Mungkin karena semalam aku kurang tidur dan juga banyak pikiran, makanya tubuhku membutuhkan istirahat.
Satu jam setelah aku tidur om Rizal datang menghampiri, ketika melihat aku yang pulas tertidur ia tidak tega membangunkan, ia kemudian menyelimuti ku dengar selimut yang entah sudah ke mana posisinya.
Persis jam empat sore akhirnya aku terbangun, aku tidak pernah terbiasa tidur lama lama. Aku mulai membereskan peralatan tidur ku, lalu bergegas ke kamar mandi. Setengah jam kemudian aku sudah duduk di kursi dengan rapi sembari menyisir rambutku dengan sela sela jari.
Spiker di atas pintu mengumumkan bahwa setengah jam lagi kereta akan tiba di stasiun, kepada para penumpang di harapkan untuk memeriksa lagi barang bawaannya, para penumpang yang ingin mengambil jatah makan malam juga masih bisa, langsung menuju ke gerbong ke tiga. Bagi para penumpang yang juga masih bingung karena tidak ada yang menjemput, jangan risau karena setiba di stasiun nanti akan ada banyak bus bus yang menunggu, aku tersenyum mengangguk, akhirnya aku bisa santai sejenak.
Lima belas menit menjelang ketibaan di stasiun, pemandangan yang ku lihat sudah mulai berbeda, di sini rumah penduduk sudah mulai rapat rapat dan juga tidak ada yang terbuat dari kayu, melainkan dari beton. Aku menatap jalanan yang ramai oleh pengendara mobil dan motor, juga terlihat beberapa bus yang berseliweran di mana mana. Tempat ini sepertinya jauh lebih maju di bandingkan kampung ku.
Terlihat beberapa anak anak sekolahan seusiaku yang baru saja pulang sekolah, wajah wajah yang ceria bermain bersama teman teman, wajah wajah yang terlipat karena memikirkan pekerjaan rumah yang baru di berikan, atau wajah wajah yang tidak perduli dengan segalanya.
Om Rizal terlihat masuk ke dalam gerbong sambil menenteng sesuatu. Aku tersenyum melihatnya, sejak tadi aku bertanya tanya kapan bisa bertemu dengan om Rizal, eh malah dia yang datang menghampiriku.
" Kau terlihat lebih tampan setelah mandi Dium" ucapnya menggoda
Aku tertawa lantas mengarahkan tinju ku kepadanya.
" Ini aku membawakan mu sebuah surat yang sudah aku tulis sendiri, berikan surat ini kepada kepala sekolah nya, aku juga sudah membuatkan mu sebuah peta untuk menuju ke sana, aku juga sudah membelikan mu tiket bus. Tidak susah untuk menemui tempat itu, setelah kau menaiki bus selama setengah jam kau akan tiba di pinggir jalan kecil mengarah laut. Ikuti saja jalan itu sampai ke ujungnya, nanti kau akan melihat sebuah rumah dua tingkat yang menghadap persis ke laut. " ucap om Rizal
" Terimakasih banyak om, aku tidak tau bagaimana cara membalas semua jasa om." ucapku sambil menerima kantong berisi tiket dan surat dari om Rizal.
" jangan pernah berkata seperti itu nak, kau sudah menyelamatkan nyawa kami semua, dan yang paling penting kau adalah anak dari sahabatku." ucap om Rizal .
Aku tersenyum, lalu mengangguk setelah mengucapkan sekali lagi terimakasih. Om Rizal pamit keluar, ia harus memimpin proses penurunan penumpang, aku mengangguk mempersilahkan nya.