NovelToon NovelToon
Rumah Rasa

Rumah Rasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen Angst / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: pecintamieinstant

Rumah Rasa adalah bangunan berbentuk rumah dengan goncangan yang bisa dirasakan dan tidak semua rumah dapat memilikinya.

Melibatkan perasaan yang dikeluarkan mengakibatkan rumah itu bergetar hebat.

Mereka berdua adalah penghuni yang tersisa.

Ini adalah kutukan.

Kisah ini menceritakan sepasang saudari perempuan dan rumah lama yang ditinggalkan oleh kedua orang tua mereka.

Nenek pernah bercerita tentang rumah itu. Rumah yang bisa berguncang apabila para pengguna rumah berdebat di dalam ruangan.

Awalnya, Gita tidak percaya dengan cerita Neneknya seiring dia tumbuh. Namun, ia menyadari satu hal ketika dia terlibat dalam perdebatan dengan kakaknya, Nita.

Mereka harus mencari cara agar rumah lama itu dapat pulih kembali. Nasib baik atau buruk ada di tangan mereka.

Bagaimana cara mereka mempertahankan rumah lama itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pecintamieinstant, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25

Minum dulu, Dek." Kak Nita cepat-cepat memberikan sebotol air miliknya.

Pegangan pagar yang melingkar telah digenggam sejak dua bersaudari berdiri menjejakkan di atas rumput.

Pikirannya lelah, tenaga berkurang. Menurun cepat setelah wahana memusingkan itu berakhir. Tubuhnya harus kuat menahan gejolak diri yang mungkin sebentar lagi akan memuntahkan isi makan siangnya.

"Ini, Kak. Makasih." Gita menyerahkan kembali setengah air minum.

"Sudah enakan, Dek?" tanya Kakak cemas dengan wajah pucat merengut yang dibawa Adiknya.

Gita menatap Kak Nita dengan datar. Tidak ingin berbasa-basi bercerita keadaan dirinya, Gita tetaplah berjongkok. Dilanjutkan duduk bersinggah seperti satu-dua pengunjung yang membawa anak-anak mereka dengan beralaskan kertas-kertas.

"Jangan disini, Dek. Di bangku saja." Kak Nita baru saja melarang ketika Adiknya duduk beberapa detik.

"Iya."

Kak Gita berdiri, beralih menghadap tubuh adiknya. "Ayo bangun. Kakak bantu berdiri."

Kedua lengan menyergap pundak-pundak Nita. Gita sangat berusaha menyeimbangkan tubuh. Bergoyang tiga kali hingga dia dapat berdiri seperti Kakaknya.

"Berat juga kamu. Makanmu terlalu banyak, Dek." Kak Nita merangkul. Gita mengikuti.

Menyorot satu bangku taman tersedia, mereka dapat duduk bersama. Menikmati pemandangan orang-orang di dekat mereka. Apa saja yang dilalui selama berdua bersama. Tidak biasanya dapat melakukan ini karena rasa gengsi setelah beranjak tumbuh remaja.

"Kalau mual lagi, bilang Kakak." Kak Gita memandang arah lain. Bergeser pantat untuk memposisikan ulang duduknya.

Gita tetaplah diam seribu bahasa. Dia tidak marah, hanya malas berbicara karena takut rasa mual akan bergejolak naik. Kepala memangut beberapa kali selama singgah menunggu.

Karena inilah juga yang diperhatikan Gita di dekatnya. Para pasangan muda, orang tua yang mengantar anak rekreasi, ibu yang becus menyuap nasi ketika anaknya berlari ruang bahagia. Sang suami sibuk membaca pesan ponselnya, remaja-remaja muda yang menghabiskan waktu sebelum hari kerja esok dimulai. Para pemakai kostum kartun berusaha menghibur pengunjung dengan tarian-tarian sederhana yang dimiliki. Melakukan apa saja agar pekerjaan mereka cepat selesai.

Mereka semua menjalani kehidupan sesuai apa yang dilakukan.

Sepertinya ini juga menjadi momen Gita untuk merenung lagi. Betapa indah kedekatan orang tua dan anak. Indah masa kecil karena belum dipaksa dewasa. Hanya memikirkan bermain, dan bermain. Orang tua terlihat bahagia ketika mengajak buah hatinya berada di permainan ini. Senyum tawa sumringah menjadi arti paling tulus di dunia.

Belum selesai bagi Gita meredakan rasa mual itu, Kak Nita beranjak bangun. "Pulang yuk, Dek. Istirahat di rumah saja."

Gita menghembus berat napas yang ditahan. Memegang lutut, menyeimbangkan posisi berdiri dengan penjagaan Kakaknya di samping.

Waktu kami telah habis disini. Rasanya belum puas untuk mencicipi seluruh wahana yang tersedia. Tidak rela tetapi waktu terus bergerak tanpa mengerti perasaan orang. Ingin saja menjerit, lalu menangis untuk mencoba beragam hal. Namun dunia tidak bisa memberikan apa yang diinginkan.

Kami meneruskan perjalanan menghadapi, melawan arus manusia yang masuk menuju permainan. Sampai akhirnya sampai area pemarkiran motor, Kak Nita menggeser kuat benda berat ini.

"Dek, karcisnya mana?"

Jika sudah ditanya tentang karcis tadi, hati terasa sakit. Jantung berdebar cepat dirasakan. Campur aduk, keringat dingin. Telapak tangan membasah keduanya.

"Kakak, kan, yang bawa?" Suara lemas dikeluarkan Gita sembari memijat kening.

"Tidak. Kakak ingat kalau karcis itu ada padamu. Jangan bercanda. Jalanan semakin ramai dan sakitmu semakin parah. Cepat berikan karcisnya."

Gita menoleh panik. Mencoba meraba apa saja dalam pakaian. Saku celana, kantong baju, ditepuk cepat.

"Ada tidak, Kak?"

"Tidak ada. Coba cek di dalam tas, Kak," suruh darinya ketika Kak Nita membawa dua ransel berbeda warna.

Maka dilakukan penggeledahan kecil-kecilan. Bibir-bibir ditekan, digigit sebagai rasa cemas. Kaki dihentakkan cepat, dan kepala terasa nyeri terlalu dipikirkan.

Usaha itu dihentikan. Selembar karcis ditunjukkan. "Benar kata Kakak. Kakak ingat betul barang ini diberikan padamu. Bagaimana sih?"

Gita menyengir lebar.

Kakakku berhasil menemukan. Ingat betul ucapan setelah kami memarkirkan motor, dia berikan pada Gita untuk disimpan aman. Hanya karena langsung meletakkan sembarangan, karcis itu tidak bisa diingat baik-baik dalam ingatan Gita. Tidak mudah mengingat barang berharga seperti tiket. Mudah dilupakan seperti materi pelajaran.

Motor diputar menuju bagian pembayaran titipan motor bersama karcis.

Jika hilang, tidak bisa pulang.

Sepanjang jalan yang mengantarkan motor lama menuju rumah lama kami, awan keoranye bergerak menemani. Koloni burung mengepakkan sayap bergantian. Panasnya cuaca telah digantikan menjadi agak redup. Hawa dingin terasa sekarang.

Kami menunggu sangat sabar sebagai rasa penantian kepada rumah peninggalan orang tua. Tidak sabar meletakkan tubuh di atas kasur empuk memental dengan selimut menutup setengah, serta bermain ponsel sampai lupa waktu.

Tidak sabar lagi baginya.

...***...

Lampu bercahaya kuning remang-remang menerpa permukaan garasi rumah.

"Turun, Dek." Kak Gita menggoyangkan tubuh ketika Adiknya menempelkan wajah ke baju

Tersentak bangun membuka mata cepat, Gita mengangguk. Helm bergeser menyamping, diluruskan. Mengelus air liur, anak itu segera turun dari belakang.

"Dek, ambil kunci. Dibuka pintunya." Teriakan Kak Nita mengejutkan adik kecilnya selama berjalan pelan, menghiraukan Kakaknya yang menunggu di motor.

"Eh, iya, iya." Gita membalikkan badan, mengambil kunci yang jatuh usai dilempar dari kejauhan.

Mereka bekerja sama untuk menyelesaikan pekerjaan terakhir.

Pintu dibuka lebar. Gelap seluruh ruangan menjadi kedatangan yang dinantikan.

Lantas menuju area ruang tamu, segera menduduki sofa. Melemaskan tenaga, memejam mata adalah kenikmatan.

Disusul Kak Nita, meletakkan tas dibawah, Nita mengikuti gerakan sang Adik. Bersama-sama merehatkan sejenak.

Lelah fisiknya, pikirannya. Yang dipikirkan sekarang hanyalah mandi, dan beristirahat panjang.

...***...

Kamar lantai dua menjadi lokasi terakhir tempat istirahat.

Gelapnya kamar, pengapnya kamar menjadikan pekerjaan tambahan setelah sampai baru saja. Dibuka bagian tirai dan jendela, dan menuju kasur miliknya tidak sengaja tertendang kursi.

"Duh, sakit."

Satu kaki dinaikkan, mengelus pelan. Melompat kecil, Gita alihkan untuk duduk sejenak atas kasur. Memijat sebentar, mengusap pelan-pelan rasa nyeri yang timbul.

"Benar kata Kakak. Seharusnya lebih awal kamar ini harus rapi dan bersih."

Siapa yang tidak sakit bila terantuk barang-barang yang berserakan di mana-mana? Sudah lelah pikiran, ditambah pula rasa emosi karena terantuk barang. Menjengkelkan.

Tetapi kembali kepada sifat Gita yang ceroboh, anak itu sulit bergerak untuk merapikan. Dipilihnya nanti, dan nanti. Dia hanya membutuhkan istirahat untuk memulihkan tenaga. Butuh waktu lama. Tidak bisa diganggu ketika mode tidur sudah dilakukan.

Gita telah bersiap menepuk selimut. Menarik. Menutup sampai setengah tubuhnya dapat merasakan kehangatan luar biasa.

Senyap suara ketika berada lantai dua. Kamar kami terpisah. Bahagia sekali. Kami sama-sama tenang. Tidak ada penjarahan atau bergelut dalam satu ruangan. Kami bebas menggunakan barang milik sendiri.

Kamar Kakak ada di lantai satu, karena harus menjaga barang-barang di bawah. Kamar atas untuk Gita, dan ruangan gudang.

Kembali lagi sebelum Gita menutup mata, Gita berbisik. "Selamat tidur."

1
S. M yanie
semangat kak...
pecintamieinstant: Siap, Kak 🥰👍😎
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!