"Aku tidak menyangka kau begitu tega padaku. Di saat aku bertugas di luar kota, kau malah selingkuh di belakangku. Aku menyesal karena sudah menikahi wanita sepertimu!"
Devina ditalak dan dituduh telah berselingkuh dengan pria lain yang tak lain adalah sahabat dari mantan suaminya, Marcell. Hidupnya jadi menderita dan terlunta-lunta ketika berpisah dari suaminya. Fitnah keji itu membuat anak kembar yang dilahirkannya harus menanggung beban penderitaan karena keegoisan orang tua. Dalam keadaan serba kekurangan, Devina berdiri sendiri untuk menjadi ibu sekaligus Ayah buat kedua anaknya.
Mampukah Devina melewati segala cobaan yang datang silih berganti dalam hidupnya?
Mungkinkah dia bersatu kembali dengan mantan suami setelah tahu dia memiliki anak yang harus dijaga bersama?
Kisah Devina hanya ada di Noveltoon, dengan judul Bayi Kembar Presdir Tampan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Dw, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26. Jangan Minta Aku Menjauh
Menjelang dini hari, tiba-tiba terdengar dering handphone Marcell yang diletakkan di atas meja. Setelah berhasil menidurkan anak perempuannya, ia putuskan untuk beristirahat di kursi. Sedangkan Devina menemani anak-anaknya tidur di kamar.
("Halo Tuan, nyonya Erna menghalangi kami untuk mengambil barang-barang milik Tuan.")
Sayup-sayup Marcell terbangun dan langsung mengangkat sambungannya. Ia memerintahkan Remon untuk mengambil semua barang-barangnya yang masih tersisa di rumah orang tuanya, tak ingin barang-barang berharganya hilang, ia bermaksud untuk mengambilnya.
("Ambil saja, nggak usah takut, semua yang ada di kamarku itu milikku, Remon, kau berhak untuk mengambilnya. Jangan ambil yang ada di luar kamar, tinggalkan saja buat mereka," tutur Marcell.)
Masih dalam keadaan mengantuk ia tidak bisa sepenuhnya mendengarkan aduan Remon. Ia beranjak dan menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan berkumur agar lebih fresh dan bisa mendengar Remon mengadu padanya.
("Tapi Tuan, nyonya Erna mengancam kami akan melaporkan pada pihak berwajib jika kami tetap ingin mengambilnya. Apakah tidak sebaiknya ditunda sampai besok pagi saja Tuan, menunggu Tuan datang ke sini. Nyonya Erna maki-maki kami dan meneriaki kami seperti maling. Tadi juga ada beberapa warga datang, mengira kami beneran maling.")
Perlahan Remon menceritakan kepada majikannya, tidak ingin salah mengambil keputusan tanpa mendapatkan izin dari majikannya.
Marcell keluar dari dalam kamar mandi dan menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 03. 40 wib, masih cukup malam untuk pergi ke rumah orang tuanya yang cukup jauh dan melewati jalanan yang rawan kejahatan.
("Kalau kamu nggak bisa mengatasi Mama, ya tunggu aku datang saja, mendingan kalian cari tempat istirahat dulu, pagi ini aku akan kembali ke sana untuk klarifikasi sama Mama.")
Marcell tidak ingin anak buahnya mengalami masalah dengan keluarganya. Mereka tidak berhak untuk mendapatkan perlakuan yang buruk dari keluarganya.
Remon sendiri agak lega setelah mendapatkan penjelasan dari majikannya, ia bisa keluar dari rumah orang tuanya Marcell tanpa harus berdebat.
("Baiklah Tuan, kalau begitu saya akan menunggu kedatangan Tuan di luar gerbang. Jujur saya agak malu dimaki-maki oleh ibunya Tuan.")
Remon sudah terbiasa mengobrol random dengan Marcell, Marcell sendiri juga banyak membantu Remon selama bekerja bersamanya.
("Maafkan Mamaku ya, dia menang keras kepala. Padahal aku mengambil barang-barangku sendiri, kenapa dia harus marah, aneh kan?")
Setelah cukup lama mengobrol dengan Remon, Marcell mengakhiri percakapannya dan mematikan sambungannya, dia kembali ke kursi menunggu sampai pagi baru bisa menemui Remon di rumah orang tuanya.
"Ada apa?" Apakah kamu lagi ada masalah?"
Marcell terkejut saat mendapati Devina berdiri dengan mengenakan baju putih berdiri di depan kamar. Lampu yang sengaja dimatikan, membuatnya berpikir kalau sosok berdiri itu bukanlah Devina, melainkan hantu yang ingin mengganggunya.
"De-dev, ini kamu kah?"
Dengan suaranya bergetar pria itu memundurkan langkahnya hingga kakinya menabrak meja. Tatapannya tajam melihat sosok berambut panjang dengan wajah yang tak begitu jelas.
Devina berdecak dan menyalakan saklar, lampu menyala normal walaupun agak remang-remang.
"Kau pikir aku ini setan?"
Devina menekuk mukanya dengan berjalan menuju kursi. Semalaman ia tidak bisa tidur, selain takut digerebek warga, ia juga takut jika saja mantan suaminya tiba-tiba tidur disampingnya.
"Ya habisnya kamu tiba-tiba berdiri di situ, ini lampu kenapa juga dimatikan? Kan jadi gelap, nggak enak, ngeri tau nggak?!"
Tubuhnya saja masih gemetaran dengan menata wajah cantik wanita yang tidak memakai polesan. Dari dulu Devina memang tidak pernah berdandan layaknya gadis lain. Dia masih polos dengan kecantikan alaminya.
"Aku nggak bisa tidur, aku kepikiran Lea terus. Mudah-mudahan nanti panasnya segera turun, aku sedih banget kalau udah dikeluhkan oleh anak yang sakit, lebih baik aku saja yang sakit, jangan mereka."
Walaupun usianya masih menginjak dua puluh tahun, pikirkan sudah mulai dewasa. Diumurnya yang baru menginjak delapan belas tahun, ia sudah dituntut untuk menjadi ibu dari dua anak-anaknya.
"Maaf ya, aku sudah mengganggu istirahatmu. Tadi asistenku menghubungiku, aku lagi ada sedikit masalah."
Marcell kembali menghenyakan pinggulnya di kursi dengan kepalanya bersandarkan tembok. Kini yang dihadapi bukan hanya masalahnya dengan Devina tapi ia juga memiliki masalah dengan orang tuanya sendiri.
"Kamu lagi memiliki masalah dengan siapa? Maaf kalau aku lancang, tapi kalau kamu butuh teman curhat, Kamu bisa cerita sama aku, tapi kalau kamu nggak mau cerita juga nggak apa-apa."
Diam-diam Devina juga memikirkan keegoisannya yang berusaha untuk menjauhkan Marcell dari anak-anaknya. Ia rasa caranya itu begitu jahat, tanpa sadari perbuatannya itu bisa membuat anaknya membenci orang tuanya sendiri.
"Aku lagi bermasalah sama keluargaku. Aku tadi datang ke sana untuk menanyakan tentang foto itu, maksudnya foto yang sudah direkayasa oleh orang tuaku. Aku mendesak mama buat mengaku, tapi tetep aja Mama nggak mau ngaku. Sekarang aku sadar, selama ini aku hanya diperalat oleh keluargaku sendiri. Mereka nggak pernah jujur, aku sudah termakan omongannya, nyesel aku Vina, harus dengan cara apa aku meminta maaf padamu, aku nggak mau menanggung beban dosa yang terlalu dalam, aku ingin menebus kesalahan yang pernah kuperbuat padamu."
Devina menghela napas berat, sungguh sulit hatinya untuk bisa memaafkan mantan suaminya. Mungkin secara lisan bisa memberinya maaf, tapi hatinya menolak. Luka yang ditorehkan padanya terlalu dalam, sangat menyakitkan.
"Kak, kurasa jalani hidup kita masing-masing, karena percuma saja, orang tuamu nggak bakalan kasih restu kalau kita balikan. Kamu bela-belain lawan orang tuamu hanya karena ingin membelaku, yang ada kamu sendiri yang akan disakiti. Kurasa turuti saja keinginan orang tuamu, aku nggak papa hidup seperti ini, anak-anak juga bisa menerimanya. Aku nggak bakalan ngelarang kamu buat bertemu mereka, tapi tidak untuk kembali bersama."
Lagi dan lagi jawaban Devina sangat mengecewakannya. Bagaimana ia bisa melewati hari-harinya dengan baik, kalau melihat orang yang dicintainya hidup menderita sedangkan ia dilarang untuk membantunya.
Devina terlalu egois, seakan-akan dirinya bisa melewati kehidupannya dengan mudah tanpa membutuhkan bantuan siapapun.
"Vina, bisa kamu jelaskan padaku, sejauh mana kebencianmu hingga sulit bagimu untuk bisa memaafkanku?"
Tatapan teduh pria itu membuat mata wanita muda itu berkacamata tak sanggup untuk menatapnya. Marcell nampak begitu tulus meminta maaf, tapi sayangnya hatinya masih belum ikhlas untuk bisa memaafkannya.
"Kak Marcell, bukannya aku membencimu, tidak kak, aku tidak ada niatan untuk membencimu, aku hanya masih belum siap untuk memaafkanmu. Kurasa lebih baik kalau kita seperti ini saja, saling menjaga jarak, yang penting anak-anak tidak kekurangan kasih sayang dari orang tuanya."
Marcell menggeleng, cara Devina tak membuat hatinya lega. Ia tidak mau hanya diminta untuk merawat anak-anak tapi harus menjaga jarak darinya.
"Tidak Vina, bukan seperti itu yang kuinginkan, aku ingin berdamai denganmu, jangan buat aku menyesal selamanya, kau boleh ajukan syarat apapun, aku akan menerimanya."
Devina menaikkan satu alisnya."Jika aku memintamu untuk pergi dari kehidupanku, apa kau akan mengabulkannya?"
tapi kadang heran dengan karakter anak umur 2-3 tahun..bijak amat yaaak