Lastri selalu di injak harga dirinya oleh keluarga sang suami. Lastri yang hanya seorang wanita kampung selalu menurut apa kata suami dan para saudaranya serta ibu mertuanya.
Wanita yang selalu melayani keluarga itu sudah seperti pembantu bagi mereka, dan di cerai ketika sang suami menemukan penggantinya yang jauh berbeda dari Lastri.
Namun suatu hari Lastri merasa tidak tahan lagi dan akhir mulai berontak setelah ia bercerai dengan sang suami.
Bagaimana cara Lastri membalas mereka?
Yuk simak kisahnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaQuin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32. Melihat Properti
Bab 32. Melihat Properti
POV Lastri
Sahur pertama, aku memilih melakukannya sendiri. Bimbang menghantui diri. Benar, mancari pahala adalah membangunkan orang di sekitar untuk berpuasa. Tapi aku bukan manusia sempurna yang memiliki kebaikan bak malaikat. Aku hanya manusia biasa yang memiliki kebencian dan amarah di hati mesti akan menjalankan ibadah puasa.
Bohong jika ada seorang isteri yang sedang sakit hatinya seperti aku ini mau berbaik hati dan beramah tamah mencari pahala dengan madunya yang tidak pernah ia inginkan. Apalagi malam tadi sejuta luka baru saja di dapati dari prilaku mereka berdua. Biar saja dia bangun sendiri jika memang berniat untuk puasa.
Begitu selesai sahur, aku segera mandi dan menunggu waktu subuh datang. Ku ambil gawaiku dan memainkannya. Berkirim pesan dengan Mbak Ayu dan menanyakan seorang pengacara yang bisa membantuku untuk mengurus beberapa rumah dan tanah yang rencananya ingin ku beli. Dan pada akhirnya, aku pun menelpon Mbak Ayu.
"Assalamualaikum, Mbak..."
"Waalaikumsalam, ya Las. Sudah sahur?"
"Alhamdulillah baru saja Mbak. Lagi nunggu waktu subuh."
"Alhamdulillah. Jadi, ada apa Las?"
"Soal pengacara yang waktu itu pernah aku tanyakan Mbak. Apa Mbak ada kenalan?"
"Oh iya Mbak lupa. Nanti Mbak coba tanyakan sama Fahri. Relasinya cukup banyak, mungkin dia punya kenalan."
"Iya Mbak."
"Las, kamu mau lihat Rumah Makan mu? Sudah hampir selesai, tinggal promo saja kita nyari pelanggan. Rencananya Mbak mau pakai endorse itu juga kalau kamu setuju."
"Apapun yang Mbak sarankan, aku pasti setuju Mbak."
"Heleh Las, kamu ini kok yo gampang manutnya."
"Hehehe, karena aku percaya sama saran dan pilihan Mbak. Toh selama ini aku sudah melihat hasilnya dan aku merasa pas dan cocok dihati."
"Alhamdulillah kalau kamu setuju dan suka Las."
"Iya Mbak. Tapi nanti aku tetap mampir ke rumah Mbak ya. Aku mau minta saran sama Mbak atas properti yang akan ingin aku beli."
"Iya, datang saja. Sekalian Mbak mau ngajakin kamu juga ke suatu tempat. Pasti kamu suka."
"Ya sudah kalau begitu. Oh ya Mbak, sudah dulu. Sudah adzan."
"Iya Las. Sampai ketemu nanti. Assalamualaikum..."
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh."
Ku tutup panggilan telpon dan beranjak hendak melakukan sholat subuh. Namun kembali telinga ku mendengar sesuatu yang menyakiti hati ini. Lagi-lagi di kamar Nilam terdengar suara desahan penyatuan yang sudah pasti ku tahu siapa pelakunya di dalam sana.
Sepertinya Mas Hendra tidak dapat berpisah lama dengan isteri mudanya. Sebegitu buncinnya dia sampai di tengah malam, disaat semua terlelap dia menyelinap bagai maling masuk ke rumah ini.
Ya Allah, hatiku sakit...
"Astagfirullahaladzim..."
Aku meremas daster ku. Sakit dada ini meski aku tahu mereka halal melakukannya. Namun sungguh, di dalam hati ini tidak ridho atas apa yang mereka lakukan.
Rasanya mata ini siap menumpahkan air bening di pipi. Juga amarah ini siap untuk meledak saat ini. Tetapi, tidak ingin puasaku batal, aku mengurungkan niat untuk melabrak mereka. Belum saatnya aku membalas pengkhianatan Mas Hendra. Tapi nanti, bila waktunya tiba, akan ku pastikan Mas Hendra yang merengek dan meminta maaf padaku. Saat itu tiba, maka bersiaplah kamu akan merasakan sakit seperti apa yang aku rasakan Mas.
Ku tekan kembali perasaan yang terluka ini. Sakit dan perih, namun aku ingin tetap bertahan dengan rencana yang sudah aku susun matang.
Dua raka'at selesai ku kerjakan meski hati pilu dan meminta kesabaran pada Yang Maha Kuasa untuk tetap kuat menjalani segala cobaan. Ku rapikan mukena ku lalu bergantian pakaian dan sedikit berdandan untuk segera pergi meninggalkan rumah Ibu. Lebih baik aku mengurusi bisnis dan rumah serta tanah yang hendak aku beli.
Memang masih terlalu pagi bila aku datang ke rumah Mbak Ayu. Tapi sebelum kesana, aku ingin menikmati udara segar sambil berjalan kaki sampai ke jalan besar sana. Karena udara di dalam rumah ini sudah tercemar oleh dua manusia yang membuat ku muak dan ingin segera membalas mereka namun masih harus bersabar dan bertahan.
***
Hari mulai beranjak naik, pukul 9 rasanya sudah pantas aku bertamu mengingat banyak tempat yang akan kami kunjungi siang ini. Aku lalu memesan ojol untuk menuju rumah Mbak Ayu. Sampai disana ternyata Mbak Ayu sudah menunggu ku sejak pagi.
"Kirain pagi kesininya Las?"
"Ini juga masih pagi Mbak."
"Hehehe, ini sudah mau beranjak siang Las, bukan masih pagi lagi. Tuh di dalam sudah tidak sabar mau ketemu. Nanyain jam berapa kamu mau kesini."
"Siapa Mbak?" Tanyaku bingung.
"Udah, masuk saja dulu."
Aku mengangguk. Lalu melepaskan alas kaki ku dan mengikuti langkah Mbak Ayu masuk ke dalam rumahnya.
"Assalamualaikum..." Salam ku.
"Waalaikumsalam..." Jawab Mbak Ayu dan Fahri.
Aku sedikit terkejut dan bingung ada Fahri di dalam rumah Mbak Ayu. Padahal tadi subuh Mbak Ayu mengatakan akan menelpon Fahri. Apa begitu mendapat telpon, Fahri langsung kesini?
"Duduk Las. Pasti kamu bingung ya, tiba-tiba ada Fahri di sini?"
"Iya Mbak." Jawabku jujur.
"Tadi subuh Mbak tidak jadi nelpon Fahri. Tahu-tahu sehabis kita teleponan, dia sudah ngetuk pintu rumah Mbak. Sampai Mbak kira maling loh Las."
"Masa iya maling mau masuk ketuk pintu dulu Mbak?" Kata Fahri tersenyum geli..
"Eh, jangan salah kamu Fahri. Ada loh maling yang ngetuk pintu awalnya nawarin dagangan atau mau pinjam apa gitu biar kita masuk dalam rumah. Begitu ada kesempatan, mereka langsung mengambil apa yang bisa di ambil."
"Tapi mana ada maling tampan kayak aku Mbak." Ujar Fahri membela diri.
"Siapa bilang, justru banyak Fahri. Apalagi kalau kamu pakai baju dinas, beh pasti banyak yang merasakan kecolongan."
Aku yang merasa hal itu kurang nyambung menjadi bingung dan akhirnya bertanya.
"Kok, bisa gitu Mbak."
"Ya bisa lah Las. Orang hatinya yang di curi sama Fahri." Ujar Mbak Ayu santai.
Aku terkekeh merasa itu lelucon yang cukup menghibur. Begitu pula Fahri ikut terkekeh meski ku lihat ada sedikit malu-malu dari sikapnya.
"Jadi Las mau ketemu pengacara? Mbak Ayu tadi subuh sudah cerita ke aku. Katanya kamu mau cari pengacara untuk mengurus segala urusanmu."
"Jadi Fahri, kalau ada. Tapi apa kamu tidak capek baru datang subuh tadi?"
"Aku sudah cukup beristirahat dalam mobil. Saat mau sahur aku bangun dan sampai sekarang tidak tidur lagi. Sudah biasa Las."
"Tapi apa kamu tidak kerja Fahri?"
"Kamu ini banyak tanyanya Las. Mumpung dia mau bantu kita, dah biarin aja. Dia kesini cuma mau beli mobil untuk di kampung. Rencananya mau beli mobil ambulans, biar warga lebih mudah ke puskesmas atau ke Rumah Sakit saat keadaan mendesak. Kamu tahu sendiri kampung kita itu, prasarana kendaraan kurang memadai." Jelas Mbak Ayu panjang lebar. "Tapi kamu tidak korupsi kan Fahri?" Kata Mbak Ayu lagi, bertanya.
"Ya tidak lah Mbak. Itu dana dari kas desa sebagian, lalu sebagian lagi sumbangan dari orang-orang yang memiliki rejeki lebih juga sedikit dari kantongku."
"Masih kurang tidak Fahri?" Tanyaku. Rasanya aku juga ingin ikut menyumbang untuk masyarakat desa ku.
"Sudah cukup Las. Bapak mu sudah menyumbang banyak."
Oh, ternyata Bapak ikut menyumbang. Syukurlah... Berarti nanti aku akan mengirimkan lagi sebagian uang di rekening Bapak yang aku pegang ke rekening Ibu di kampung. Jadi kalau Bapak atau Ibu butuh sesuatu, mereka tinggal ambil di bank terdekat.
"Rencananya kamu mau beli rumah di mana Las?"
"Aku sudah punya lokasinya untuk rumah yang akan ku jadikan Spa, tapi untuk tanah dan satu rumah lagi, aku belum tahu dimana." Tuturku.
"Kamu mau tidak kalau rumah di ujung komplek Mbak ini, ada yang mau di jual. Sudah selesai di rehab, bahkan sudah di bangun pagar keliling. Kamu tinggal masukin barang-barang saja. Mbak baru tahu dari sebelah rumah kalau rumah itu mau dijual."
"Kenapa mau di jual Mbak?" Tanyaku.
"Tadinya untuk anaknya yang kuliah disini. Tapi si anak tidak mau, maunya apartemen. Maklumlah Las anak muda sekarang." Ujar Mbak Ayu.
"Iya Mbak. Kalau gitu kita bisa lihat dari rumah itu dulu. Terus ke lokasi rumah satunya. Tinggal mencari tanah saja, kalau rumah yang ini sudah cocok." Ujar ku.
"Ya sudah, Mbak ajak Nunik siap-siap dulu."
Mbak Ayu pun melangkah masuk ke dalam kamar Nunik meninggalkan aku dan Fahri. Kami pun mengobrol santai, membahas rencana apa saja yang akan aku lakukan terhadap properti yang ingin aku beli juga bagaimana kelak mengelola properti yang akan ku jadikan ladang bisnis.
"Mbak sudah siap Las, ayo!" Ajak Mbak Ayu yang terlihat sudah rapi bersama Nunik juga.
Aku mengangguk. Kami pun menggunakan mobil Mbak Ayu yang di kendarai Fahri menuju rumah katanya di jual itu. Karena setelah dari sana, kami akan langsung menuju lokasi rumah berikutnya.
Alhamdulillah, rumah itu sangat cocok di hati. Rencananya rumah itu untuk tempat tinggal bapak dan ibu bila Diah sudah masuk sekolah nanti.
Lalu kami pun menuju rumah yang ingin ku jadikan bisnis Spa. Aku sengaja tidak memberi tahu Fahri dan Mbak Ayu, kalau tepat di sebelah rumah yang di jual itu adalah rumah Mas Hendra yang nyaris rampung sepenuhnya.
Bersambung...
Jangan lupa like dan komen 🙏😊
tambah keluarga toxic,menjijikkan jadi lelaki..