Dua tahun Sitha dan Danu berpacaran sebelum akhirnya pertunangan itu berlangsung. Banyak yang berkata status mereka lah yang menghubungkan dua sejoli itu, tapi Sitha tidak masalah karena Danu mencintainya.
Namun, apakah cinta dan status cukup untuk mempertahankan sebuah hubungan?
Mungkin dari awal Sitha sudah salah karena malam itu, pengkhianatan sang tunangan berlangsung di depan matanya. Saat itu, Sitha paham cinta dan status tidak cukup.
Komitmen dan ketulusan adalah fondasi terkuat dari sebuah hubungan dan Dharma, seorang pria biasalah yang mengajarkannya.
Akankah takdir akhirnya menyatukan sepasang pria dan wanita berbeda kasta ini? Antara harkat martabat dan kebahagiaan, bolehkah Sitha bebas memilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kirana Pramudya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Air Mata Eyang Sepuh
Sitha mengambilkan minum untuk Dharma, kemudian membawanya masuk ke dalam rumah karena memang Dharma berada di dalam rumah menggendong Arunika. Sehingga memang tidak ada karyawan pabrik yang tahu, karena semua karyawan berada di pelataran rumah dan lebih menikmati makan siang bersama. Setelahnya Sitha masuk ke dalam rumah.
"Diminum dulu, Mas Dharma," katanya sembari memberikan satu gelas es teh untuk Dharma.
"Makasih, Dek," balas Dharma.
Indi yang berada di sana. Tampak tersenyum dan menggoda keduanya. "Cie-cie, sekarang manggilnya Mas dan Adek loh. Berawal dari adek, berakhir jadi ...."
"Apa loh, Mbak ... jangan begitu," balas Sitha dengan menunjukkan wajah malu.
Indi kemudian tertawa. Senang saja ketika melihat adik iparnya malu-malu dan salah tingkah. Sedangkan Dharma juga malu, tapi segera dia alihkan dengan mengajak bicara Arunika.
"Memang berganti, Mbak Indi. Tidak usah terlalu formalitas kan, wong sebenarnya Sitha ini masih kecil. Usianya lebih banyak Mas Dharma. Selisih berapa tahun, Mas?" tanya Rama Bima.
"Tiga tahunan, Bapak," jawab Dharma.
"Tuh, gak usah dipanggil Bu Situa." Rama Bima mengatakan demikian, wajahnya tersenyum kepada Indi. Sedangkan Indi juga tertawa saja.
"Dulu sebelum menikah, Mas Satria manggil aku juga adek loh," cerita Indi kemudian.
"Yang bener, Mbak?" tanya Sitha.
"Iya, manggilnya Adek. Padahal kami teman kuliah. Hanya selisih satu tahun saja usianya. Lebih tua Mas Satria," kata Indi.
"Setelah menikah dipanggil apa, Mbak?"
"Dipanggil Sayang dong," balas Satria dengan tiba-tiba.
"Sudah dijawab," balas Indi.
Sitha dan Dharma seolah saling pandang, dan keduanya sama-sama tersenyum. Rama kemudian berbicara lagi. "Mas Dharma kalau nanti tidak bisa makan di sana, makan di sini saja. Sama saja kok."
"Nggih, Bapak. Matur nuwun."
"Nika, Cah Ayu ... ikut Eyang Rama dulu yuk? Kasihan Om Dharma nanti cuma gendong kamu terus," kata Rama Bima.
"No, ndong Oom," jawab Arunika.
Rama Bima kemudian tertawa. "Yuh, kasihan Om-nya kalau kamu menempel seperti ini. Posesif gini sama Om Dharma sih."
"Iya, kok Arunika jadi posesif yah?" tanya Sitha dengan memperhatikan keponakan kecilnya itu.
"Anak kecil kalau udah sayang dan nyaman biasanya begitu," kata Ayah Pandu.
Berbicara mengenai anak kecil, Ayah Pandu pakarnya. Ayah Pandu sampai mengusapi punggung Arunika.
"Sayang sama Om-nya?" tanya Ayah Pandu.
Anak kecil berusia 2,5 tahun itu kemudian menganggukkan kepalanya. Terlihat lucu sekali seperti boneka dengan matanya yang bulat, dan rambutnya dikuncir dua.
"Sikha uga," kata Sikha yang mengangkat tangan. Seolah Sikha tidak mau ketinggalan. Dia mengaku juga sayang Om Dharma.
"Kenapa sayang?" tanya Indi.
"Oom aik," balas Nika.
Dharma tersenyum. Dia mengusapi puncak kepala Arunika. Lalu, Dharma bertanya kepada Indi dan Satria. "Kalau mau nyayang adeknya boleh enggak, Mas?" tanyanya.
Setidaknya Dharma tahu ada etika menyentuh bayi atau anak orang lain. Ketika hendak menyayang atau mencium memang sebaiknya izin kepada orang tuanya dulu. Satria tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Boleh. Kalau kamu boleh," jawab Satria.
"Sopan banget, mau nyium anak orang izin Papanya dulu," kata Indi lirih kepada Satria.
"Etika menyentuh bayi kan emang gitu. Jangan sembarangan disayang, dicium-cium," balas Satria.
Setelah mendapat lampu hijau, Dharma menempelkan pipinya ke kening Arunika. Ya, menyayang dengan menempelkan pipi saja, tidak mengecup dengan bibir. Ketika Sitha tersenyum, dia teringat Srikandi belajar manah ketika Arjuna menempelkan pipinya ke pipi Srikandi. Membayangkan saja pipinya sudah panas. Sitha kemudian mengalihkan pikirannya ke hal yang lain.
Ketika seluruh keluarga berkumpul, siang itu datang Eyang Negara. Memang sudah Sepuh, rambutnya putih semua. Walau begitu, Eyang kelihatan masih sehat. Eyang Buyut Putri yang memeluk Sitha dan mengusapi rambut cucunya itu.
"Yang sabar yah, Ndug ... jangan ditangisi kalau memang belum jodohne," kata Eyang dengan berlinang air mata.
Perasaan seorang Eyang yang sebenarnya bersedih hati karena cucunya batal menikah. Sitha dipeluk dan disayangi, Sitha sendiri juga meneteskan air matanya. Sekali lagi bukan karena batal menikah, tapi karena melihat Eyangnya menangis seperti ini.
"Nggih, Eyang."
"Cah ayu, Eyang doake semoga didekatkan dengan jodohnya. Mendapatkan pria yang nduweni tresna lan sabar maluber-luber (memiliki cinta dan kesabaran yang melimpah)."
Ibu Galuh kemudian menggenggam satu tangan Eyang. "Mboten napa-napa, Ibu. Menawi jodoh mangke nggih Gusti Allah paringi ingkang cerak. (Tidak apa-apa, Ibu. Jika jodoh, nanti Gusti Allah akan memberikan yang dekat). Didoakan saja Sitha segera didekatkan dengan jodohnya. Yang bukan jodoh semoga dijauhkan juga."
"Iya, itu juga doanya Eyang. Nduk Ayu, Eyang ini sudah Sepuh. Doanya Eyang pengen melihat kamu menikah. Eyang sudah bahagia melihat Kangmasmu Satria menikah dan memiliki empat anak. Semoga Gusti Allah masih memberikan Eyang umur yang panjang, supaya bisa menemani kamu menikah dan juga memiliki anak."
Sitha tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Semoga memang begitu adanya. Eyang kemudian duduk, dia mengamati satu per satu keluarganya. Sebagai orang tua melihat anak, cucu, menantu, bahkan buyutnya berkumpul semua rasanya sudah begitu bahagia. Namun, ada satu wajah yang asing bagi Eyang.
Lalu, Eyang bertanya. "Ndug Ta, Lha MasE ini siapa? Apa jodohmu?"
Dharma kaget dan bingung karena dia dikira adalah jodohnya Sitha. Sementara yang lainnya malahan tertawa. Dharma kemudian mendekat dan memperkenalkan diri.
"Tepangaken Eyang, kula Dharma. Kula nyambut damel wonten pabrikipun Bapak Bima," katanya menuturkan dengan bahasa Jawa krama.
"Oh, Eyang kira itu jodohnya Sitha. Rasanya kok kayak cocok sama Ndug Ayu Sitha."
Rama Bima berdehem. "Tuh Mas Dharma, dikira jodohnya Sitha loh."
Dharma mengangguk dan tersenyum. Lalu Eyang berbicara lagi. "Kalau ada niatan disegerakan Mas. Eyang ini sudah Sepuh. Usianya Eyang sudah 70 tahun. Usia hidupnya manusia di dunia itu hanya seberapa. Mimpinya Eyang masih bisa menemani Ndug Sitha mbangun omah-omah (membangun rumah tangga). Menurut Eyang kamu baik dan sabar," katanya.
Sitha kemudian berbicara kepada Dharma. "Waduh, malahan dikira kamu loh, Mas."
Saat itu Dharma sebenarnya panas dingin. Masih malu dan sangat sungkan. Sedangkan niatan hatinya masih menimbang-nimbamg, selain itu ada ketakutan sendiri.
"Yen Ndug Sitha karo MasE ini aja direstui gak, Bim?" tanya Eyang kepada Rama Bima.
"Ya direstui. Masak ya anak sama-sama suka enggak direstui. Tapi, misal Mas Dharma sudah punya kekasih hati, maaf ya Mas. Jangan dimasukkan hati," kata Rama Bima.
Banyak isyarat dan pertanda yang semakin benderang. Dharma menatap Sitha, apakah dia harus segera mengutarakan niat hatinya? Benarkah nanti Bapak Bima akan memberikan restu kepadanya jika benar-benar mengambil langkah serius?
tetap semangat ✊
Gusti Allah tansah mberkahi 🍀🌸❤🌸🍀
disyukuri walaupun hanya ada selintas ingatan yang masih samar di benak Shita
Terlebih didalamnya banyak terdapat sentuhan wawasan Budaya Jawa yang tentunya akan memperkaya pengetahuan si pembaca.
Saestu...sae sanget 👍