Gus Shabir merasa sangat bahagia saat ayah Anin datang dengan ajakan ta'aruf sebab dia dan Anin sudah sama-sama saling menyukai dalam diam. Sebagai tradisi keluarga di mana keluarga mempelai tidak boleh bertemu, Gus Shabir harus menerima saat mempelai wanita yang dimaksud bukanlah Anin, melainkan Hana yang merupakan adik dari ayah Anin.
Anin sendiri tidak bisa berbuat banyak saat ia melihat pria yang dia cintai kini mengucap akad dengan wanita lain. Dia merasa terluka, tetapi berusaha menutupi semuanya dalam diam.
Merasa bahwa Gus Shabir dan Anin berbeda, Hana akhirnya mengetahui bahwa Gus Shabir dan Anin saling mencintai.
Lantas siapakah yang akan mengalah nanti, sedangkan keduanya adalah wanita dengan akhlak dan sikap yang baik?
"Aku ikhlaskan Gus Shabir menjadi suamimu. Akan kuminta kepada Allah agar menutup perasaanku padanya."~ Anin
"Seberapa kuat aku berdoa kepada langit untuk melunakkan hati suamiku ... jika bukan doaku yang menjadi pemenangnya, aku bisa apa, Anin?"~Hana
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Enam
Dengan langkah malas Hana mengikuti Gus Shabir yang telah berdiri dan menghampiri Ghibran. Abangnya itu tampak terkejut melihat kehadiran adik dan suaminya. Terutama Anin, tampak sekali keterkejutan di wajah cantiknya.
"Selamat malam, Bang," sapa Gus Shabir dengan menyalami Ghibran.
Hana juga menyalami Abang beserta istrinya Aisha. Saat akan menyalami Anin, dia sempat berhenti sejenak. Gadis itu yang melihat keraguan pada sang aunty lalu berinisiatif menyalami dan mencium tangannya. Keduanya tampak sangat canggung.
"Kebetulan sekali bertemu di sini. Kenapa Abang tak mengabari jika ada di kota ini?" tanya Gus Shabir.
"Kami hanya mampir sebentar. Ada keperluan kuliah Anin yang sedang di urus," jawab Ghibran.
Sebenarnya Ghibran tak tahu jika Hana dan Gus Shabir telah pindah ke kota ini. Adiknya tidak pernah mengabari apa pun mengenai kehidupan rumah tangganya.
Namun, Ghibran tak mungkin berterus terang. Takut akan membuat Hana semakin menjauh darinya. Mereka hanya sekedar bertanya kabar kesehatan saja jika bertelepon.
"Kamu kelihatan lebih gemuk, Hana. Tambah cantik," ucap Aisha. Dari sudut matanya tampak air menetes. Wanita itu begitu bahagianya bertemu dengan adik ipar yang telah dianggap seperti anaknya. Bahkan dia sering memberikan ASI nya untuk Hana saat kecil.
"Alhamdulillah, mungkin karena aku saat ini sedang mengandung anaknya Mas Shabir," ucap Hana.
Hana mengucapkan itu agar Anin tahu jika dirinya dan Gus Shabir selama ini baik-baik saja. Hubungan mereka telah jauh dan telah sama seperti pasangan suami istri lainnya.
"Alhamdulillah, Sayang," ucap Aisha terlihat sangat bahagia. Dia lalu memeluk tubuh adik iparnya. Akhirnya air mata itu jatuh membasahi pipi.
Aisha merasa bahagia mendengar kehamilan Hana. Dengan kabar itu berarti dia tahu rumah tangga adik iparnya baik-baik saja. Anin menarik napas dalam. Tampaknya dia kurang nyaman berada di tengah mereka.
"Selamat Aunty. Semoga sehat hingga lahiran," ucap Anin. Dia kembali mengulurkan tangannya.
"Terima kasih," jawab Hana.
"Bagaimana kuliah kamu, Anin?" tanya Gus Shabir. Pertanyaan pria itu membuat dia menjadi pusat perhatian Hana, Ghibran dan Aisha. Tampak keterkejutan dari wajah ketiganya.
"Alhamdulillah lancar, Om. Maaf semuanya aku pamit. Ada yang ingin aku kerjakan," ucap Anin.
Pandangan Hana saat Gus Shabir bertanya membuat Anin merasa tak nyaman. Dia juga tak ingin gara-gara pertanyaan pria itu, aunty-nya jadi tambah membencinya.
Anin berjalan meninggalkan keempat orang itu. Dia pergi berjalan menuju pantai. Menyusuri sepanjang tepian pantai dengan kaki telanjang.
Gus Shabir tampak melirik ke arah Anin berjalan. Hal itu membuat Hana kurang suka. Dia lalu ikutan pamit dari Abang dan kakak iparnya.
"Mas, sebaiknya kita pulang saja," ucap Hana yang membuat keterkejutan bagi Gus Shabir. Mereka baru saja sampai dan belum memesan makanan.
"Tapi ...."
"Kepalaku pusing, Mas," ucap Hana memotong ucapan sang suami.
"Shabir, sebaiknya bawa Hana pulang segera. Wanita hamil muda itu biasanya memang sering pusing," ucap Aisha. Dia tahu jika adik iparnya itu kurang nyaman dengan pertemuan mereka ini.
"Baiklah, Kak. Maaf jika kami harus pamit sekarang."
Gus Shabir lalu menyalami Abang iparnya. Diikuti Hana. Ghibran memeluk adiknya saat mereka bersalaman. Tampak kerinduan yang mendalam dari dirinya. Begitu juga Aisha, dia memeluk adik iparnya itu, saat Hana bersalaman.
"Jaga kesehatan kamu, Hana. Jangan banyak pikiran, jangan bekerja hingga lelah, minum vitamin dan istirahat cukup. Mungkin hamil muda ini kamu akan mengalami ngidam. Jika ada kesulitan dan ada yang ingin kamu tanyakan segera hubungi kakak," ucap Aisha.
"Baik, Kak. Mas dengar apa kata Kak Aisha, aku tak boleh banyak pikiran," ucap Hana sedikit ketus agar sang suami mengerti. Gus Shabir hanya tersenyum menanggapi ucapan sang istri.
Aisha lalu mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sepertinya amplop yang cukup tebal. Dia lalu memberikan pada Hana. Enam bulan belakangan ini mereka tak bisa mengirim uang karena Hana telah membekukan rekeningnya.
"Ini untuk beli susu kamu. Ibu hamil itu harus banyak minum susu," ucap Aisha dan memberikan amplop itu ke tangan Hana. Tapi di luar dugaan, dia menolaknya.
"Tak perlu, Kak. Mas Shabir memberikan nafkah yang cukup untukku," tolak Hana. Wanita itu menarik napas. Sepertinya dia sulit mengucapkan itu tadi. Namun, dia harus mengatakan karena tak mau mengambil uang Ghibran lagi. Bukankah dia yang telah mengatakan jika tak butuh bantuan lagi. Padahal hatinya berat melakukan semua itu.
Hana tahu, apa yang dia lakukan saat ini sangat melukai hati Abang dan kakak iparnya. Dia juga sangat terluka. Dia sebenarnya sangat menderita karena harus menahan rindu pada mereka.
"Aku tahu Gus Shabir pasti bisa memenuhi kebutuhan kamu, Hana. Ini aku beri hanya untuk tambahan. Bisa juga untuk kamu simpan. Aku harap kamu jangan menolaknya. Kami ikhlas memberinya," ujar Aisha.
Gus Shabir yang tak tahu ada apa dengan mereka menatap penuh tanda tanya. Selama ini setiap dia tanya kenapa Hana tak pernah lagi mengunjungi sang Abang, sang istri selalu menjawab jika Abangnya sibuk mengurusi bisnis dan sering ke luar kota.
Pria itu percaya dengan apa yang istrinya katakan, karena dia pernah melihat Hana dan Ghibran sedang bertelepon. Jadi dia pikir memang abang iparnya itu sedang sibuk.
"Terima kasih, Kak. Jika aku sukses, akan aku balas semua kebaikan kalian berdua. Maaf, aku tak bisa berlama-lama bersama Abang dan Kakak. Sampaikan salamku untuk Anin. Semoga kuliahnya lancar dan cepat mendapat gelar dokter," ucap Hana.
Aisha kembali memeluk adik iparnya itu. Jika saja hubungan mereka sedang baik, pasti dia akan meminta wanita itu tinggal dengannya selama hamil muda agar dia bisa menjaganya.
Setelah cukup lama, Aisha melerai pelukannya. Hana mengerjapkan matanya agar air mata tak tumpah. Dia sebenarnya ingin lebih lama lagi bersama abang dan kakak iparnya yang telah seperti orang tua baginya.
Dia harus menahan perasaan rindunya. Dia takut jika lebih lama lagi bersama mereka, pertahanannya runtuh. Dia pasti ingin ikut pulang dengan mereka.
Hana berjalan cepat meninggalkan Ghibran dan Aisha. Dari tempatnya berdiri Anin memperhatikan kepergian aunty-nya. Ingin rasanya mengejar dan kembali memeluknya. Delapan belas tahun mereka selalu barsama, bukan hal mudah untuk melupakan kebersamaan itu.
"Aku kangen Aunty, aku kangen pijatanmu, candaan mu, cerewet mu, dan semua tentangmu. Apakah kita akan bisa bersama lagi seperti dulu," gumam Anin dalam hatinya.
Entah ikatan batin atau karena mereka yang saling merindu, Hana memandang ke arah Anin sebelum masuk ke mobil. Pandangan mereka bertemu. Hana menatap ponakannya itu dengan menahan air mata. Rasanya ingin berlari ke tempat gadis itu berdiri dan memeluknya erat, melepaskan kerinduan.
...----------------...
jadikan itu menjadi dewasa,bijak dan sabar serta luas memaafkan,jgn lebai,egois dan kekanak kanakn
jdi ingat alm papamu saat menikahkanku, alm nangis terus😭😭