Sepeninggal suami, Nani terpaksa harus bekerja sebagai seorang TKW dan menitipkan anak semata wayangnya Rima pada ayah dan ibu tirinya.
Nani tak tau kalau sepeninggalnya, Rima sering sekali mengalami kekerasan, hingga tubuhnya kurus kering tak terawat.
Mampukah Nani membalas perlakuan kejam keluarganya pada sang putri?
Ikuti kisah perjuangan Nani sebagai seorang ibu tunggal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kalah Saing
Titik jatuh saat mendengar penjelasan Berta tentang sertifikat rumahnya.
"Ibu!" pekik Tyas lalu mendekati sang ibu dengan panik.
"Hadeuh pingsan pula dia. Gimana, bisa kau cicil hutang si Yanto itu!" ujar Berta tak peduli.
Berta sudah biasa menghadapi orang-orang seperti Titik yang pingsan saat dia tagih.
"Ayo mana cepat! Aku sibuk kali ini," ucapnya tak sabar.
"Aduh Bu Berta ngga liat ibu saya pingsan, iba sedikit ngapa Bu sama kondisi kami!" ketus Tyas masih sambil menggoyang tubuh ibunya.
"Kasihlah hidungnya minyak kayu putih! Kau itu malah di goyang-goyang saja dari tadi!" jawab Berta sambil memberi arahan pada Tyas.
Tyas yang panik seketika langsung mengikuti arahan Berta, mengambil balsam milik ibunya.
Dia mengoleskannya di hidung Titik dengan jumlah banyak, dia berpikir agar sang ibu segera siuman.
"Panas ... Panas," Titik bangun dan mengusap hidungnya.
"Alhamdulillah Bu, akhirnya ibu sadar," ucap Tyas lega.
"Kamu mbok ya jangan seperti ini! Kenapa malah kasih balsem banyak banget ke hidung ibu! Panas tau Yas!" gerutu Titik.
"Udah kalian dramanya? Mana cepat uangnya! Kalau enggak, kalian keluar dari rumah ini!" sentak Berta yang mulai habis kesabaran.
"Ya Allah, Bu Berta, kami aja ngga tau kalau Mas Yanto itu hutang sama Ibu, ya ngga bisa gitu aja ibu usir-usir kami!" jawab Tyas berani.
"Loh kenapa enggak? Sertifikat itu ada padaku, surat perjanjian pun ada, tanda tangan kau juga ada, apa yang ngga bisa aku lakukan!" jelas Berta tenang.
Tyas terkesiap, dia tak pernah sekali pun memberikan tanda tangannya pada Berta, ia yakin Berta mengada-mengada.
"Denger ya Bu Berta aku ngga pernah tanda tangan, bagaimana bisa ada tanda tanganku."
Berta lantas meminta tas besar yang di bawa pengawalnya.
Di keluarkannya berkas surat perjanjian antara dirinya dan Yanto.
Di sana juga ada tanda tangan Yanto dan juga dirinya.
Sepertinya Yanto berhasil memalsukan tanda tangannya yang memang mudah.
Sial! Gerutu Tyas dalam hati.
Kini dia ketakutan akan terusir dari rumah ini jika sang suami tak bisa membayarkan hutangnya.
"Ta-tapi aku ngga pernah tanda tangan Bu Berta," elaknya gugup.
"Ini pasti ulah mas Yanto," lanjutnya dengan tubuh gemetar.
"Aku tak peduli, yang aku tanya, mana uang setoran, kalau tidak kalian harus keluar dari rumah ini!" kecamnya.
"Kami ngga ada uang Bu Berta, saya minta waktu lagi, saya mau cari Mas Yanto dulu ya," pinta Tyas dengan wajah memelas.
Berta yang tau jika dirinya juga telah di tipu oleh Yanto akhirnya mengalah.
"Baiklah, untuk kali ini aja, aku kasih waktu kalian sampai besok, kalau tidak bayar setoran plus bunganya, maka aku akan usir kalian!"
"Ya ngga bisa gitu juga Bu Berta, di sana kan mas Yanto hutang dua puluh juta, cicilannya seratus ribu tiap hari selama setahun, nah udah masuk sekitar lima jutaan, berarti kan hutangnya ngga sebanding dengan harga rumah kami. Jadi Bu Berta ngga bisa ngusir kami!" tolak Tyas tegas.
Meski terkejut dengan hutang menantunya, tapi dia senang karena Tyas berani melawan ketika di tindas.
"Iya memang, tapi jangan lupa beberapa hari ini si Yanto tak setor ada dendanya juga!" kecam Berta
"Ingat, aku tunggu besok, kalau tak bayar, maka aku lelang rumah ini, berapa pun lakunya, yang penting bisa nutup utangnya si Yanto!" lanjutnya lalu pergi dari rumah Tyas.
"Ya Allah Yas gimana ini, kalau rumah ini di lelang kita gimana?" keluh Titik.
Dia sendiri tengah bingung mencari uang untuk menebus Dita, kini harus ikut di pusingkan dengan urusan hutang menantunya.
"Aku juga bingung Bu! Aku mau cari mas Yanto ke pangkalan!" ujar Tyas memilih berlalu meninggalkan Titik begitu saja.
Titik ingin mencegah, bukan karena apa, Tyas yang belum mandi dan hanya mengenakan daster lusuh serta rambut yang di cepol asal sangat memalukan jika anaknya itu keluar.
"Ya ampun Yas, harusnya kamu mandi dulu. Kalau kamu keluar dengan penampilan begitu, nanti kamu sendiri yang malu," gumam Titik lemah.
Tyas sampai di pangkalan ojek tempat suaminya mangkal.
"Bapak-bapak liat mas Yanto?" tanya Tyas.
Para rekan sejawat Yanto menatap Tyas dari ujung kepala sampai kaki.
Rambut awut-awutan, sudut mata terdapat belek, serta pakaian yang lusuh di tambah tubuh Tyas yang bau kecut membuat mereka berpikir benarkah wanita ini Tyas yang dulu selalu tampil cantik?
"Eh kok pada ngeliatin aku kaya gitu sih, terpesona ya? Jaga mata kalian kalau nanti Mas Yanto liat, bisa habis kalian di hajar!" gerutunya.
Meski dalam hatinya ia merasa puas karena teman-teman suaminya terpesona dengan dirinya.
Rekan-rekan Yanto menahan tawa, wanita di hadapannya terlalu percaya diri jika menganggap mereka terpesona, padahal kenyataannya mereka geli melihat penampilan Tyas.
"Ya elah mbak, percaya diri boleh, tapi ngaca dulu lah, kalau mau keluar senggaknya mandi dulu mbak, ngga ada kaca apa di rumah? Penampilan begini kok bilang kita terpesona!" ejek salah satu teman Yanto yang bermulut pedas.
Tyas merasa tersinggung dengan ucapan teman suaminya, "alah bilang aja ngga mau ngaku. Udahlah, aku ke sini mau nyari mas Yanto, ke mana dia!" ketusnya.
"Lagi nganter pelanggan lah! Tunggu aja kalau mau," jawab teman Yanto yang bernama Nasro.
Tak ada satu pun dari mereka menawari Tyas untuk duduk. Mereka merasa sebal dengan sikap Tyas yang ketus dan sombong.
Mata Tyas terbelalak kala melihat Nina turun dari sebuah mobil bersama dengan lelaki manis yang pernah dia lihat dulu.
"Duh, abis liat yang empet, akhirnya bisa liat wajah Mbak Nina yang seger, bikin hati adem," seloroh salah satu teman Yanto lainnya.
"Huss! Eling ada anak bini di rumah! Lagian mana mau mbak Nina sama kamu, mimpi jangan ketinggian jatohnya sakit nanti!" cibir Nasro.
"Elah tau lah aku bang, emang si Yanto, udah di tolak masih deketin dia bae, ngga punya otak emang tuh orang!" gerutu Yadi.
"APA! Mas Yanto sering godain Nina?" tanya Tyas pada teman-teman Yanto.
Tyas yang tadi berteriak membuat mereka terkejut.
"Ya Allah, nih orang suara kaya terompet sombreng aja yak! Pantas si Yanto ngga betah di rumah," gerutu Yadi.
"Apa kamu bilang? Mas Yanto ngga betah di rumah gara-gara aku? Eh denger ya bang, mas Yanto tuh cinta mati banget ma aku. Lagian ngga mungkin mas Yanto godain Nina, paling juga Nina yang kegatelan, lagian dia pastikan cuma pelayan di pasar, mana bisa bersaing sama aku," jawab Tyas pongah.
Teman-teman Yanto menahan tawa saat mendengar ucapan Tyas yang penuh dengan percaya diri.
"Eh mbak Tyas asal Mbak tau, Mbak Nina itu pemilik toko bekasnya Haji Mursih, sembarangan aja kalau ngomong," jelas Narso.
Lagi-lagi Tyas terkejut mendengar fakta baru tentang Nina.
Dia tak menyangka anak tiri ibunya itu ternyata banyak uang, hingga bisa membeli toko sembako haji Mursih yang terkenal itu.
Tanpa terasa Tyas jatuh terduduk, dia tak menerima jika kehidupan Nina lebih baik darinya.
"Eh mbak bangun, kaya bocah aja duduk di jalan!" tegur Yadi kesal.
"Mas Yanto nganter ke mana sih Bang, kok lama banget," ujarnya lemah.
Hatinya sakit kala tau dirinya tak bisa menandingi Nina.
"Kalau ngga balik-balik ya mbak ke warungnya Mbak Ratih aja, di sana kali tuh orang,” jelas Yadi.
Tyas yang tidak tau di mana warung Ratih lantas di jelaskan oleh teman-teman suaminya yang iba.
Setelah kepergian Tyas teman Yanto yang lain, meninju bahu Yadi yang memberitahu keberadaan Yanto pada Tyas.
"Gila luh, bisa perang dunia tuh Yanto sama bininya kalau mereka ketemu di warungnya si Ratih," tegur Narso
"Bodo amat, kesel juga aku lama-lama sama si Yanto, dah kere banyak tingkah juga," cibir Yadi tak peduli.
.
.
.
Tbc