Di ulang tahun pernikahannya yang kedua, Lalita baru mengetahui kenyataan menyakitkan jika suaminya selama ini tidak pernah mencintainya, melainkan mencintai sang kakak, Larisa. Pernikahan yang selama ini dia anggap sempurna, ternyata hanya dia saja yang merasa bahagia di dalamnya, sedangkan suaminya tidak sama sekali. Cincin pernikahan yang yang disematkan lelaki itu padanya dua tahun yang lalu, ternyata sejak awal hanya sebuah cincin yang rusak yang tak memiliki arti dan kesakralan sedikit pun.
Apa alasan suami Lalita menikahi dirinya, padahal yang dicintainya adalah Larisa? Lalu akankah Laita mempertahankan rumah tangganya setelah tahu semua kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiwie Sizo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hati yang Tulus
"Lita, tidak. Jangan begini." Larisa juga terisak. Perasaan bersalah itu kini memenuhi hatinya, membuat dada terasa begitu sakit. Setelah sekian lama dia merasa Lalita hanyalah adik egois yang mau menang sendiri, kini semua asumsi tersebut runtuh dan menyisakan rasa sesak yang tak tertahankan.
Sekali lagi Lalita tersenyum, meski air mata kini membanjiri pipinya.
"Jangan merasa buruk, Kak. Akulah yang telah memisahkan kalian. Sudah seharusnya aku menyatukan kalian kembali. Semoga setelah ini kalian bisa hidup bahagia," sahut Lalita sembari melepaskan gengaman tangannya. Dia kemudian beralih pada Erick yang saat ini tengah menatapnya lekat dengan ekspresi yang sulit dilukiskan.
"Bahagiakanlah Kak Risa, Erick," pinta Lalita pada lelaki itu. Lelaki yang sejatinya masih berstatus sebagai suami sahnya.
Air mata Lalita kembali luruh tanpa aba-aba. Perih, itulah yang dia rasakan saat ini. Perempuan mana yang tak merasa sakit jika berada di posisinya saat ini. Merelakan suami yang dicintai untuk perempuan lain yang tak lain adalah kakaknya sendiri, tentu hal tersebut bukanlah sesuatu yang mudah dan sederhana. Butuh hati yang besar dan keikhlasan seluas samudera untuk melakukannya.
Namun, di balik semua kepedihan yang dirasaannya saat ini, Lalita yakin jika keputusannya ini adalah hal terbaik yang mesti dia lakukan. Hanya dengan cara ini dia bisa terlepas dari belenggu pernikahan yang tak membahagiakan.
"Lita ...." Erick akhirnya mampu bersuara setelah sejak tadi berusaha sekuat tenaga.
Lalita mengangkat pandangannya sejenak ke arah lelaki itu. Senyuman sendu kembali tersungging di bibirnya meski wajahnya nyaris basah semua karena air mata. Selama menjadi istrinya Erick, baru kali ini Lalita mendengar namanya disebut dengan begitu lembut dan sepenuh hati.
"Kita mesti bicara dulu," pinta Erick. Ucapannya terdengar memohon, jauh dari kesan datar seperti ucapan-ucapan dari mulutnya yang selama ini terdengar di telinga Lalita.
Sungguh miris, di saat Lalita telah bertekad untuk menyatukannya dengan Larisa, Erick malah merasa hatinya justru cenderung pada istrinya itu. Rasa cintanya terhadap Larisa yang sebelumnya begitu menggebu-gebu, kini entah kemana perginya.
"Besok jadwal sidang pertama kita. Bicarakan apa yang ingin kamu bicarakan pada pengacaraku," sahut Lalita.
Erick menelan ludahnya dengan agak kepayahan. Ada perasaan asing yang tiba-tiba saja mendominasi saat mendengar jawaban Lalita barusan. Padahal mestinya dia merasa senang karena Lalita melepasnya dengan lapang dada, tapi kenapa sekarang dia malah merasa takut kehilangan?
"Kamu tidak usah khawatir, aku tidak menuntut apapun dan akan membuat semuanya cepat terselesaikan," tambah Lalita lagi sembari kembali menyeka sisa-sisa air mata yang masih memenuhi wajahnya.
Erick hanya bisa mematung tanpa mampu mengatakan apa-apa lagi. Sekarang dia merasa telah kehilangan semua hak atas diri Lalita, bahkan sekedar hak itu berbicara sekalipun.
Lalita sendiri tampak kembali menghampiri Arfan yang saat ini sudah terduduk lesu di salah satu sofa yang ada di ruangan tersebut. Lelaki paruh baya itu terlihat memijat pelipisnya sembari memejamkan mata. Helaan napas panjang juga sesekali terdengar dari mulutnya.
"Papa," panggil Lalita lirih sembari ikut duduk di samping Arfan. Disentuhnya punggung tangan Arfan lembut, lalu digenggamnya pula tangan lelaki paruh baya itu.
"Terlepas dari salah atau benar, aku tahu apapun yang Papa lakukan selama ini tidak lain karena Papa amat sangat menyayangiku. Meski hatiku rasanya tidak terima, tapi aku juga berusaha untuk mengerti. Tapi, Pa ... ada satu hal yang juga harus Papa pahami. Perasaan itu tak bisa dipaksakan. Memaksa seseorang menyayangi atau mencintai orang lain, itu bukanlah sesuatu yang pantas dilakukan meskipun Papa memberikan imbalan. Perasaan yang dipaksakan tidak akan pernah melahirkan sebuah ketulusan ...." Lalita menghentikan kata-katanya dan menghela napas sejenak.
"Jika Papa memang menyayangiku, tolong jangan lakukan itu lagi, Pa. Biarkan Kak Risa dan Erick bahagia. Papa telah menbawa Mama dan Kak Risa ke rumah ini sebagai ibu dan kakak untukku, aku minta sekarang Papa bersikap adil. Perlakukanlah Kak Risa dan Mama dengan baik sebagaimana memperlakukan anak dan istri. Bukan hanya aku yang berhak bahagia, Pa. Kak Risa dan Mama juga. Tolong jangan halangi hubungan Kak Risa dan Erick seperti yang Papa lakukan di masa lalu," pinta Lalita dengan suara yang terdengar sedikit bergetar.
"Aku harap Papa memenuhinya, karena itu adalah permintaan terakhirku pada Papa. Setelah ini, aku tidak akan menjadi anak yang manja lagi. Aku akan bertanggung jawab terhadap hidupku sendiri."
"Lita." Arfan akhirnya tak mampu lagi membendung perasaannya. Dia membawa Lalita ke dalam pelukannya dan mendekap sang putri erat dengan perasaan bersalah yang begitu membuncah.
"Maafkan Papa, Lita. Maafkan Papa ...." Tangis Arfan akhirnya pecah.
"Papa tidak menyangka jika semua ini malah akan membuat kamu sengsara. Papa telah banyak melakukan kesalahan karena terlalu menyayangimu, tanpa menyadari jika akibat dari perbuatan Papa justru akan membuatmu menderita. Papa hanya ingin membuatmu bahagia ...."
"Aku tahu, Pa," sahut Lalita sembari membalas pelukan Arfan. Kini rasanya tak perlu lagi Arfan menjelaskan apapun. Hanya dengan lelaki paruh baya itu mengakui kesalahannya, Lalita sudah merasa cukup dengan semua itu.
"Tanpa Papa bilang pun, aku tahu kalau Papa sangat menyayangiku. Aku juga tahu kalau Papa pasti juga banyak menahan perasaan demi aku.," ujar Lalita lagi.
"Aku harap Papa juga bisa menyayangi Kak Risa dan Mama seperti Papa menyayangi aku." Lalita kembali menambahkan.
Arfan mengurai pelukannya dan menatap putrinya itu dengan sendu. Setelah begitu tersakiti dengan banyak kenyataan pahit, siapa sangka Lalita masih begitu tulus memikirkan orang lain. Hatinya begitu murni, mengingatkan Arfan pada mendiang ibu kandungnya, Dinara.
"Aku sudah menyampaikan apa yang ingin aku sampaikan pada Papa. Sekarang aku mau pulang dan beristirahat. Aku tidak akan memaksa Papa harus bagaimana, tapi aku percaya, Papa pasti akan menghargai keinginanku," ujar Lalita sembari bangkit dari duduknya.
Lalita melangkah menjauh dari Arfan yang masih membeku di tempatnya, lalu mendekati Riani yang sejak tadi hanya memantung tanpa kata.
"Mama," panggil Lalita pada perempuan paruh baya itu.
"Ya," sahut Riani dengan suara serak menahan tangis. Setelah mendengarkan semua permintaan Lalita tadi, kini perasaan Riani terasa seperti diremas-remas, hingga membuat nafasnya terasa begitu tersengal.
"Terima kasih ... untuk semua kasih sayang Mama selama ini. Maaf kalau aku banyak membuat Mama kesusahan," ujar Lalita.
Riani sedikit memalingkan pandangannya ke arah lain. Matanya mengerjap, tapi tak urung cairan bening hangat itu jatuh juga meski telah ditahan sekuat tenaga.
"Mama juga pasti sudah banyak berkorban demi aku. Aku harap, hidup Mama juga akan bahagia setelah ini." Untuk ke sekian kalinya Lalita mengucapkan harapan tulus sembari menyungging senyuman sendu.
Bersambung ....
Mak othor kereeen /Good//Good//Good//Good//Good/