Pertemuan yang tidak sengaja dengan orang yang sangat menyebalkan menjadi awal sebuah takdir yang baru untuk dr. Fakhira Shakira.
Bruukk
"Astaghfirullah." Desis Erfan, ia sudah menabrak seorang dokter yang berjalan di depannya tanpa sengaja karena terburu-buru. "Maaf dok, saya buru-buru," ucapnya dengan tulus. Kali ini Erfan bersikap lebih sopan karena memang ia yang salah, jalan tidak pakai mata. Ya iyalah jalan gak pakai mata, tapi pakai kaki, gimana sih.
"It's Okay. Lain kali hati-hati Pak. Jalannya pakai mata ya!" Erfan membulatkan bola matanya kesal, 'kan sudah dibilang kalau jalan menggunakan kaki bukan mata. Ia sudah minta maaf dengan sopan, menurunkan harga diri malah mendapatkan jawaban yang sangat tidak menyenangkan.
"Oke, sekali lagi maaf Bu Dokter jutek." Tekannya kesal, kemudian melenggang pergi. Puas rasanya sudah membuat dokter itu menghentakkan kaki karena kesal padanya. Erfan tersenyum tipis pada diri sendiri setelahnya.
Karena keegoisan seorang Erfan Bumi Wijaya yang menyebalkan, membuat Hira mengalami pelecehan. Sejak kejadian itu ia tak bisa jauh dari sang pria menyebalkan.
Rasa nyaman hadir tanpa diundang. Namun sayang sang pria sudah menjadi calon suami orang. Sampai pada kenyataan ia sudah dibeli seseorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susilawati_2393, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26
Erfan berangkat lebih pagi hari ini, ia akan mampir membelikan Hira bubur terlebih dahulu baru bertamu ke apartemennya. Demi apa ia menjadi tamu di pagi buta seperti ini. Setelah memencet bel tiga kali baru pintu di buka. Bukan Hira yang menyambutnya melainkan Ressa.
"Hira sudah bangun Sa?" Ia meletakkan bubur yang dibawanya ke atas meja.
"Sudah dong, baru selesai mandi. Bos gak kepagian datang ke sini?" Ressa mengernyitkan kening, bosnya bela-belain datang menemui Hira pagi begini. Apa maksudnya?
"Gue harus memastikan Hira dalam keadaan baik Sa."
"Oke, ternyata bos sangat perhatian dengan sahabat saya ya, sampai rela berangkat pagi sekali." Goda Ressa, tidak perlu diperjelas maksud sindirannya itu apa. Hanya Tuhan yang tau.
"Siapa Sa, yang bertamu pagi buta begini?" Teriak Hira dari dalam kamar.
"Bos Erfan Ra, cepetan keluar!" Balas Ressa dengan teriakan yang tak kalah nyaring. Erfan sampai menempelkan telapak tangannya di telinga. Beberapa menit kemudian Hira bergabung di sofa, Ressa kembali ke kamar.
"Gimana keadaan lo Ra, sudah baikan?" Tanya Erfan dengan nada lembut, Hira sampai tertegun dibuatnya.
"Alhamdulillah, sudah lebih baik Pak. Maafkan saya yang sudah menyusahkan Bapak kemaren." Hira ingat tingkah manjanya yang tidak mau lepas dari pelukan Erfan. Sangat memalukan, ia berharap Erfan melupalan kejadian itu selamanya.
"Sudah tanggung jawab gue Ra, lo jadi begitu karena gue lalai jagain lo." Erfan tersenyum sangat manis, "gue bawain bubur Mang Udin, kita sarapan dulu ya. Ajakin Ressa sekalian."
"Mari Pak." Hira membawa bubur ke meja makan diikuti Erfan, setelah selesai memindahkan bubur ke mangkok ia berteriak memanggil Ressa. "Sa, makan. Bubur ayam Mang Udin nih."
"OTW!" Teriak Ressa, Erfan geleng-geleng kepala. "Kalian kalau gak teriak-teriak seperti tarzan begitu gak bisa ya." Tegur Erfan saat Ressa sudah bergabung di meja makan.
"Gak afdol kalau gak pakai nada tinggi bos, sensasinya beda euy."
"Gue nyesel jadiin lo seketaris Sa, untung ada gunanya. Kalau gak sudah gue tendang lo."
"Saya pasti berguna bos, sampah aja masih berguna kalau di daur ulang. Apalagi saya yang termasuk makhluk Tuhan yang paling sexy ini, pasti banyak gunanya kalau dimanfaatkan."
Jangan salahkan Erfan yang ingin memutilasi Ressa detik ini juga.
"Kalau gak ngeles tuh mulut gatel ya Sa." Erfan berdecak, matanya melirik Hira yang duduk di depannya.
"Kalau gatel gak ada yang garukin bos, jadi mending dibawa ngomong." Kekeh Ressa, setelah membaca doa ia menyuap buburnya.
"Ketemu makanan aja mulutnya langsung mingkem." Erfan geleng-geleng kepala. Percakapan di meja makan didominasi oleh percekcokan Ressa dan Erfan. Pria itu langsung pamit undur diri selepas sarapan.
Sekarang Erfan sudah berada di kantor. Setelah sibuk dengan program penyuluhan kesehatan, kini ia harus menyelesaikan pekerjaan kantor yang tak tersentuh. Apalagi sekarang Ressa sedang tidak ada di kantor, tapi tetap bekerja dari apartemen Hira.
Fokus Erfan terbagi, kepala serasa pecah. Belum lagi seminggu ini ia tidak bertemu dengan Key dan Nasya. Membuat Erfan tambah frustasi.
"Apa ini!" Erfan membanting dokumen yang dipegangnya ke atas meja. "Kalian tau, jika terus begini akan merugikan perusahaan. Mana kinerja kalian yang katanya terbaik. Ingin gaji tinggi tapi malas kerja." Ia meluapkan kekesalnya di ruang meeting. Tidak ada yang berani membantah Erfan sekarang.
"Jika kita kalah tender, ini akan sangat berdampak." Tambahnya, "proyek dengan PT. Guna Bangsa juga gagal. Kalian ngapain aja sih, hah." Erfan mengepalkan tangan, rahangnya mengeras dengan tatapan mata yang tajam di depan direktur dan penanggung jawab projek.
"Dapatkan tender ini." Titahnya kemudian keluar dari ruang meeting. Terlalu lama di sana membuatnya terserang penyakit darah tinggi, itu sangat tidak keren. Tidak ada yang berani membantah bos besar walau usianya masih sangat muda dibanding orang-orang yang barusan disemprotnya.
Erfan menghempaskan bokong di sofa, kepalanya berdenyut hebat. Ia memejamkan mata sejenak, agar lebih rileks.
"Mas...!" Terdengar suara Bilqis, Erfan membuka mata lalu tersenyum ke arah pintu. Amarahnya yang tadi meledak seketika melebur melihat senyuman cantik itu.
"Kenapa kesini Qis?" Tanyanya lembut, mempersilahkan Bilqis duduk di sampingnya.
"Emang gak boleh?" Tanya Bilqis dengan wajah cemberut, Erfan gemas melihat tingkah gadis itu, kadang dewasa, kadang sangat manja. Seperti sekarang gadis di depannya ini sedang merajuk.
"Ressa mana Mas?" Bilqis tidak melihat Ressa ada di mejanya.
"Lagi tugas di luar, kenapa?"
"Pantesan gak ada kabarnya, biasanya dia bilang kalau Mas sedang apa." Bilqis tersenyum malu-malu.
"Dasar tukang ngadu, biar Mas ganti aja nanti seketaris seperti itu."
"Eitss jangan, nanti aku gak bisa dengerin dia ghibahin Mas lagi," Kekeh Bilqis.
"Jadi sekarang suka ghibahin calon suami sendiri nih." Erfan menatap Bilqis dengan lembut, kok beda ya rasanya seperti pagi tadi saat dekat Hira.
"Dikitt aja, gak banyak kok Mas."
"Mau dikit, mau banyak tetep aja namanya ghibah." Sela Erfan, Bilqis mengerucutkan bibirnya. "Gak perlu dimonyongin juga bibirnya."
"Huumm."
"Kamu bawa apa?" Erfan melirik paper bag yang diletakkan Bilqis di atas meja. Ia tak ingin menanggapi kemanjaan Bilqis sekarang.
"Bawa cake buat Mas, cobain dulu."
"Bikin sendiri?"
"Yaa—" Bilqis menjeda kalimatnya. Erfan merebut sendok yang masih dipegang Bilqis, "enak." Pujinya.
"Hmm, ini bukan buatan aku, mana bisa aku bikin cake seenak ini," Ujar Bilqis tertawa.
"Yee, ngomong setengah-setengah." Erfan mencubit pipi Bilqis yang merona merah.
"Iihh, sakit tau Mas." Bilqis mengelus pipinya. "Makanya jangan bikin gemass." Hati Bilqis menghangat karena perlakuan Erfan.
"Aku hari ini gak bisa nemenin kamu ya Qis." Ujarnya sambil menyuap cake ke mulut.
"Iya Mas, makanya aku yang mampir ke sini, 'kan Mas sibuk." Bilqis menatap lekat wajah calon suaminya. "Capek?" Erfan mengangguk, hatinya lelah memikirkan perasaannya sendiri. Ia tidak tau mana perasaan yang sesungguhnya.
"Mas gak bisa libur dulu, seminggu lagi kita menikah lho. Mas terlalu lelah sekarang."
"Pengennya gitu Qis, tapi belum bisa sekarang. Mungkin nanti H-2 baru bisa istirahat. Tapi sebelum itu harus menyelesaikan semua kerjaan dulu."
"Tidak apa, yang penting Mas jaga kesehatan ya." Bilqis mengambil tisu, lalu membersihkan sudut bibir Erfan dari noda cokelat. Erfan ingin menepis tangan Bilqis tapi tidak tega.
"Bisa gak sih gak bikin gemesss begini. Aku seperti ingin memakanmu saja sekarang." Kekeh Erfan, sungguh rasanya beda. Hatinya tidak seantusias saat bersama Hira.
"Aku bukan makanan Mas, atau Mas sejenis Sumanto. Pemangsa manusia." Bilqis tertawa geli menatap calon suaminya yang melotot sampai kedua bola matanya hampir terlepas.
"Kamu manis makanya pengen kumakan." Erfan mengusap puncak kepala Bilqis dengan hangat, kedua pipi Bilqis bersemu merah menahan malu juga haru. Erfan memperlakukannya sangat lembut. Awalnya ia pikir sangat susah untuk membuka hati lelaki ini.
"Jangan memperlakukanku begini Mas, aku jadi gak pengen pulang," Bilqis menggoda Erfan.
"Bersabar yaa Qis, seminggu lagi aku akan selalu ada di sisimu." Ucap Erfan, entah itu tulus atau tidak. Ia juga bingung sendiri.
"Sana pulang, aku gak bisa kerja kalau melihatmu di sini Bilqis." Usir Erfan halus dengan tertawa renyah.
"Kalau aku pulang jangan kangen ya." Bisik Bilqis di telinga Erfan.
"Jangan menggodaku Bilqis." Bilqis tertawa gelak, ia sebenarnya datang ke sini ingin menanyakan tentang berita yang sedang viral. Tapi tak tega, melihat wajah Erfan yang sedang lelah. Apa yang harus ia ragukan, Erfan sudah menjelaskannya pada Mami-nya. Erfan tak mungkin berbohong.
"Oke.. Oke.. aku pulang. Tapi ingat jangan kangen." Goda Bilqis lagi, ia segera berlari keluar ruangan. Kepalanya menyembul dibalik pintu mengucapkan salam dengan senyuman menggoda.
"Dasar gadis nakal." Geram Erfan, saat Bilqis sudah sepenuhnya menghilang. Erfan kembali memejamkan netranya yang lelah.
udah untung suami mendukung pekerjaan nya,malah mau di bikinin tempat praktek sendiri, kurang apa coba si erfan