Berniat berlari dari penagih utang, Kinan tak sengaja bertabrakan dengan Reyhan, laki-laki yang berlari dari kejaran warga karena berbuat mesum dengan seorang wanita di wilayah mereka.
Keduanya bersembunyi di rumah kosong, sialnya persembunyian mereka diketahui oleh warga. Tanpa berpikir lama, warga menikahkan paksa mereka.
Keinginan menikah dengan pangeran yang mampu mengentaskan dari jerat utangnya pupus sudah bagi Kinan. Karena Reyhan mengaku tak punya kerjaan dan memilih hanya menumpang hidup di rumahnya.
READER JULID DILARANG MASUK!
Ini hanya cerita ringan, tak mengandung ilmu pelajaran, semoga bisa menjadi hiburan!
Tik tok : oktadiana13
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Okta Diana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sangat Kecil
"Baby ...?"
Ini mimpi atau kenyataan? Aku melihat Rey berdiri di depan pintu kamar mewah itu. Itu artinya, pangeran pemilik kamar ini adalah Reyhan suamiku. Tidak, tidak mungkin. Aku menggelengkan kepala.
Sisil membangunkan lamunan ini dengan menyikut lenganku. Aku memandangnya. "Itu Pak Reyhan, cepat tanya!" bisiknya seperti tak sabar menunggu terlalu lama. Bukannya apa-apa, lidahku sekarang kelu, tak sanggup untuk mengucap satu kata pun.
"Baby, kamu kok tau aku ada disini?"
Deg
Aku harus menjawab apa? Apa aku harus berbicara jujur padanya tentang pekerjaanku disini?
"Malah ngelamun! Ayo masuk!" Rey menarik tangan kananku masuk ke dalam kamar itu. Sadangkan tangan kiri ini aku gunakan untuk menarik tangan Sisil.
Kami duduk bertiga di sofa. Sumpah, kenapa aku begitu gugup sekali? Harusnya bahagia tapi kenapa aku merasa kecil? Ini bukan seperti Rey suami dadakan yang menyebalkan itu.
"Ini teman kamu?" Mata Rey menunjuk ke arah Sisil.
"I-iya Pak saya ...."
"Sisil ... namanya Sisil," sambarku. Aku berharap Rey tak mengenal Sisil yang bekerja sebagai cleaning lady disini.
"Ouh, terus ngapain kamu kesini? Aku ini juga mau pulang kok. Atau kita tidur disini aja nanti malam?" tanyanya. Dia mengelus puncak kepalaku dan merapikan rambut yang terkuncir ekor kuda ini. Pandangan matanya pun sukses membuatku panas dingin. "Baby ...?"
"A-aku pulang."
"Pulang?" tanyanya lagi. Aku mengangguk seraya kesulitan menelan saliva. Kemudian menatap Sisil yang raut wajahnya kebingungan. Pasti dia baru tau kalau pangeran yang kita maksud selama ini adalah suamiku.
"Ya udah kita pulang ya! Kamu terlihat sangat lelah sekali."
Lelah, apa wajahku sangat kacau sekarang? Apa berminyak? Atau malah kering? Aku benar-benar canggung dan salah tingkah. Segera mengelapnya dengan lenganku.
Rey menarik tanganku berdiri dari sofanya dan kami siap keluar kamar. Namun, tiba-tiba ada pasangan paruh baya yang datang ke kamar ini.
"Papa ... Mama?"
Deg
Aku menatap Rey kemudian menatap dua orang itu. Tunggu! Itu bukannya pemilik hotel ini yang Sisil pernah dia bilang padaku. Ya, aku masih mengingat wajahnya dan wanita ini, apa mungkin dia adalah Ibunya Rey? Walaupun sudah tak muda lagi, wanita ini masih begitu cantik, modis, memang pantas untuk menjadi Ibu Rey. Sedangkan aku?
Aku menatap tubuh ini sampai bawah. Aku merasa kecil, sangat kecil. Seperti tak pantas bersanding dengan Rey? Kaki ini menjauh mundur tiga langkah dari mereka.
"Rey ... kamu kemana aja? Gak mau pulang ke rumah, gak kangen sama Mama?" Rey mendekati wanita itu dan memeluknya erat.
"Maafin Rey Ma, 'kan Papa yang nyuruh Rey mondar mandir ngurusin hotel!"
Jadi, selama ini Rey ....
"Dari pada kamu gonta ganti pacar gak jelas, ini besok buat masa depanmu juga 'kan?"
Hati ini seperti tercubit saat mendengar ucapan itu keluar dari mulut Papanya. Ya, harusnya aku tak menaruh hati padanya. Akhirnya sakit hati yang terasa.
Rey menatapku, kemudian kembali berbicara pada Papanya. "Pa ... Rey udah gak kayak gitu!"
"Baiklah, kalau gitu kamu segera menikah! Bagaimana kalau dengan Gracia? Anak teman Papa, cantik loh dia anaknya. Kamu tau 'kan?
Deg
Jantung ini seperti berhenti berdetak saat ini juga. Hati pun tersayat sembilu rasanya. Bulir-bulir air mata ini semakin tak sanggup ku tampung lagi. Ini menyakitkan. Aku semakin sadar siapa diriku sebenarnya.
Tangan Sisil terus ku genggam kuat agar aku mampu berdiri tegar menghadapi kenyataan. Aku menatap Rey yang raut wajahnya nampak gugup. Pasti dia tak mampu memberitahu orangtuanya dengan pernikahan ini.
"Tunggu! Mereka siapa?" Mamanya menunjuk aku dan Sisil.
"Ma, mereka ...."
"Kami hanya membersihkan kamar ini!" sahutku dengan terus menahan bulir air mata. Aku menunduk karena sudah tak mampu lagi. "Kami keluar dulu!" Aku menarik tangan Sisil keluar kamar. Mengajaknya melangkahkan kaki lebar kemudian berlari keluar hotel.
Isak tangis ini langsung ku lepaskan saat kami sudah berada di luar. Aku mendongak menatap megahnya hotel ini dari luar.
"Kinan, apa yang sebenarnya terjadi?"
Aku langsung memeluknya erat dengan laju air mata tiada henti. "Aku sadar, aku tak pantas Sil! Aku tak pantas jadi istrinya!"
"Tunggu!" Sisil melepas pelukanku. "Ja-jadi Pak Reyhan itu suamimu?" Aku mengangguk seraya mengusap air mataku. "Ta-tapi kenapa orangtuanya tak mengetahui kamu istrinya?"
Aku menarik tangannya untuk berjalan menjauh dari hotel ini. Duduk di pinggir jalan ditemani dinginnya malam, menceritakan semua dari awal kami bertemu pada Sisil. Maaf, tak sepantasnya aku membeberkan pernikahan kita! Namun, tak sanggup rasanya untuk menanggung sendiri.
Sisil mencoba menyapu air mataku. "Lalu apa yang akan kamu lakukan sekarang?"
Aku menggelengkan kepala, tak tau harus bagaimana. Rasanya aku tertampar kenyataan. Impian memiliki suami pangeran ternyata sangatlah menyakitkan.
Aku lebih bahagia jika Rey seperti awal kami berkenalan. Menyebalkan, pengangguran dari pada harus mengetahui kenyataan yang tak sepadan.
"Yang pasti aku gak akan kerja disini lagi Sil!"
"Apa kita gak akan ketemu lagi Kinan?" tanya dengan raut wajah tak mengenakkan untuk dipandang. Ah, aku juga sedih membayangkannya. Dia teman yang menyenangkan, tak rela rasanya baru berkenalan lalu berjauhan.
Aku menggelengkan kepala. "Kita masih bisa kirim pesan atau teleponan," jawabku untuk menghibur keadaan.
"Ya bedalah Kinan." Sisil menunduk lesu. Aku memeluknya kembali.
"Ya udah, kita pulang. Ini udah malam." Sisil mengangguk.
Kami terdiam selama perjalanan seraya bergandengan tangan. "Sil, aku udah putusin, besok pagi aku mau pindah. Di kota ini mungkin bukan jalan rezekiku. Aku akan kembali ke rumah Ayahku. Hanya rumah itu peninggalan tersisa yang tak pernah aku jual."
Sisil meneteskan air matanya. "Kamu kok nangis?" godaku dengan membuang muka menghapus sudut mata yang ada sisa air di dalamnya.
"Kinan, kamu 'kan bisa cari pekerjaan lain disini banyak kok. Nanti aku bantu." Dia menghapus air mata dengan lengan bajunya.
"Bukan masalah itu, aku ngerasa memang bukan rezekiku aja. Lagian aku juga gak mau berurusan dengan pangeran pemilik kamar mewah itu lagi." Aku tertawa seraya terus menahan isak tangis.
"Tapi, Pak Reyhan sepertinya cinta sama kamu Kinan." Sisil berusaha menyakinkan.
"Aku sadar aku siapa Sil. Lebih baik kita mencari pasangan yang sepadan dari pada berharap dengan seorang pangeran. Ini sangat menyakitkan."
"Kinan jangan bicara seperti itu!" Aku memeluknya kembali. Mengeluarkan semua air mata ini di bahunya.
Banyak kendaraan yang lewat tapi tak kami hiraukan. Perjalanan kali ini memang sengaja kami lambatkan. Sampai terpisah karena arah jalan pulang yang berbeda.
"Kamu hati-hati Kinan, kalau sampai rumahmu sana, jangan lupa kabarin aku!" Aku mengangguk dengan memberi senyum tulus padanya.
"Kamu yang semangat kerjanya ya!" Kami melambaikan tangan. Oh, ini kenapa menambah kesedihan.
Aku berjalan seraya mendongak menatap langit malam yang penuh bintang. Aku memang kecil seperti kalian. Namun, bedanya kalian mampu bersinar dan serentak memberi keindahan malam. Sedangkan aku, hanya bintang redup yang hidup sendirian bermimpi untuk bersinar menerangi malam. Rasanya sangat tak mungkin ada harapan.
-
-
-
Sesampai rumah, aku langsung membereskan semua bajuku dan memasukkannya dalam koper. Waktu sudah larut malam. Ada setitik harapan semoga Rey pulang untuk memperjelas status penikahan ini. Jika memang orangtuanya menginginkan untuk dia bersanding dengan lawan yang sepadan setidaknya dia memberiku kejelasan.
Akan aku terima jika aku menjadi janda muda. Ini bukan hal yang memalukan. Ini hanya garis yang Tuhan telah takdirkan.
Aku membuka laci dan mengambil jam tangan mewah yang dulu dia berikan. Aku akan membawanya pulang. Tak akan ku jual. Biarlah ini satu-satunya kenangan.
Berusaha berbaring dan memejamkan mata dalam keadaan seperti ini sangatlah susah. Dada terasa sesak. Mata pun pasti bengkak. Hidung mampet. Kepala berputar-putar.
Aku mengehembuskan napas gusar. Oh tempat tidurku, bantulah aku untuk tertidur pulas dan bermimpi indah malam ini. Seperti indahnya malam pertama bersama Rey. Malam yang tak pernah aku lupakan dalam sejarah hidupku. Rey andai kamu tau, aku sudah mencintaimu.
🥺
🥺
🥺
🥺
🥺