NovelToon NovelToon
Fragmen Yang Tertinggal

Fragmen Yang Tertinggal

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Romansa / Enemy to Lovers / Cintapertama / Cinta Murni / Berbaikan
Popularitas:27
Nilai: 5
Nama Author: tanty rahayu bahari

​Di antara debu masa lalu dan dinginnya Jakarta, ada satu bangunan yang paling sulit direnovasi: Hati yang pernah patah.
​Lima tahun lalu, Kaluna Ayunindya melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya: meninggalkan Bara Adhitama—pria yang memujanya—dan cincin janji mereka di atas meja nakas tanpa sepatah kata pun penjelasan. Ia lari ke London, membawa rasa bersalah karena merasa tak pantas bersanding dengan pewaris tunggal Adhitama Group.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25: Pertaruhan di Meja Lelang

​Ballroom Hotel Dharmawangsa malam itu beraroma uang lama. Aroma kayu oak tua, cerutu Kuba, dan parfum yang tidak dijual di department store. Di sini, para konglomerat berkumpul bukan untuk pamer kekayaan, melainkan untuk menegaskan status.

​Di pintu masuk, petugas keamanan berjas rapi sempat menahan langkah sebuah pasangan yang tidak biasa.

​Seorang pria tampan berwajah pucat duduk di kursi roda, lengan kirinya digips besar, dan kemeja tuksedonya dimodifikasi dengan jahitan samping terbuka. Di belakangnya, seorang wanita cantik dengan gaun hitam sederhana namun elegan mendorong kursi roda itu dengan dagu terangkat.

​"Undangan atas nama Bara Adhitama," ucap Bara tenang, menyerahkan kartu undangan VVIP berwarna emas.

​Petugas memindai undangan itu. Lampu hijau menyala.

​"Silakan masuk, Pak Bara. Senang melihat Anda sudah pulih."

​Rian, yang mengekor di belakang membawa tas dokumen, menghela napas lega. "Hampir saja. Untung Pak Hamengku belum datang."

​Mereka masuk ke hall utama. Suasana hening dan khidmat, hanya terdengar suara ketukan palu lelang sesekali. Di depan, sebuah lukisan pemandangan karya pelukis maestro sedang diperebutkan di angka 5 Miliar Rupiah.

​"Cari posisi strategis. Jangan terlalu depan, jangan terlalu belakang," bisik Bara pada Kaluna.

​Kaluna mendorong kursi roda Bara ke sisi kiri ruangan, dekat dengan area pameran patung. Dari sini, mereka bisa melihat seluruh ruangan.

​"Itu dia," bisik Kaluna, menunjuk dengan lirikan mata.

​Di meja bundar paling depan, duduk seorang pria tua berambut putih panjang yang diikat rapi, mengenakan setelan jas berbahan tenun ikat. Wajahnya keras, penuh kerutan pengalaman. Di tangannya ada tongkat kayu berukir naga.

​Hamengku Kusumo (70 tahun). Sang Raja Properti Heritage.

​"Dia terlihat... mengintimidasi," gumam Kaluna gugup.

​"Dia memang begitu. Jangan gentar," Bara menepuk tangan Kaluna yang ada di pegangan kursi rodanya.

​Namun, sebelum mereka sempat menyusun rencana pendekatan, sebuah suara familiar yang memuakkan terdengar dari arah kanan.

​"Ya ampun. Lihat siapa yang datang mengemis."

​Siska Maheswari berdiri di sana, memegang gelas champagne. Ia mengenakan gaun perak yang menyilaukan. Di sampingnya berdiri ayahnya, Pak Maheswari, yang menatap Bara dengan tatapan meremehkan.

​"Bara," sapa Pak Maheswari dingin. "Saya dengar kamu menjual koleksi jam tanganmu pagi ini. Kasihan sekali. Apa Adhitama Group sudah semiskin itu sampai CEO-nya harus datang ke lelang dengan kursi roda untuk cari utangan?"

​Bara tersenyum tipis, senyum "hiu" yang tetap berbahaya meski sedang terluka.

​"Kesehatan bisa pulih, Pak Maheswari. Uang bisa dicari. Tapi harga diri yang hilang karena merusak karya seni orang lain..." Bara melirik Siska sekilas, "...itu permanen."

​Wajah Siska memerah padam. Insiden wine itu masih menjadi pembicaraan hangat.

​"Jangan sombong, Bara," desis Siska. "Tujuh hari lagi hotelmu jadi milikku. Nikmatilah sisa waktumu menjadi bos."

​"Kita lihat saja," balas Bara santai. "Kaluna, jalan."

​Kaluna mengangguk, mendorong Bara menjauh dari keluarga Maheswari, meninggalkan mereka yang menggeretakkan gigi.

​Lelang berlanjut ke item utama malam itu: Sebuah set gamelan kuno dari abad ke-18, peninggalan Keraton yang konon memiliki nilai sejarah tinggi.

​Juru lelang membuka harga: "Dua Miliar Rupiah."

​"Dua setengah," suara Pak Hamengku terdengar tenang, mengangkat paddle nomor 8.

​"Tiga Miliar!" seru seorang kolektor lain.

​"Empat Miliar," Pak Hamengku menaikkan lagi tanpa ragu.

​Sepertinya Pak Hamengku sangat menginginkan gamelan ini. Matanya berbinar menatap ukiran naga pada gong besar di panggung.

​Tiba-tiba, Siska mengangkat paddle-nya.

​"Lima Miliar."

​Semua orang menoleh. Siska tersenyum manis ke arah Pak Hamengku. Senyum menantang.

​Pak Hamengku mengerutkan kening. Ia tidak suka diganggu anak kemarin sore.

​"Lima setengah," tawar Pak Hamengku.

​"Enam Miliar," balas Siska cepat.

​Bara berbisik pada Kaluna, "Dia melakukan itu cuma buat pamer kekayaan di depan investor lain. Dia nggak ngerti nilai barang itu."

​"Tujuh Miliar!" Pak Hamengku mulai terlihat kesal.

​"Delapan Miliar," Siska tertawa kecil, menikmati permainan ini.

​Pak Hamengku membanting paddle-nya ke meja. Ia menyerah. Bukan karena tidak punya uang, tapi karena ia merasa terhina harus berebut dengan orang yang tidak menghargai barang.

​"Item jatuh ke tangan Ibu Siska Maheswari di angka Delapan Miliar! Ketuk palu!"

​Siska berdiri, melambaikan tangan seperti selebriti.

​Pak Hamengku terlihat murka. Ia berdiri, bersiap meninggalkan ruangan karena mood-nya rusak.

​"Sekarang, Kaluna!" perintah Bara. "Cegah dia sebelum keluar!"

​Kaluna segera mendorong kursi roda Bara memotong jalur keluar Pak Hamengku.

​"Selamat malam, Pak Hamengku," sapa Bara sopan, menghalangi jalan pria tua itu.

​Pak Hamengku berhenti, menatap Bara dari atas ke bawah. "Minggir, anak muda. Saya sedang tidak ingin bicara dengan siapa pun."

​"Saya tahu Bapak kecewa soal gamelan itu," ujar Bara cepat. "Sayang sekali. Padahal gamelan Kyai Naga Siluman itu pasangannya ada di museum Bapak di Solo, kan? Kalau disatukan, energinya akan lengkap."

​Alis tebal Pak Hamengku terangkat. "Kamu tahu soal itu?"

​"Arsitek saya yang tahu," Bara menunjuk Kaluna.

​Kaluna maju selangkah, menunduk hormat dengan gestur Jawa yang halus.

​"Sugeng dalu, Pak Hamengku," sapa Kaluna lembut. "Setahu saya, gamelan itu butuh perawatan khusus dengan minyak cendana setiap Malam Satu Suro agar suaranya tidak fals. Saya ragu pemilik barunya..." Kaluna melirik Siska yang sedang sibuk selfie dengan gong, "...paham cara merawatnya. Mungkin setahun lagi kayunya akan dimakan rayap."

​Pak Hamengku mendengus kasar. "Anak muda zaman sekarang cuma beli buat pajangan Instagram. Sampah."

​"Karena itu kami di sini, Pak," sambung Bara, memanfaatkan celah emosi itu. "Kami tidak menawarkan barang pajangan. Kami menawarkan tempat untuk menjaga jiwa."

​"Siapa kalian?" tanya Pak Hamengku curiga.

​"Bara Adhitama. Dan ini Kaluna Ayunindya, arsitek restorasi."

​"Adhitama? Oh, hotel yang sedang kena skandal itu?" Pak Hamengku tertawa sinis. "Yang katanya mau bangkrut?"

​"Berita itu setengah benar," jawab Bara tenang, meski jantungnya berpacu. "Kami memang sedang dijegal. Dana kami ditarik karena kami menolak menuruti selera investor lama yang ingin mengubah bangunan cagar budaya menjadi... diskotik emas."

​Kaluna menyodorkan iPad-nya yang menampilkan gambar rendering "The Royal Javanese Heritage".

​"Kami memilih mempertahankan sejarah, Pak," ujar Kaluna penuh passion. "Meski risikonya kami kehilangan dana. Kami ingin mengembalikan Hotel Menteng ke kejayaan Mataram-nya, bukan menjadikannya hotel kaca modern."

​Pak Hamengku melirik iPad itu sekilas. Awalnya acuh tak acuh, tapi matanya terpaku pada detail ukiran tembaga dan penggunaan kain lurik di dinding.

​"Ini... motif Truntum?" tanya Pak Hamengku, menunjuk layar.

​"Betul, Pak. Simbol cinta yang tumbuh kembali," jawab Kaluna. "Dan materialnya kami ambil langsung dari pengrajin di Kotagede dan Bantul. Bukan impor."

​Ekspresi Pak Hamengku berubah. Dari marah menjadi tertarik.

​"Kamu punya nyali juga, Adhitama," gumam Pak Hamengku. "Menolak uang Maheswari demi mempertahankan desain kuno ini?"

​"Uang bisa dicari, Pak. Tapi kehormatan menjaga warisan tidak bisa dibeli," jawab Bara mantap.

​"Klasik," cibir Pak Hamengku, tapi ada senyum tipis di bibirnya. "Lalu berapa yang kalian butuhkan untuk menyelamatkan 'jiwa' ini?"

​"250 Miliar. Tunai. Minggu ini," jawab Bara lugas.

​Pak Hamengku tertawa keras, membuat beberapa orang menoleh. "Kamu gila. Kamu minta saya melunasi utangmu ke Siska?"

​"Saya minta Bapak membeli saham mayoritas proyek ini. Bapak akan jadi pemilik utama. Hotel ini akan jadi galeri hidup Bapak. Bapak bisa memajang koleksi Bapak di sana, dirawat oleh tim konservasi kami, dan dinikmati tamu kelas dunia," tawar Bara. "Daripada koleksi Bapak berdebu di gudang, biarkan mereka hidup di Hotel Menteng."

​Tawaran itu sangat cerdas. Menyentuh ego dan passion Pak Hamengku sekaligus.

​Tiba-tiba, Siska dan ayahnya datang menghampiri, menyadari Bara sedang "mencuri start".

​"Pak Hamengku!" sapa Pak Maheswari lantang. "Jangan dengarkan anak ini. Dia penipu ulung. Perusahaannya sudah mau kolaps. Investasi di sana sama saja buang uang ke laut."

​"Betul, Eyang," tambah Siska manja. "Mending Eyang gabung sama proyek apartemen baru Papa."

​Pak Hamengku menatap Siska, lalu menatap gamelan yang baru saja dibeli wanita itu.

​"Nona Siska," suara Pak Hamengku berat dan berwibawa. "Kamu tahu bedanya kamu dan arsitek ini?"

​Siska bingung. "Apa?"

​"Arsitek ini..." Pak Hamengku menunjuk Kaluna, "...bicara soal merawat kayu agar tidak dimakan rayap. Sedangkan kamu..." Pak Hamengku menunjuk Siska, "...kamu bahkan tidak tahu kalau gamelan itu tidak boleh disentuh dengan tangan telanjang yang berminyak karena akan merusak lapisan perunggunya."

​Siska refleks menarik tangannya dari gong.

​"Orang yang tidak menghargai barang, tidak akan menghargai uang," putus Pak Hamengku tajam.

​Ia beralih menatap Bara.

​"Datang ke kantor saya besok jam 8 pagi. Jangan telat satu detik pun. Bawa proposal lengkapnya."

​Bara merasakan beban ribuan ton terangkat dari bahunya. "Terima kasih, Pak. Kami akan datang."

​"Dan kamu," Pak Hamengku menunjuk Kaluna. "Saya suka desainmu. Punya karakter. Jangan biarkan orang-orang kaya norak mengubahnya."

​"Siap, Pak," Kaluna tersenyum lebar, matanya berkaca-kaca.

​Pak Hamengku berbalik dan berjalan pergi dengan tongkatnya, meninggalkan Siska dan ayahnya yang melongo kaget.

​Bara menoleh pada Siska. Senyum kemenangan tipis terukir di wajahnya.

​"Sepertinya kamu akan kalah taruhan, Siska," ujar Bara pelan.

​"Jangan senang dulu!" bentak Siska histeris. "Dia belum tanda tangan! Besok aku akan pastikan dia berubah pikiran!"

​"Coba saja," tantang Bara. "Ayo, Kaluna. Kita pulang. Kita punya kerjaan lembur malam ini."

​Kaluna memutar kursi roda Bara, membawanya keluar dari ballroom dengan langkah ringan seolah sedang berjalan di atas awan.

​Di lobi hotel, saat menunggu mobil, Bara mendongak menatap Kaluna.

​"Kita berhasil," bisik Bara.

​"Belum," koreksi Kaluna. "Besok presentasi sesungguhnya. Tapi setidaknya... kita punya kesempatan."

​Bara meraih tangan Kaluna, mencium punggung tangannya lama.

​"Kamu luar biasa tadi. Motif Truntum? Serius?"

​Kaluna terkekeh. "Itu improvisasi. Tapi filosofinya benar, kan? Cinta yang tumbuh kembali."

​Bara tersenyum, matanya hangat. "Sangat benar."

​Malam itu, mereka pulang bukan sebagai pecundang, tapi sebagai petarung yang baru saja memenangkan ronde pertama melawan raksasa.

BERSAMBUNG....

Terima kasih telah membaca💞

Jangan lupa bantu like komen dan share❣️

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!