Saat Shima lyra senja seorang dokter berbakat di rumah sakit ternama, menemukan suaminya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri, dunianya hancur seketika.
Pengkhianatan itu tidak hanya merenggut pernikahannya, tapi juga rumah, nama baik, dan tempat untuk pulang.
Di titik terendah hidupnya, ia menerima tawaran tak masuk akal datang dari Arru Vance CEO miliarder dingin dengan aturan yang tidak bisa dilanggar. Pernikahan kontrak, tanpa cinta, tanpa perasaan. Hanya ada aturan.
Namun, semakin dekat ia dengan Arru, semakin ia sadar bahwa sisi dingin pria itu menyembunyikan rahasia berbahaya dan hati yang mampu merasakan semua yang selama ini ia rindukan.
Ketika pengkhianatan masa lalu kembali muncul dan skandal mengancam segalanya, Shima harus memilih: mengikuti aturan atau mempertaruhkan segalanya demi cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ziafan01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
APA KAU BAHAGIA SHIMA?
Gestur kecil itu ringan, nyaris tak terlihat justru menghantam Arya lebih keras dari apa pun.
Posesif. Tenang. Menang.
“Arya,” Laura mengeraskan suara. “Kamu dengerin aku, kan?”
“Kenapa dia nggak lihat aku?” ucap Arya tiba-tiba, suaranya rendah dan pecah.
Laura membeku. “Apa?”
“Dia nggak lihat aku, Laura.” Arya mengusap wajahnya kasar. “Sama sekali nggak.”
Laura tersenyum kaku. “Ya bagus dong. Itu artinya dia udah move on.”
“Bukan itu.” Arya menggeleng. “Dia bahagia.”
Kata itu terasa pahit di lidahnya.
Arya berdiri mendadak, membuat kursinya bergeser keras. Beberapa tamu menoleh. Laura ikut berdiri, panik.
“Kamu mau ke mana?” bisiknya tajam.
Arya tidak menjawab. Ia melangkah cepat, nyaris berlari, menyusuri sisi aula. Pandangannya terus mencari hingga ia melihat Shima berdiri di dekat jendela besar, bersama Arru yang sedang berbincang dengan rekan bisnis.
Kesempatan itu cukup.
“Arya, jangan!” Laura berbisik keras, tangannya menarik lengan Arya.
Arya menepisnya. “Lepasin.”
Langkahnya terhenti tepat di belakang Shima.
“Shima.”
Nama itu keluar begitu saja terlalu familiar, terlalu berani.
Shima menoleh. Sekejap saja. Senyumnya memudar tipis, berganti ekspresi tenang yang berjarak.
“Arya,” sapanya sopan. Dingin. “Ada apa?”
Nada itu resmi, tak berjejak masa lalu membuat kepala Arya berdenging.
“Kita perlu bicara,” katanya, suaranya bergetar. “Sebentar saja.”
Arru berhenti berbicara. Ia menoleh perlahan, menatap Arya dari ujung kepala sampai kaki. Tidak marah. Tidak terkejut. Hanya… dingin.
“Istriku sedang bersamaku,” ucap Arru datar. “Jika ada urusan, sampaikan di sini.”
Kata istriku membuat Arya kehilangan sisa kendalinya.
“Aku cuma mau bicara dengannya!” bentaknya, membuat beberapa tamu mulai melirik. “Kau nggak bisa terus mengurungnya seperti ini!”
Shima terkejut. “Arya...”
“Apa kau bahagia, Shima?” potong Arya, menatapnya putus asa. “Jawab aku. Kau benar-benar bahagia?”
Ruangan terasa menyempit. Musik latar tetap berjalan, tapi bagi mereka, dunia seolah berhenti.
Arru melangkah maju satu langkah. Cukup satu.
“Jaga nada bicaramu,” katanya rendah. “Kau sedang berbicara dengan istriku.”
Shima menarik napas dalam. Lalu, dengan suara yang tenang lebih kuat dari yang Arya duga ia berkata,
“Aku baik-baik saja, Arya. Tolong hormati ini.”
Itulah yang mematahkan Arya.
Bukan Arru. Bukan Laura. Tapi pilihan Shima yang berdiri di sana tegak, tenang, dan tidak lagi berpihak padanya.
Arya tertawa pendek, nyaris histeris. “Jadi begini akhirnya.”
Laura akhirnya tiba di belakangnya, wajahnya pucat. “Arya, ayo. Ini memalukan.”
Arya menoleh padanya dengan tatapan kosong. “Aku kehilangan dia.”
“Kamu nggak pernah memiliki dia sepenuhnya,” jawab Laura tajam lebih karena takut daripada marah.
Arru meraih tangan Shima, menggenggamnya erat. Bukan untuk pamer. Tapi untuk menegaskan.
“Kami mohon izin,” kata Arru singkat pada tamu di sekitar mereka, lalu menatap Arya sekali lagi. “Dan kau sebaiknya pergi sebelum kau menyesali kata-katamu sendiri.”
Arya tidak membalas. Ia hanya berdiri, terengah, menyadari satu hal yang tak bisa ia sangkal lagi:
Shima tidak diambil darinya.
Shima memilih pergi.
Dan di tengah aula mewah itu, dengan lampu dan tawa yang masih berkilau, Arya kalah telak, tanpa sisa harga diri.
Arya akhirnya kembali mendekat, kali ini dengan wajah yang berusaha ditata ulang lebih tenang, lebih sopan, meski matanya masih menyimpan bara yang belum padam. Ia berdiri di hadapan Shima, mengangkat tangannya perlahan.
“Selamat, Shima,” ucapnya pelan. “Semoga bahagia.”
Refleks, Shima hendak membalas uluran tangan itu. Namun sebelum jarinya sempat menyentuh kulit Arya. Arru bergerak lebih cepat. Tangan Arru menyela di udara, menggantikan posisi Shima. Genggamannya tegas saat menyambut tangan Arya, sementara tangan satunya tetap berada di pinggang Shima, seolah menegaskan batas yang tak bisa ditembus.
“Terima kasih,” kata Arru tenang. “Ucapanmu kami terima.”
Nada suaranya sopan. Tapi dingin dan jelas cukup sampai di sini.
Arya menarik tangannya perlahan. Rahangnya mengeras, matanya turun sesaat bukan pada Arru, melainkan pada tangan Arru yang masih melingkar di pinggang Shima.
Di saat ketegangan itu mengental, Laura melangkah maju dengan senyum yang dipaksakan terlalu manis.
“Shima…” katanya hangat palsu. “Kamu kelihatan luar biasa. Aku hampir nggak ngenalin kamu.”
Tanpa menunggu jawaban, Laura memeluk Shima. Pelukannya ringan, tapi bisikannya tajam seperti duri yang diselipkan di balik bunga.
“Menikah dengan pria seperti dia,” bisik Laura di telinga Shima, suaranya rendah dan licin.
“Pasti berat ya… hidup di bawah bayang-bayang seseorang yang ingin memiliki segalanya. Termasuk kamu.”
Shima tidak menegang. Tidak pula menjauh. Ia tetap membalas pelukan itu seperlunya, lalu berbisik balik suaranya lembut, nyaris ramah.
“Lebih berat hidup bertahun-tahun,” balas Shima tenang,
“bersama orang-orang yang pura-pura dekat tapi diam-diam berharap aku gagal.”
Laura tersenyum membeku.
Shima melepaskan pelukan lebih dulu, menatap Laura dengan sorot mata jernih tanpa dendam, tanpa emosi berlebihan. Hanya kepastian.
“Terima kasih sudah datang,” lanjut Shima sopan. “Semoga kamu juga menemukan kebahagiaan… yang tidak perlu dibandingkan dengan hidup orang lain.”
Arru mengamati semuanya tanpa ikut campur. Tapi ketika Laura mundur dan Arya kembali melirik Shima, sorot mata Arru berubah.
Ia mengangkat dagunya sedikit.
Isyarat kecil.
Ethan, yang sejak tadi berdiri tidak jauh, langsung menangkap kode itu. Ia melangkah maju dengan senyum profesional.
“Tuan Arya, Nona Laura,” ucap Ethan ramah. “Terima kasih atas kehadirannya di resepsi Tuan dan Nyonya Vance. Kami sudah menyiapkan kendaraan untuk mengantar Anda pulang dengan nyaman.”
Laura terkejut. “Oh… sekarang?”
“Ya,” jawab Ethan tetap sopan. “Agar tamu lain bisa menikmati acara tanpa gangguan.”
Arya hendak protes, tapi Arru lebih dulu bicara nada suaranya datar, tak meninggi, tapi mematikan.
“Ini hari bahagia kami,” kata Arru. “Aku ingin semua orang di ruangan ini merasa nyaman.”
Tatapannya mengunci Arya.
“Termasuk istriku.”
Tak ada lagi yang bisa dibantah.
Laura menarik lengan Arya, senyumnya kembali terpasang kali ini lebih kaku. “Ayo,” bisiknya kesal. “Kita pergi.”
Saat mereka berbalik meninggalkan aula, Arru menunduk sedikit ke arah Shima.
“Kau baik-baik saja?” tanyanya rendah.
Shima mengangguk. “Aku baik.”
Arru menggenggam tangannya lebih erat.
Bukan posesif kali ini melainkan deklarasi sunyi Ia aman, ia dipilih dan malam itu, tak seorang pun berhak mengusiknya.
Mobil melaju meninggalkan gedung resepsi yang masih dipenuhi cahaya dan tawa. Dari balik kaca jendela, kilau lampu kristal itu perlahan menjauh, hingga akhirnya hanya menjadi titik-titik cahaya yang menghilang di tikungan jalan.
Laura menyandarkan punggungnya, tapi matanya tetap terbuka tajam, tak berkedip.
Tangannya mengepal di pangkuan.
“Kenapa harus dia?” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.
Arya menyetir dalam diam. Rahangnya mengeras sejak mereka meninggalkan aula. Suasana di dalam mobil terasa pengap, bukan karena udara, melainkan karena emosi yang tak diucapkan.
Laura tertawa kecil. Bukan tawa bahagia melainkan getir.
“Shima Lyra Senja,” ucapnya perlahan, seolah menyebut nama itu saja sudah cukup membuat dadanya terbakar.
“Dokter yang dulu bahkan nyaris kehilangan segalanya… sekarang jadi Nyonya Vance.”
Arya menekan rem sedikit lebih keras dari perlu. “Sudah cukup, Laura.”
“Cukup?” Laura menoleh tajam. “Kau lihat caranya dia berdiri di samping Arru? Seolah dia pantas memiliki semuanya.”
ketawa aja kalian sekarang sepuasnya, sebelum ketawa itu hilang dr mulut kalian.
OOO tentu tidak... dia bakal semakin kaya.
mending bergerak, selidiki Arya sama Laura.