Firman (22) punya satu prinsip dalam hidupnya: "Jangan pernah berharap sama manusia, maka kamu tidak akan kecewa." Pengkhianatan di masa lalu mengubahnya menjadi jurnalis yang dingin dan skeptis terhadap komitmen. Baginya, cinta adalah variabel yang tidak rasional.
Di sebuah lapangan badminton di Samarinda, ia bertemu Yasmin (22). Seorang dokter muda yang lembut namun memiliki tembok yang sama tingginya dengan Firman. Yasmin adalah ahli dalam mengobati fisik, tapi ia sendiri gagal menyembuhkan luka akibat ditinggalkan tanpa penjelasan.
Mereka tidak menjanjikan selamanya. Mereka hanya sepakat untuk berada di "level" yang sama sebagai teman diskusi, teman batin, namun tanpa ikatan yang mencekik. Namun, ketika masa lalu mulai kembali menagih janji dan jarak antar kota (Bontang hingga Labuan Bajo) mulai menguji, mampukah mereka tetap di level yang aman? Ataukah mereka harus memilih: Berhenti sebelum terluka, atau berani hancur demi satu kesempatan bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17: SURABAYA DAN DINDING KACA
Surabaya hari itu tidak pernah ramah soal suhu. Matahari di Kota Pahlawan seolah menggantung tepat di atas kepala, membakar aspal Jalan Mayjen Jonosewojo dengan panas yang menyengat. Namun, bagi Firman, panasnya Surabaya masih kalah telak dengan kekosongan yang ia rasakan di dadanya selama satu bulan terakhir.
Ia berdiri di depan gedung megah Rumah Sakit Medika Utama yang baru saja diresmikan. Gedung bertingkat sepuluh dengan desain kaca modern itu berkilau menyilaukan. Firman merapikan kemeja hitamnya yang sedikit kusut akibat perjalanan dari bandara. Di lehernya, kartu pers "Jurnalis Investigatif Nasional" menggantung berat, sebuah medali atas keberhasilannya membongkar skandal korupsi medis di Samarinda sebulan lalu.
Namanya harum. Ia diundang secara khusus untuk meliput pembukaan rumah sakit ini sebagai bentuk apresiasi. Namun, Firman tahu alasan sebenarnya ia menerima tugas ini.
Bukan karena berita. Tapi karena sebuah nama yang tertera di daftar staf medis unggulan rumah sakit ini: dr. Yasmin Paramitha, Sp.An.
"Man, lo yakin nggak mau minum dulu? Muka lo pucat banget, kayak orang mau pingsan di tengah red carpet," tegur Rendy yang ikut serta sebagai fotografer. Rendy sudah menjadi bayangan Firman sejak insiden di dermaga Samarinda.
Firman hanya menggeleng pelan, matanya menyisir kerumunan dokter dan tamu VIP di lobi utama. "Gue nggak apa-apa, Ren. Siapkan kamera lo. Kita di sini buat kerja."
"Kerja atau mau jemput yang tertinggal?" Rendy menyeringai kecil, namun segera diam saat melihat tatapan tajam Firman.
Mereka melangkah masuk ke dalam lobi yang ber-AC dingin. Aroma antiseptik yang bercampur dengan wangi bunga ucapan memenuhi ruangan. Firman merasa déjà vu. Setiap sudut rumah sakit ini mengingatkannya pada lorong-lorong di Samarinda, tempat ia dan Yasmin pernah saling berbagi diam dan luka.
Acara dimulai. Pidato demi pidato mengalir, namun telinga Firman hanya menangkap desis AC. Sampai akhirnya, pembawa acara menyebutkan jajaran kepala departemen.
"Dan sebagai Kepala Unit Gawat Darurat sekaligus pakar Anestesiologi kita, dr. Yasmin Paramitha."
Jantung Firman berdegup kencang, sebuah sensasi fisik yang selama sebulan ini ia coba tekan dengan kerja keras tanpa henti. Dari balik tirai panggung, Yasmin muncul. Ia mengenakan jas putih yang sangat rapi, rambutnya disanggul modern, dan wajahnya dipulas makeup tipis yang membuatnya tampak jauh lebih dewasa dan berwibawa daripada saat di Samarinda.
Ia tampak... sangat sempurna. Sangat bahagia. Dan sangat jauh.
Firman mengangkat kameranya, bukan untuk mengambil gambar untuk berita, tapi hanya untuk melihat Yasmin melalui lensa. Ia melihat Yasmin tersenyum senyum profesional yang sempurna saat bersalaman dengan para pejabat. Tidak ada jejak air mata dari malam di dermaga itu. Tidak ada jejak kerapuhan.
Setelah acara formal selesai, sesi ramah tamah dimulai. Firman berjalan perlahan menembus kerumunan, langkahnya terasa berat seperti diseret magnet. Ia melihat Yasmin sedang berbincang dengan seorang pria. Pria itu tinggi, mengenakan jas dokter dengan bordiran nama dr. Aris, Sp.B. Pria itu tampak sangat akrab, tangannya sesekali menyentuh lengan Yasmin saat tertawa, dan Yasmin... ia tidak menghindar.
Darah Firman mendidih. Sebuah perasaan yang sudah lama ia lupakan cemburu yang primitif merayap naik.
"Dokter Yasmin, selamat atas posisi barunya," suara Firman terdengar rendah namun tegas saat ia sampai di hadapan mereka.
Yasmin berhenti tertawa. Ia menoleh. Untuk sepersekian detik, Firman melihat ada kilatan emosi di mata jernih itu kaget, rindu, dan sakit yang berpadu menjadi satu. Namun, dalam sekejap mata, Yasmin kembali memasang topeng profesionalnya yang dingin.
"Terima kasih," jawab Yasmin pendek. Ia menatap kartu pers di leher Firman. "Selamat juga untuk Anda, Pak Firmansah. Saya dengar investigasi Anda menjadi rujukan nasional sekarang."
Pak Firmansah.
Panggilan itu seperti pisau yang mengiris sisa-sisa harapan Firman. "Hanya Firmansah, Yas. Kamu tahu itu," ucap Firman, mencoba mencari celah di dinding kaca yang baru saja Yasmin bangun.
"Oh, kenalkan, ini dr. Aris, rekan senior saya di sini. Aris, ini Firmansah, jurnalis yang menangani kasus saya di Samarinda dulu," Yasmin memperkenalkan mereka dengan nada yang sangat datar, seolah Firman hanyalah sekelibat masa lalu yang tidak lagi penting.
Aris mengulurkan tangan dengan senyum yang tampak tulus namun terasa kompetitif di mata Firman. "Aris. Saya banyak dengar soal keberanian Anda, Bung Firman. Terima kasih sudah membantu Yasmin melewati masa sulitnya di sana."
Kalimat itu membantu Yasmin melewati masa sulitnya terdengar seolah Aris-lah yang sekarang berhak atas Yasmin, dan Firman hanyalah penolong sementara yang sudah habis masa tugasnya.
"Saya melakukan apa yang harus dilakukan oleh seorang... teman level," sahut Firman sengaja menekankan dua kata terakhir.
Yasmin sedikit tersentak, namun ia segera mengalihkan pandangan. "Maaf, kami harus segera kembali ke ruang rapat koordinasi. Banyak hal yang harus dipersiapkan untuk operasional besok. Mari, Aris."
Tanpa menunggu balasan Firman, Yasmin berjalan pergi diikuti oleh Aris. Firman mematung di tengah lobi. Ia merasa seperti orang asing di hidup seseorang yang pernah memeluknya di tengah badai.
Malam Harinya, di Sebuah Kedai Kopi Dekat Hotel.
Firman duduk sendirian, menatap layar laptopnya yang menampilkan draf berita pembukaan rumah sakit. Namun, jarinya tidak bergerak. Pikirannya terus berputar pada sosok Dr. Aris.
"Man, lo nggak bisa begini terus," Rendy datang membawa dua botol minuman dingin dan duduk di depannya. "Gue sudah tanya-tanya sama staf administrasi tadi. Dokter Aris itu masa lalu Yasmin saat mereka masih residen di Surabaya. Katanya, Aris itu cinta pertama Yasmin sebelum 'masalah' itu terjadi. Aris yang dulu nggak berani belain Yasmin, dan sekarang dia mencoba menebus dosanya dengan narik Yasmin ke rumah sakit ini."
Firman mengepalkan tangannya. "Jadi, dia kembali ke Surabaya bukan karena ingin mulai lagi, tapi karena ingin kembali ke masa lalu yang 'aman'?"
"Mungkin. Tapi lo lihat sendiri kan cara Yasmin mandang dia? Itu bukan pandangan orang benci, Man. Itu pandangan orang yang sedang mencoba untuk nyaman kembali," Rendy menepuk bahu Firman. "Mungkin 'Teman Level' lo itu memang sudah selesai masanya."
"Nggak," Firman menutup laptopnya dengan keras. "Level itu belum selesai kalau saya belum bilang selesai. Yasmin pergi karena dia pikir dia beban buat saya. Dia nggak tahu kalau dialah pokoknya hidup saya sekarang."
"Terus lo mau gimana? Mau labrak Aris di depan pasien?"
"Saya jurnalis, Ren. Saya akan mencari tahu kenapa Aris mendadak jadi 'pahlawan' sekarang. Seseorang yang dulu nggak berani belain Yasmin nggak mungkin mendadak jadi berani tanpa ada motif lain," insting investigasi Firman mulai bekerja kembali. Ia tidak akan menyerah begitu saja. Jika ini adalah slow burn, maka ia siap untuk terbakar pelan-pelan asalkan akhirnya ia bisa membawa Yasmin pulang.
Keesokan Harinya, di RS Medika Utama.
Firman kembali ke rumah sakit dengan alasan "meliput hari pertama operasional". Ia berdiri di depan meja resepsionis IGD, tempat Yasmin bertugas. Ia melihat Yasmin sedang menangani pasien kecelakaan. Gerakannya sangat cekatan, suaranya lantang saat memberikan instruksi kepada perawat.
Namun, di sela-sela kesibukan itu, Firman melihat Yasmin sempat terdiam di sudut ruangan, memegang dadanya seolah sedang menahan sesak. Firman tahu tanda itu. Itu adalah tanda anxiety yang sering muncul saat Yasmin merasa terlalu tertekan.
"Dokter Yasmin, Anda perlu bantuan?" Firman mendekat saat ruangan mulai sedikit tenang.
Yasmin tersentak, wajahnya tampak lelah. "Anda lagi? Bukannya tugas peliputan Anda sudah selesai?"
"Saya sedang menulis fitur tentang tekanan kerja dokter IGD. Dan saya melihat Anda sedang tidak baik-baik saja," Firman memberikan sebotol air mineral yang ia bawa.
Yasmin menatap botol itu, lalu menatap Firman. "Saya baik-baik saja, Pak Firmansah. Tolong jangan campuri urusan medis saya dengan insting jurnalisme Anda."
"Yasmin, berhenti berakting di depan saya," suara Firman melunak, sangat lembut hingga hanya Yasmin yang bisa mendengarnya. "Kamu bisa membohongi Aris, kamu bisa membohongi direktur rumah sakit ini, tapi kamu nggak bisa bohongi saya. Saya tahu detak jantung kamu sekarang lagi nggak stabil."
Mata Yasmin berkaca-kaca sejenak, namun ia segera menghapusnya dengan kasar. "Pergilah, Firman. Pulanglah ke Samarinda. Di sini bukan tempatmu. Di sini adalah dunia saya yang sebenarnya. Dunia yang penuh dengan tuntutan dan kesempurnaan. Kamu hanya akan terluka kalau tetap di sini."
"Saya sudah terbiasa terluka, Yas. Luka karena kecelakaan di Nagreg saja saya masih hidup, apalagi cuma luka karena ditolak kamu," Firman melangkah satu langkah lebih dekat. "Saya di sini bukan sebagai jurnalis. Saya di sini sebagai orang yang butuh jawaban: Kenapa stetoskop kamu ditinggal di samping bantal saya kalau kamu berniat melupakan saya selamanya?"
Yasmin terdiam. Pertanyaan itu adalah serangan yang paling telak. Ia tidak bisa menjawab.
Tiba-tiba, suara Aris terdengar dari arah belakang. "Yasmin? Ada masalah? Kenapa jurnalis ini masih di sini mengganggu jam kerja kamu?"
Aris berdiri dengan wajah tidak senang, ia meletakkan tangannya di bahu Yasmin sebuah gerakan protektif yang membuat Firman ingin sekali memukulnya.
"Bung Aris, saya hanya sedang menagih janji wawancara eksklusif," kilah Firman dengan cepat, matanya menatap tajam ke arah tangan Aris yang ada di bahu Yasmin.
"Lain kali saja. Dokter Yasmin sangat sibuk," Aris mencoba menuntun Yasmin pergi.
Sebelum mereka menjauh, Firman berbisik cukup keras. "Level 3 itu masih berlaku, Yas. Dan saya akan pastikan saya naik ke Level 4 sebelum saya meninggalkan Surabaya."
Yasmin berhenti sejenak, tubuhnya kaku, namun ia terus berjalan mengikuti Aris.
Malam itu, Firman berdiri di balkon hotelnya, menatap kerlap-kerlip lampu Surabaya. Di tangannya, ia memegang stetoskop Yasmin yang selalu ia bawa ke mana pun.
Ia menyadari bahwa perjuangan di Surabaya akan jauh lebih berat daripada di Samarinda. Di sini, Yasmin dikelilingi oleh masa lalunya yang tampak manis namun beracun. Aris adalah rival yang sulit karena ia memiliki sejarah yang tidak dimiliki Firman.
Namun, Firman tersenyum tipis. Ia teringat satu hal yang ia temukan saat mengecek latar belakang RS Medika Utama di database kantornya.
"Jadi... Aris adalah anak dari pemilik saham terbesar rumah sakit ini? Menarik," gumam Firman. "Mari kita lihat, apakah cinta pertamanya itu murni, atau hanya bagian dari strategi bisnis ayahnya untuk menutupi skandal lama yang belum tuntas."
Firman membuka laptopnya. Babak baru pengejaran cintanya sekaligus investigasinya baru saja dimulai. Ia tidak akan menjadi "Teman Level" yang pasif lagi. Kali ini, ia akan menjadi "Smiling Killer" yang sesungguhnya tersenyum di depan lawan, tapi menghancurkan segala kebohongan yang menghalangi jalannya menuju Yasmin.
Firman menemukan fakta bahwa Aris sengaja menarik Yasmin ke Surabaya untuk menjadikannya 'kambing hitam' kedua dalam sebuah kasus malpraktik baru yang sedang disembunyikan oleh pihak rumah sakit. Yasmin tidak menyadari bahwa Aris sedang menjebaknya kembali ke dalam lubang yang sama. Akankah Firman memberitahu Yasmin sekarang, atau dia akan mengumpulkan bukti lebih banyak dan membiarkan Aris merasa menang untuk sementara? Dan apa yang akan dilakukan Yasmin saat Firman tiba-tiba menghilang selama beberapa hari dari jangkauannya?