Bagaimana jadinya jika seorang wanita yang dulunya selalu diabaikan suaminya bereinkarnasi kembali kemasalalu untuk mengubah nasibnya agar tidak berakhir tragis. jika ingin tau kelanjutannya ikuti cerita nya,,!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon clara_yang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Udara di dalam gudang tua itu bergetar, dipenuhi aroma karat, oli, dan debu yang mengendap bertahun-tahun. Lampu gantung bergoyang, menimbulkan bayangan cacat yang menari liar di dinding rusak. Suara nafas berat dan langkah yang saling mengitari memenuhi ruang gelap itu—seakan seluruh bangunan menahan napas, menunggu siapa yang akan runtuh terlebih dahulu.
Kenny berdiri tegak, meski tubuhnya sudah babak belur. Wajahnya penuh goresan, sudut bibirnya berdarah, dan napasnya pendek-pendek seperti paru-parunya tak lagi bekerja normal. Namun matanya… mata itu menyala dengan satu hal yang bahkan kematian pun tak sanggup padamkan: keinginan untuk mengambil kembali wanita yang ia cintai.
Di depannya, pria penculik itu—bertubuh tinggi, rahang tajam, dan mata liar yang selalu menyimpan senyum miring—berdiri sambil memutar batang besi yang ia genggam seperti mainan. “Kau datang sendirian,” katanya, suaranya seperti serpihan kaca. “Luar biasa. Kau benar-benar bodoh… atau benar-benar mencintai wanita itu.”
Kenny tidak membalas. Ia hanya menggenggam kuat besi pendek yang ia ambil dari lantai. Suaranya pecah ketika ia berkata, “Di mana Keyla?”
Penculik itu tertawa pelan. “Sudah kau ambil, kan? Temanmu itu… Reno.” Lalu tatapannya merendah, licin. “Sayang, ya. Aku lebih suka kalau kau datang terlambat.”
Kenny tak menunggu lagi. Ia menyerang.
Tabrakan tubuh mereka menghasilkan gema logam yang memantul ke seluruh ruangan. Besi menghantam besi, suara keras menyayat udara. Kenny menghajar pria itu dengan tenaga penuh, tapi lawannya tidak kalah cepat. Penculik itu membalas pukulan dengan brutal, menghantam perut dan rahang Kenny bertubi-tubi. Tubuh Kenny beberapa kali terhuyung—tapi tidak pernah jatuh.
Karena di luar gudang itu, Keyla sedang dibawa menjauh. Diselamatkan.
Dan seluruh dunia Kenny hanya berputar pada satu hal: memastikan wanita itu tetap hidup.
---
Di sisi lain gudang, Reno memapah tubuh Keyla yang setengah pingsan. Nafasnya tersengal saat ia memapah wanita itu melewati lorong-lorong sempit yang remang.
“Bertahan sedikit lagi, Keyla…” Reno mendesis, meski dirinya sendiri pincang akibat luka di paha. “Kenny sudah di dalam. Fokusku hanya satu: bawa kamu keluar.”
Keyla, dengan wajah pucat dan mata berkaca-kaca, berusaha mengangguk. “K… Kenny… dia… sendirian…”
“Aku tahu,” jawab Reno, getir. “Tapi itu Kenny. Dia akan bertahan. Kau harus percaya itu.”
Suara logam beradu dari dalam gudang membuat mereka berdua menoleh sejenak. Dengan sisa tenaga, Reno menarik Keyla lagi dan membuka pintu belakang gudang yang berkarat. Angin malam segar menerpa wajah mereka.
Begitu Keyla melangkah keluar, Reno langsung meraih ponselnya dan menekan tombol panggilan grup untuk seluruh anak buah Kenny.
Suara bergetar ketika ia berkata, “Semua unit, dengar. Kami telah menemukan lokasi. Kirim tim medis dan pasukan penuh ke koordinat yang terkirim. Ini darurat. Kenny butuh backup sekarang juga.”
Tanpa menunggu respon, ia mendekap Keyla yang hampir jatuh. “Kamu aman sekarang,” ujarnya, meski hatinya sendiri tak yakin apakah kalimat itu benar sebelum ia melihat Kenny keluar dari tempat itu.
---
Di dalam gudang, Kenny sudah kehilangan hitungan berapa kali ia dihantam. Darahnya menetes dari dahi ke lantai. Namun ia tetap bergerak.
Penculik itu memaksanya mundur. “Untuk laki-laki yang biasa memberi perintah, kau ternyata mudah dipatahkan.”
Kenny tersenyum hambar, darah mengalir ke giginya. “Aku tidak butuh menjadi kuat. Aku hanya butuh cukup kuat… untuk menjatuhkanmu.”
Ia melompat maju dan menghantamkan besi ke bahu lawan dengan suara keras. Penculik itu terhuyung, tangannya mati rasa. Kenny melanjutkan dengan pukulan ke wajah, lalu siku ke dada. Saat lawannya tersungkur, Kenny menendangnya ke dinding hingga besinya terjatuh.
“Berhenti,” Kenny mendesis, suaranya rendah dan penuh kemarahan yang ditahan. “Permainan ini selesai.”
Penculik itu tertawa, meski darah mengalir dari bibirnya. “Selesai? Kau percaya itu?” Tatapannya naik perlahan—dan di mata pria itu, ada sesuatu yang membuat bulu kuduk Kenny berdiri. “Kau pikir aku melakukan semua ini… untuk apa? Karena aku butuh uangmu? Aku butuh dendam? Tidak. Aku lakukan semua ini… karena perintah.”
Tatapan Kenny mengeras. “Perintah siapa?”
Penculik itu justru tersenyum lebih lebar, seolah menikmati ekspresi kayu bakar yang baru akan menyala. “Kalau aku bilang, kau akan mati lebih cepat.”
Kenny tak sempat merespon. Ia mengayunkan besinya satu kali lagi—keras. Penculik itu terhempas dan tubuhnya kehilangan daya. Besi di tangan pria itu terjatuh, membentur lantai dengan suara nyaring.
Akhirnya.
Kenny berdiri, terengah, dunia berputar di sekelilingnya. Kakinya gemetar dan lututnya hampir menyerah. Namun ia tidak peduli.
Keyla sudah aman di luar. Reno membawanya.
Anak buahnya sedang menuju lokasi.
Hanya satu hal tersisa—
Suara gesekan kecil terdengar.
Dalam sepersekian detik, Kenny menoleh.
Terlambat.
Penculik itu—meski hampir tak bergerak—mengangkat tangan kirinya yang semenjak awal tak diperhitungkan. Di sana, ada pisau kecil, tipis, panjang, yang selama ini ia sembunyikan di balik punggungnya.
Pisau itu melesat ke depan.
Dan sebelum Kenny sempat mundur, bilah itu menembus perutnya.
Dunia Kenny berhenti.
Udara keluar dari paru-parunya seperti seseorang meremasnya dari dalam. Rasa panas, tajam, dan dingin bercampur aneh di perutnya. Ia memandang ke bawah dan melihat darahnya mengalir cepat, membasahi baju dan jatuh ke lantai.
Penculik itu berbisik serak, “Katamu tadi… permainan sudah selesai. Tapi ternyata… kau yang kalah.”
Kenny memukul balik dengan tenaga terakhirnya. Satu pukulan keras mendarat di rahang pria itu, membuatnya terkapar tak sadarkan diri. Pisau tertarik keluar setengah inci ketika tubuh penculik itu jatuh—dan itu justru memperparah pendarahan.
Kenny terhuyung. Kakinya lemas.
Pandangannya kabur.
Udara terasa kental.
Ia mencoba mengambil langkah ke arah pintu. Satu langkah. Dua langkah.
Setiap gerakan membuat darah memancar dari lukanya.
“Aku… harus keluar…” gumamnya, suaranya tidak lagi terdengar seperti dirinya sendiri. “Keyla… aku harus… ke dia…”
Namun tubuhnya tak mau mengikuti perintah. Tangan kirinya menekan luka, tapi darah tetap merembes tanpa henti, mengalir di sela jarinya.
Dunia menjadi semakin gelap.
Bayangan dinding bergeser.
Suara jauh—mungkin teriakan seseorang dari luar—tidak bisa ia tangkap dengan jelas.
Ia mencoba memikirkan wajah Keyla.
Senyumnya.
Cara gadis itu memanggil namanya dengan nada marah saat kesal. Cara Keyla tertawa pelan ketika ia pura-pura cool padahal gelisah. Cara gadis itu memeluknya erat setiap merasa takut.
Nama itu.
Keyla.
Istrinya.
Ia berusaha melangkah lagi, tapi lututnya goyah.
Lantai dingin menyambutnya saat ia jatuh berlutut.
“Keyla…” bibirnya bergerak tanpa suara.
Gelap menggulung dari sudut pandangan, merayap cepat seperti tinta hitam yang ditumpahkan ke air.
Ia merasakan tubuhnya miring.
Dan tepat sebelum semuanya lenyap, ia sempat memikirkan satu hal terakhir:
Kalau aku mati di sini… siapa yang akan melindungi dia?
Tubuh Kenny ambruk sepenuhnya.
Kesadaran terakhirnya hanyut dalam kegelapan yang menelan segalanya.
---
Di luar gudang, suara sirine kendaraan anak buah Kenny mulai terdengar mendekat. Reno menoleh panik, memegang kedua bahu Keyla yang baru sadar setengah.
“Keyla… jangan masuk! Tetap di sini! Kenny sedang—”
Tapi Keyla tidak mendengar.
Atau tepatnya… tidak mau mendengar.
Ia berdiri dengan tubuh gemetar, air mata memenuhi wajahnya.
Di kejauhan, dalam suara angin dan batu yang bergulir, ia merasa mendengar sesuatu.
Suara tubuh jatuh.
Suara yang ia kenal.
“K… Kenny?” bisiknya.
Dan malam itu, dunia yang sudah kacau… akhirnya runtuh sepenuhnya.