"Jika ada kesempatan kedua, maka aku akan mencintai mu dengan sepenuh hatiku." Kezia Laurenza Hermansyah.
"Jika aku punya kesempatan kedua, aku akan melepaskan dirimu, Zia. Aku akan membebaskan dirimu dari belengu cinta yang ku buat." Yunanda Masahi Leir.
Zia. Cintanya di tolak oleh pria yang dia sukai. Malam penolakan itu, dia malah melakukan kesalahan yang fatal bersama pria cacat yang duduk di atas kursi roda. Malangnya, kesalahan itu membuat Zia terjebak bersama pria yang tidak dia sukai. Sampai-sampai, dia harus melahirkan anak si pria gara-gara kesalahan satu malam tersebut.
Lalu, kesempatan kedua itu datang. Bagaimana akhirnya? Apakah kisah Zia akan berubah? Akankah kesalahan yang sama Zia lakukan? Atau malah sebaliknya.
Yuk! Ikuti kisah Zia di sini. Di I Love You my husband. Masih banyak kejutan yang akan terjadi dengan kehidupan Zia. Sayang jika dilewatkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#25
Begitulah penjelasan Yunan panjang lebar dengan penuh perasaan. Lalu, secara halus pula dia menolak niat orang tua Zia yang ingin datang buat menjemput putri mereka.
Penolakan halus itu akhirnya membuahkan hasil. Orang tua Zia yang tidak ingin atasan anaknya merasa tidak nyaman, memilih untuk mempercayakan Zia pada pria asing yang sedang mengaku sebagai bos dari si anak.
"Baiklah kalau begitu, nak Yunan. Kami titip putri kamu sama kamu, Nak."
"Iy-- iya tante. Akan saya jaga dengan baik."
Yunan menghembuskan napas lega secara perlahan ketika panggilan via telepon itu berakhir. Sungguh, bicara beberapa patah kata saja sudah membuatnya seolah kehilangan separuh tenaga. Sangat jauh berbeda dengan dirinya yang bicara panjang lebar ketika bertemu klien.
Singkatnya, bicara dengan orang tua Zia lebih mendebarkan dari pada bicara dengan klien penting. Begitulah yang sedang Yunan rasakan tadi malam. Namun, tentu saja hal itu tidak akan pernah dia ceritakan pada Zia. Cerita tentang tadi malam, hanya sebatas mama Zia yang telah mengizinkan Zia tinggal di vila nya saja.
"Ya ... begitulah," ucap Yunan setelah ceritanya tentang tadi malam, berakhir.
"Ah. Jadi, tadi malam, mama ku menghubungi kak Yunan?"
"Hm."
"Ah, iya. Tunggu sebentar. Aku minta bi Rina buat bikin sarapan buat kamu."
Yunan pun berniat untuk bergerak. Namun, baru bergerak sedikit, dia malah membatalkan niatnya. "Itu ... selama menunggu sarapan yang bi Rina buat, sebaiknya, kamu mandi. Ada handuk di atas meja. Juga ... baju di sampingnya."
Zia melihat ke mana mata Yunan sedang mengarahkan pandangan. Ya, di sudut kamar itu ada meja kecil. Di atasnya ada handuk dan paper bag.
"Baiklah. Terima kasih banyak, kak Yunan."
Yunan tidak lagi menjawab. Dia langsung beranjak setelah menatap Zia sesaat. Sementara itu, Zia baru sadar akan panggilannya yang salah setelah kepergian Yunan meninggalkan kamar tersebut.
"Astaga. Aku barusan manggil dia apa? Kak Yunan? Aduh ... bibirku bicara sesuka hatinya saja. Ah, tidak. Ini bukan salah bibir, barang kali karena kehujanan kemarin pikiranku jadi konslet kali yah."
"Ah, sudahlah. Lebih baik lupakan saja. Mandi dulu, biar segar aja."
Zia beranjak. Namun, saat ia menurunkan kakinya, dia baru ingat akan kamar tersebut. Suasana kamar yang sangat tidak ia sukai di kehidupan sebelumnya. Kamar yang sangat tidak menyenangkan bagi Zia.
Dulu, di tembok sana ada bingkai foto yang sangat besar. Yunan yang meletakkannya di sana. Zia sangat tidak menyukai bingkai foto pernikahan yang Yunan paksakan padanya untuk di ambil di hari pernikahan mereka. Karena bagi Zia, bingkai itu menyakitkan hatinya. Memaksa dirinya mengingat akan kegagalan Zia dalam memutuskan jalan hidupnya sendiri.
Tapi saat ini, Zia merindukan bingkai foto tersebut. Merindukan saat dirinya bersama dengan Yunan di kamar itu. Dan, sangat menginginkan suara tangisan anak mereka yang dulunya sangat tidak ia sukai akan kehadirannya di hidup Zia.
Tangan Zia reflek menyentuh perutnya yang datar. "Nak, maafkan mama. Maafkan diriku yang sangat bod*oh ini di kehidupan sebelumnya. Di kehidupan ini, tolong datang lagi padaku, sayang. Aku sangat menginginkan kehadiran mu."
Sejenak terdiam sambil menahan napas. Akhirnya, Zia melepaskan napas itu secara perlahan setelah menahannya. "Huh ... sudahlah. Jangan terlalu bersedih hati, Zia. Sekarang, yang harus kamu lakukan bukan meratapi. Tapi, berusaha. Dapatkan hati suamimu kembali. Lalu, hidup dengan bahagia."
"Jalan kamu masih panjang. Tapi sepertinya, usaha kamu sudah menunjukkan hasilnya walau sedikit."
Senyum Zia terkembang. "Ayo semangat, Zia!"
"Mandi dulu sekarang."
Usai membersihkan diri, Zia memakai pakaian yang telah Yunan siapkan. Sesaat terdiam memikirkan pakaian tersebut. "Baju baru. Tapi kok bisa sangat pas dengan tubuhku ya? Pintar juga yang beli."
Zia pun memilih untuk keluar dari kamar. Saat kakinya baru bergerak beberapa langkah. Zia malah terkejut akan kedatangan sepasang suami istri yang menghampirinya dengan wajah sangat bahagia.
"Hai ... selamat pagi." Mama Yunan berucap dengan sangat bahagia.
"Pa-- pagi ... ta-- tante." Zia menyambut sapaan itu dengan gugup.
"Aduh, ma. Jangan buat dia takut. Nak, apa istirahatmu nyaman tadi malam? Ah, tidak. Bukan itu maksudku, anu, kamu baik-baik saja sekarang, bukan?"
"Ha? Sa-- saya .... "
"Aish, jangan takut, Nak. Kami ini orang tua Yunan."
"Ma, kok langsung ngomong gitu sih?" Bisik papa Yunan pada istrinya.
"Ya harus ngomong apa? Harus ngomong yang jelas secara langsung. Kita harus bicara dengan jelas." Mama Yunan membalas bisikan suaminya dengan bisikan juga.
"Aduh, bukan itu maksud papa. Kita harus bicara yang jelas dan cepat. Tapi jangan buat calon menantu kita ini takut. Jangan menakuti dia intinya, ma."
"Iya, mama tahu. Tapi-- "
"Ma! Pa! Kalian!" Suara Yunan tiba-tiba terdengar dengan lantang.
Pasangan suami istri itupun langsung menoleh dengan wajah yang sedikit terkejut. Senyum tak enak pun langsung terlihat dari keduanya. Sedang Yunan, dia beranjak semakin mendekat.
"He ... Yu. Kamu, kok ada di sini sih?" Sang mama bicara dengan nada tak nyaman.
"Iya, Yu. Kamu kok ada di sini? Gak ke kantor ya kamu nya?" Papanya malah ikut bertanya.
"Kenapa kalian malah balik bertanya padaku? Bukannya seharusnya, akulah yang bertanya pada kalian? Kenapa kalian bisa ada di sini sekarang?"
Pasangan suami istri itupun langsung bertukar pandang sesaat. Setelahnya, sang mama angkat bicara. "Aaa ... itu, ah, apakah orang tua tidak bisa datang untuk melihat anak mereka? Sungguh. Anak sekarang sangat tidak menyayangi orang tuanya."
"Iya. Anak sekarang sungguh tidak lagi perduli pada orang tua. Ma, itu sangat menyakitkan hati."
Drama kedua orang tuanya membuat Yunan tidak tahan lagi. Drama itu akan terus berlanjut jika dia tidak mengakhirinya dengan cepat. Yunan pun langsung melepas napas berat.
"Mama, papa. Tolong, jangan bercanda lagi. Kenapa kalian bisa ada di sini sekarang? Bukankah hari ini seharusnya, kalian berdua punya acara penting? Kok bisa datang ke sini sekarang?"
Kedua orang tua itu kembali bertukar pandang. Beruntung, mereka tergolong orang tua yang cukup peka. Jadi, merekapun harus mengalah sekarang.
"He ... itu, iya. Mama dan papa memang punya acara. Tapi, sebelum pergi, mau jenguk kamu dulu. Eh, taunya lihat calon mantu juga ada di sini. Jadi, sekalian nyapa."
"Calon menantu?" Yunan berucap dengan wajah bingung.
"Ah, itu ... ma, ayo cepat. Nanti acaranya keburu mulai."
"Ah, iya."
Mama Yunan kembali memutar tubuh. Lalu, mengeluarkan kotak hitam kecil persegi empat dari dalam tasnya. Dengan cepat, kotak kecil itu ia serahkan ke tangan Zia.
"Anak manis. Ini adalah hadiah pertemuan kita. Semoga kamu suka yah."
Zia yang bingung langsung melihat kotak tersebut tanpa bisa berucap. Sementara kedua orang tua Yunan, malah langsung beranjak dengan cepat.