Diandra Aksara adalah seorang putri dari pemilik Tara Bumi Grup yang kaya dan terpandang, karena sibuk mengurus bisnisnya di luar negeri, Diandra mengambil alih tanggung jawab yang diberikan oleh ayahnya untuk mengurus kediaman dan juga perusahaan milik keluarga mereka.
Dibawah tekanan dan iri hati sang ibu tiri dan juga saudari tirinya, Diandra berusaha menjalankan tugas yang diberikan oleh ayahnya dengan baik meskipun sebenarnya ia kerapkali menghadapi rintangan dan juga bahaya yang diciptakan oleh dua orang yang sangat membencinya.
Namun kehidupan Diandra yang penuh rintangan dan juga bahaya pelan pelan sirna ketika ia bertemu dan mengenal Abimana Narendra, Seorang CEO yang dikenal jujur,berani, dan juga tajir melintir.
Penasaran dengan ceritanya? Ikuti terus kisahnya hanya di novel Gadis Kecil Kesayangan Sang CEO.
noted🚨🚨🚨
dilarang baca lompat dan komentar jelek.
Yang suka boleh like, yang tidak suka, semoga suka.
Ingat dosa ditanggung pembaca☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
"Pak Abimana?!" ucap Diandra pelan namun penuh keterkejutan, ia masih memegang ponsel di tangannya erat-erat.
"Iya, ini aku," jawab Abimana dengan lembut, yang terdengar tenang dan akrab di telinga Diandra.
"Jadi... orang yang mengirim mobil ini untukku adalah Bapak?" tanya Diandra, nadanya sedikit meninggi karena campuran rasa terkejut dan bingung.
"Iya, Diandra. Akulah yang mengirimkannya," jawab Abimana. "Aku hanya berharap kalau orang-orangku tidak terlambat saat mengantarkan mobil itu padamu."
"Tidak-tidak… mereka tidak terlambat. Mobil itu sudah ada di sini sejak tadi," ujar Diandra, lalu menarik napas sejenak sebelum bertanya dengan suara lebih lirih, "Tapi... kenapa, Pak? Kenapa Bapak sampai repot-repot melakukan semua ini untuk saya? Kenapa Bapak ingin membantu saya keluar dari rencana jahat ibu tiri saya?"
Di seberang, Abimana sempat terdiam beberapa detik sebelum suaranya terdengar kembali, lebih dalam dan mantap.
"Karena aku tidak akan membiarkanmu melalui semua ini sendirian, Diandra."
Diandra membisu, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Ada kehangatan yang merayap dari kata-kata itu yang menyusup ke sela-sela hatinya yang selama ini dingin oleh pengkhianatan dan luka.
"Aku tahu kau sedang berada dalam masa sulit," lanjut Abimana. "Dan aku tahu seperti apa Bu Ratna. Aku tahu bahwa dia takkan berhenti sampai kau jatuh. Tapi aku juga tahu satu hal penting, Diandra... kau tak pantas menghadapi ini sendirian."
“Pak Abimana…” ucap Diandra nyaris berbisik.
"Kalau aku bisa melindungi mu dari satu bahaya saja, maka aku akan melakukannya. Karena bagiku, keselamatan dan ketenanganmu jauh lebih penting dari apapun. Kau sudah cukup lama menahan semuanya sendiri. Mulai sekarang... tidak lagi."
Diandra memejamkan matanya sesaat. Tak ada pelukan. Tak ada tatapan. Hanya suara di seberang sana—tapi entah mengapa, terasa seperti pelindung yang diam-diam ia rindukan.
"Terima kasih, Pak Abimana. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi, pak Abimana sudah terlalu banyak membantu dan melindungi saya." bisiknya lirih, penuh perasaan yang belum bisa ia uraikan.
Suara di seberang sana kembali terdengar, tenang namun dalam.
“Tak perlu berkata apa-apa sekarang, Diandra. Aku hanya ingin kau tahu kalau ada seseorang di dunia ini yang masih peduli padamu, tanpa syarat. Kau tidak harus kuat setiap waktu. Kalau lelah, istirahatlah sebentar tapi jangan pernah kau membiarkan dirimu menyerah.”
Diandra memejamkan matanya dan membiarkan air matanya jatuh tanpa suara. Kata-kata Abimana menembus dinding hati yang selama ini ia bangun sendiri. Ada sesuatu dalam cara bicara lelaki itu yang penuh ketulusan, kepedulian, dan kehangatan yang membuat Diandra merasa dihargai dan dipahami.
“Pak Abimana,” gumamnya pelan, “kenapa Bapak begitu peduli pada saya? Kita bahkan tidak dekat…”
Abimana menarik napas di ujung telepon, lalu menjawab dengan suara rendah yang sarat makna, “Mungkin memang kita belum dekat. Tapi bukan berarti aku harus menunggu sampai kita akrab untuk peduli padamu, Diandra. Terkadang, beberapa hal memang tak butuh alasan panjang, Diandra. Aku hanya tak ingin melihatmu hancur oleh ketidakadilan yang tidak pantas kau dapatkan.”
Diandra menutup mulutnya dengan tangan, berusaha menahan isak yang mulai pecah. Ia tak menyangka bahwa masih ada seseorang selain ayahnya yang bisa berbicara kepadanya seperti itu. Tanpa menghakimi, tanpa menuntut.
“Aku akan pastikan kau aman, dan semua ini akan segera selesai,” lanjut Abimana dengan lembut. “Tapi untuk malam ini, istirahatlah. Kau sudah cukup lelah menghadapi masalah malam ini.”
Diandra mengangguk kecil meski tahu lelaki itu tak bisa melihatnya. “Baik, Pak…”
“Aku akan hubungi kau lagi besok. Kalau ada apa-apa, kau bisa menghubungiku.”
“Ya, Pak…”
Untuk beberapa saat suasana terasa sangat sunyi, seakan keduanya sama-sama berat melepaskan sambungan telepon yang sedang menyatukan dua jiwa yang kesepian.
“Selamat malam, Diandra.”
“Selamat malam, Pak Abimana…”
Klik.
Panggilan berakhir.
Tapi gema suaranya masih menggantung di benak Diandra, bersamaan dengan rasa asing yang menghangatkan dadanya. Rasa bahwa untuk pertama kalinya mungkin ia tidak lagi sendiri.