"Kenapa selalu gue yang harus ngertiin dia? Gue pacar elo Marvin! Lo sadar itu ga sih? Gue capek! Gue muak!" ucap Ranu pada kekasihnya dengan nada marah.
"Maafin gue, Ranu. Gue ga maksud buat ngerebut Kara dari elo" Zara menatap takut takut pada Ranu.
"Diem! Gue ga butuh omongan sampah elo ya" Ucap Ranu dengan nada tinggi.
.
.
.
"Shit! Mati aja elo sini Zara!" hardik Fatiyah setelah membaca ending cerita pendek tersebut.
Fatiyah mati terpanggang setelah membakar cerpen yang dia maki maki karena ending yang tak dia sukai. Dia tidak terima, tokoh kesayangannya, Ranu harus mati mengenaskan di akhir cerita. Tapi, siapa sangka kalau Fatiyah yang harusnya pergi ke alam baka malah merasuki tubuh Zara. Tokoh yang paling dia benci. Bagaimana kelanjutan kisahnya. Kita lihat saja. Apakah Fatiyah bisa menyelamatkan tokoh favoritnya dan mengubah takdir Ranu? Apakah dia malah terseret alur novel seperti yang seharusnya?
sorry guys, harus revisi judul dan cover soalnya bib...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Telo Ungu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25 Mama dan Marvin
"Baru pulang kak?" tanya ibu Marvin, Dora pada anak tunggalnya. Marvin menghentikan langkahnya saat menaiki anak tangga ke tiga. Kepalanya menoleh ke arah belakang.
"Iya" ucap Marvin sekenanya.
"Sini dulu kak, mama mau ngomong sesuatu" kata Dora sembari menepuk nepuk sofa di sisi kanannya.
Marvin menatap heran mamanya yang tiba tiba bertingkah seperti ini. Tumben sekali mamanya ini mau berbicara serius dengannya. Biasanya ia akan sibuk dengan urusannya sendiri atau dengan pacarnya.
"Mama mau ngomong apa?" tanya Marvin.
"Mama kemarin bertemu Ranu di acaranya temen Mama, Vin" Dora berusaha memberikan kata pengantar yang pas untuk memulai topik pembicaraan yang mendalam dengan anaknya itu.
"Lalu?" Marvin menatap mamanya heran. Alis Marvin naik sebelah.
"Ranu cerita banyak tentang kamu. Tentang kedekatan kamu dengan perempuan lain. Apakah itu benar? Siapa perempuan itu, Marvin?" tanya Dora penasaran.
Marvin menghela napas panjang. "Mama memanggilku hanya untuk menanyakan hal ini? Dari sekian banyak pertanyaan yang bisa mama tanya, kenapa malah pertanyaan ini yang mama keluarkan"
"To the point saja. Apa yang mama mau dariku sebenarnya" sambungnya.
Dora tertawa kecil. "Kau memang mirip dengan papamu, kak. Tidak suka basa basi. Oke, kalau begitu mama akan langsung pada tujuan mama. Jauhi perempuan itu, Marvin. Lupakan dia dan fokus saja pada Ranu. Ingat, kamu itu sudah bertunangan dengan Ranu, anak sahabat mama. Jangan membuat mama malu!" serunya. Dora mengubah panggilannya Marvin dari sebutan kakak menjadi namanya saja. Itu artinya, Dora dalam mode serius dan tidak ingin dibantah oleh siapapun.
"Harusnya yang malu disini adalah mama. Mama dan papa. Bukan aku. Mama harusnya malu terus terusan berbohong pada media seakan akan keluarga ini adalah keluarga harmonis, keluarga cemara. Nyatanya, sampah. Satu hal lagi, aku hanya menuruti isi hatiku, Ma. Mama tidak usah ikut campur lagi. Bukankah sudah tiga tahun ini aku sudah mengabulkan keinginan mama. Pura pura mencintai putri sahabat mama itu demi melancarkan bisnis mama dan papa. Mama harus penuhi perjanjian kita dulu. Jadi sekarang giliranku yang menentukan pilihan dan mama harus menerima itu" ucap Marvin sinis.
Marvin beranjak pergi dari posisinya. Ia melangkah menaiki tangga ke lantai dua rumahnya. Baru lima anak tangga yang ia naiki, Marvin menghentikan langkahnya. Dengan nada datarnya Marvin kembali membuka suara. "Jangan pernah mengancam atau mendekati perempuan yang Marvin cintai, Ma. Jika aku tahu mama melakukan hal tersebut, aku akan melakukan hal lebih kejam pada kekasih mama yang seperti sampah itu. Ingat itu baik baik, Ma!"
"MARVIN!!!" teriak Dora tidak terima dengan ancaman anak semata wayangnya tersebut.
Namun, yang dipanggil tidak menoleh sedikitpun. Marvin tetap meneruskan langkahnya menuju kamarnya. Meninggalkan mamanya yang menggelegak penuh emosi.
Prang!
Dora melempar vas bunga ke arah TV yang menyala demi melampiaskan rasa marahnya. Dora tidak mungkin marah marah pada anaknya. Yang ada, Marvin nanti akan memilih tinggal dengan Gala, suaminya itu. Sudah lama mereka pisah rumah, mungkin 5 tahun belakangan ini. Baik Dora dan Gala sudah memiliki kehidupan percintaan masing masing. Mereka juga sepakat untuk tidak ikut campur urusan satu sama lain. Selain, urusan masa depan Marvin nantinya.
Sebagai mamanya Marvin, Dora ingin anaknya punya pendamping yang setara. Pendamping yang dapat membantu Marvin membesarkan perusahaan Gala yang nantinya diwariskan padanya. Dora memang menyuruh Marvin untuk pura pura mencintai anak sahabatnya itu. Dora juga yang mendorong Marvin untuk bertunangan dengan Ranu.
Ingatan Dora berkelana pada hari itu. Hari setelah kenaikan kelas Marvin ke kelas delapan. Di hari itu juga Dora membuat sebuah perjanjian yang menyangkut kepentingannya sendiri dan juga Marvin. Dari perjanjian tersebutlah yang membuat Marvin terikat dengan Ranu hingga sekarang.
Flashback
"Apa yang ingin mama bicarakan kali ini padaku. Tak mungkin mama jauh jauh terbang dari Belanda hanya ingin menanyakan kabarku. Itu bukan tipikal sosok mama yang aku kenal" tembak Marvin telat sasaran.
"Kamu berteman dekat dengan Ranu kan. Mama lihat anak itu sepertinya suka padamu, Marvin. Dari informasi yang mama terima, Ranu sangat gencar sekali mendekatimu di sekolah dan di luar sekolah sekalipun. Kepala pelayan juga bilang kalau Ranu kerap kali datang kesini saat mama tidak ada di rumah. Apakah itu benar?" tanya Dora datar.
Marvin mengangguk mengiyakan. Memang, Ranu sering sekali melipir dan bergabung dengan gengnya. Tanpa diundang sekalipun. Banyak temannya yang mengaku risih dengan keberadaan Ranu. Namun, Marvin mengabaikannya. Selagi Ranu tidak berbuat macam macam, ia memperbolehkan Ranu ikut bermain di rumahnya. Selayaknya teman temannya yang lain.
"Lalu, apa keinginan mama setelah mengatakan pengantar yang membosankan itu?" sentak Marvin sambil memutar bola matanya malas.
"Mama ingin kamu pura pura pacaran dengannya. Kalau perlu ajak dia bertunangan. Dengan begitu, keluarganya akan bisa membantumu melebarkan sayap bisnis papamu" Dora menatap Marvin dengan senyum tipisnya.
Marvin termenung sejenak. Ia menghela napas panjang. "Tidak tertarik. Itu hanya menguntungkan mama dan papa saja. Akan sangat membosankan mendengar suara melengking Ranu setiap hari kalau aku harus menjadi tunangannya tanpa keuntungan apapun"
Marvin berdiri hendak beranjak pergi. "Tunggu, mama belum selesai bicara Marvin!" ungkap Dora. "Tiga tahun, mama hanya butuh waktu tiga tahunmu untuk bertunangan dengan Ranu. Setelah tiga tahun, kalau kamu menemukan perempuan lain yang kamu cintai dan kamu inginkan. Kamu boleh memutuskan pertunangan ini. Lagian ini juga solusi paling pas Marvin untukmu, mama, dan papa. Bukankah nenekmu bilang padamu ingin melihat kamu bertunangan sebelum meninggal. Ranu adalah jawaban dari doa nenekmu. Kamu tidak perlu berusaha payah mencari perempuan lain untuk dibawa ke hadapan nenekmu. Ranu kan temanmu dari TK. Dia sudah kenal kamu dengan baik. Mama juga kenal keluarganya. Ibunya sahabat mama. Jadi, kamu tidak perlu usaha keras untuk mendapatkan perempuan itu. Ranu sendiri yang akan merangkak ke kakiku, Marvin. Bagaimana setuju dengan penawaran mama?"
Marvin terlihat termenung sebentar. Dora yang melihat hal tersebut, tersenyum penuh kemenangan. Terlihat sekali anaknya itu goyah dengan penawarannya. Dora yakin sebentar lagi Marvin akan menyetujui ucapannya.
"Baik, aku setuju. Hanya tiga tahun. Setelah tiga tahun, aku akan meninggalkan Ranu. Aku akan memutuskan pertunangan itu kalau aku sudah menemukan perempuan yang aku inginkan"
Flashback end
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sebenarnya, bukan tanpa alasan Dora melakukan perjanjian tersebut dengan anaknya. Ia sangat mengerti Marvin tipikal anak yang keras kepala. Butuh banyak diskusi untuk bisa meyakinkan Marvin yang sudah memegang prinsip yang sangat kuat. Makanya, Dora terpaksa melakukan hal ini.
Padahal tujuan Dora melakukan itu semua hanya untuk kebaikan Marvin di masa depan. Dora ingin Marvin punya pendamping yang dapat membantu kariernya kelak. Hanya orang dari alangan seperti Ranu yang pasti bersanding dengan anaknya.
"Aku harus melakukan sesuatu" gumam Dora. Lalu, Dora mengambil ponselnya dan menghubungi orang orang suruhannya itu. "Cari tahu siapa perempuan yang dekat dengan Marvin saat ini. Pastikan, Gala tidak tahu hal ini. Aku ingin informasi itu sudah ada di meja kerjaku paling lambat tiga hari, mengerti"
.
.
.
.
Di tengah huru hara antara ibu dan anak itu, di waktu yang sama dan tempat yang berbeda. Zara masih setia menemani Hisbi di rumah sakit. Zara memandang sendu ke arah Hisbi yang masih tak sadarkan diri. Setelah luka lukanya diobati oleh dokter. Zara masih menunggu Hisbi siuman. Dokter bilang, sebentar lagi Hisbi akan sadar.
Kringggg
Ponsel Ranu berdering nyaring. Buru buru ia mengangkat panggilan tersebut dan menjauh sedikit dari ranjang Hisbi.
" Halo Catur, ada apa?" tanya Zara.
"Gue mau ngajak elo kerja kelompok. Kita kan ada tugas presentasi lusa. Kalau elo lagi ga sibuk, gue otw ke rumah elo nih. Kita kerja kelompok di cafe langganan gue, gimana?"
"Besok aja gimana. Gue lagi ga bisa hari ini. Gue lagi ga di rumah soalnya"
"Emangnya elo lagi dimana Zara?" tanya Catur diseberang sana, penasaran sekali.
"Lagi di rumah sakit"
"Elo sakit? Rumah sakit mana? Gue samperin ya" Nada bicara Catur kentara sekali khawatir pada Zara.
Zara menolak keinginan Catur untuk menghampirinya ke rumah sakit dengan menggelengkan kepalanya. Lalu, ia tertawa sendiri. Bodohnya, kan Catur tidak bisa melihat dirinya menggelengkan kepalanya. "Lho kok ketawa Zara? Gue serius. Share lock cepet. Gue susulin kesana"
"Ga perlu kesini. Gue baik baik aja. Gue cuma lagi nemenin Hisbi di rumah sakit"
"Hisbi? Hisbi temannya Lengkara? Kok bisa?" ucap Catur yang berusaha menormalkan nada suaranya. Di seberang sana tangan Catur terkepal erat. Catur merasa hatinya panas setelah Zara mengatakan menemani Hisbi di rumah sakit. Banyak sekali praduga dan pemikiran negatif yang berputar dikepalanya.
"Ceritanya panjang. Hisbi menyelamatkan gue, terus luka. Makanya gue nemenin dia di rumah sakit sampai Hisbi sadar dari pingsannya"
Yang tidak Zara sadari adalah Hisbi sebenarnya sudah sadar dari tadi. Hanya saja dia masih betah berpura pura pingsan supaya Zara tetap menggenggam tangannya. Hibi kesal ketika Zara melepaskan tangannya begitu saja dan mengangkat telpon entah dari siapa. Hisbi membuka matanya perlahan. Lalu, ia melirik Zara yang sudah mojok di depan tembok.
"Catur?" gumam Hisbi dalam hatinya.
Suara Zara terlalu kecil untuk Hisbi tangkap. Sebab, Zara mengangkat telpon di pojok ruangan yang jauh dari ranjangnya. Zara berbicara dengan menghadap tembok dan suaranya juga sengaja dikecilkan. Hanya nama Catur yang sekilas di dengar oleh telinga Hisbi.
"Sejak kapan mereka berdua terlihat akrab begini. Bukannya Catur paling tidak suka berinteraksi dengan cewek. Aneh" gumam Hisbi.
Melihat Zara yang menyelesaikan obrolannya, Hisbi kembali menutup matanya. Seakan akan masih pingsan. Tak lupa ia juga mengatur ritme napasnya supaya lebih meyakinkan.
Zara kembali menggenggam tangan Hisbi setelah memasukkan ponselnya kembali. "Bi, cepet sadar ya. Gue khawatir. Walaupun dokter bilang elo ga kenapa-napa. Tapi, gue tetap khawatir sama keadaan elo. Maafin gue ya, gara gara gue elo jadi kayak gini"
Cup
Zara mengecup punggung tangan Hisbi pelan. Barulah disitu, Hisbi membuka matanya perlahan. Berakting selah olah dia tidak tahu tindakan Zara barusan. Padahal dalam hatinya dia sudah salto saking senangnya di cium tangannya oleh cewek paling hits seantero Pelita Bangsa.