Alika tak pernah membayangkan hidupnya bisa berubah secepat ini. Semua berawal dari satu permintaan sepele saudari tirinya, yang menyuruh Alika pergi ke sebuah hotel.
Karena sebuah kekeliruan, Alika justru masuk ke kamar hotel yang salah dan menghabiskan malam dengan Sagara, sang CEO dingin dan arogan yang selama ini hanya dikenalnya dari jauh.
Apa yang terjadi malam itu seharusnya dilupakan. Tapi takdir berkata lain.
Saat Alika mengetahui dirinya hamil. Ia dihadapkan pada pilihan yang sulit, menyembunyikan semuanya demi harga diri, atau menghadapi kenyataan dengan kepala tegak.
Namun, yang paling mengejutkan, justru adalah keputusan Sagara. Pria yang katanya selama ini tak tersentuh, datang kembali ke dalam hidupnya, menawarkan sesuatu yang lebih dari sekadar tanggung jawab.
Cinta perlahan tumbuh di antara keduanya. Tapi mampukah cinta bertahan saat masa lalu terus menghantui dan realita kehidupan tak berpihak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 17 Diperbolehkan Pulang
Suasana kamar rumah sakit sore itu terasa hening, hanya terdengar suara detak jam di dinding dan sesekali dentingan sendok menyentuh mangkuk.
Alika duduk bersandar di ranjang, sementara Sagara duduk di kursi di sampingnya, dengan wajah datar dan kedua alis yang nyaris tak pernah rileks.
Di hadapannya, mangkuk berisi bubur hangat hampir habis. Alika makan perlahan, tapi karena rasa mual yang masih menghantui, gerakannya agak tergesa dan tak teratur.
Satu suapan meleset, meninggalkan noda di sudut bibirnya. Tanpa sadar, ia mencoba menghapusnya sendiri dengan tisu, namun belum sempat tisu menyentuh kulitnya, tangan Sagara lebih dulu bergerak.
“Lihat, makan saja tidak becus,” gerutunya kesal. Ia menyambar tisu dari meja dan dengan kasar namun hati-hati mengusap sudut bibir Alika.
Alika membeku. Sentuhan Sagara terasa asing. Bukan dingin seperti biasanya, tapi juga tidak lembut sepenuhnya. Entah kenapa, hatinya berdegup lebih cepat.
Sagara kembali duduk. Wajahnya tetap tanpa ekspresi. “Kalau begini caramu makan, tak heran kamu pingsan. Tidak tahu caranya menjaga diri sendiri.”
Alika mengerutkan kening, mencoba menahan kesal. “Kalau anda hanya ingin mengomel tidak jelas, lebih baik tidak usah datang!”
“Kamu pikir aku kesini karena keinginan sendiri?” sahut Sagara tajam. “Kalau bukan karena kakek, aku bahkan tidak sudi menginjakkan kaki ke ruangan ini.”
Alika menunduk, menyembunyikan kekecewaannya. “lalu, untuk apa anda menyuapi saya!”
“Karena kakek yang menyuruh,” jawab Sagara cepat. “Jangan besar kepala. Aku tidak melakukannya karena peduli padamu. Tapi bayiku!”
Alika menggigit bibir bawahnya. Sekali lagi, Sagara menunjukkan wajah aslinya yang dingin dan menyebalkan.
Namun tadi saat tangannya menyentuh pipinya, ada sesuatu yang berbeda. Sentuhan itu seperti tak sejalan dengan kata-katanya.
“Anda selalu saja begini,” gumam Alika. “Kadang marah, kadang diam, kadang malah seolah perhatian. Saya benar-benar tidak mengerti.”
“Tidak perlu dimengerti. Aku tidak berusaha dimengerti oleh siapapun.”
Alika menghela nafas panjang. “Ya, saya tahu. Tapi kalau anda terus bersikap seperti ini. Saya tidak tahu bagaimana bisa bertahan menghadapi sikap anda.”
Belum sempat Sagara membalas, pintu kamar diketuk, lalu terbuka pelan.
Seorang dokter muda masuk bersama perawat yang membawa berkas di tangan.
“Selamat sore,” sapa dokter itu ramah. “Bagaimana kabarnya, Nona Alika?”
Alika berusaha tersenyum. “Sedikit lebih baik, dok.”
Dokter memeriksa hasil observasi dan tekanan darah yang dicatat oleh perawat. Ia kemudian menoleh ke arah Alika.
“Hasil pemeriksaan menunjukkan kondisi Anda sudah cukup stabil. Pingsan kemarin kemungkinan besar karena tekanan darah menurun akibat kelelahan dan kurang makan. Saya sarankan agar tetap banyak istirahat, makan teratur, dan jangan memaksakan diri.”
Sagara menyilangkan tangan di dada, mendengarkan tanpa menyela.
“Kalau tidak ada keluhan tambahan, Anda sudah boleh pulang nanti sore,” lanjut sang dokter. “Tapi tolong jaga kesehatan. Kondisi ibu hamil tidak bisa dianggap remeh. Apalagi anda sudah pernah pingsan.”
Alika mengangguk pelan. “Terima kasih, dok.”
“Silahkan istirahat. Perawat akan bantu persiapan pulangnya nanti.” Setelah itu, dokter pamit dan meninggalkan ruangan.
Sagara masih duduk di tempatnya, menatap Alika dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Kamu dengar tadi,” katanya datar. “Mulai sekarang, jaga makan dan jangan sok kuat!”
“Saya tahu,” sahut Alika pelan. “Karena saya bukan anak kecil.”
“Tapi kamu bersikap seperti anak kecil,” tukas Sagara. “Kalau kamu kenapa-kenapa, kakek bisa menyalahkan aku. Aku tidak punya waktu berurusan dengan dramamu.”
“Tuan, saya memang bukan gadis yang anda pilih untuk dinikahi, saya sangat tahu itu. Tapi saya juga manusia. Kalau anda benar-benar tidak mau bertanggung jawab atas semua ini, katakan saja terus terang. Jangan bersikap seolah-olah semua adalah kesalahan saya!”
Sagara terdiam. Tak ada satupun kata keluar dari bibirnya. Matanya menatap Alika lekat-lekat, tapi bukan dengan amarah.
Entah kenapa, dari tatapan itu justru Sagara tampak bingung?
Alika kembali menyuap bubur ke mulutnya, lalu berhenti sejenak.
“Saya akan pulang nanti sore. Anda tidak perlu repot mengantar saya. Saya bisa sendiri!”
“Tidak usah sok mandiri. Aku akan mengantarmu. Setidaknya sampai rumah. Setelah itu, terserah kamu,” ucap Sagara akhirnya.
Alika tak menjawab. Ia hanya menunduk, menyembunyikan rasa sesak yang perlahan merambat ke dadanya.
Sagara berdiri, membenarkan kerah jasnya. Ia berjalan ke jendela, memandang keluar.
“Bersiaplah. Aku akan menyuruh Lee mengurus administrasi keluarmu,” ujarnya tanpa menoleh.
Alika mengangguk, meski tahu pria itu tak melihatnya.
“Sabar Alika, sabar! Jangan sampai kamu terkena gejala stress karena dia!”
lain di bibir....
lain di hati..
bisa2 disuruh manfi kembang 7 rupa dan tidur di luar kamar RS...
😀😀😀❤❤❤❤
bisa saja cindy bohong...
❤❤❤❤❤