Aku adalah seorang gadis desa yang dijodohkan oleh orang tuaku dengan seorang duda dari sebuah kota. dia mempunyai seorang anak perempuan yang memasuki usia 5 tahun. dia seorang laki-laki yang bahkan aku tidak tahu apa isi di hatinya. aku tidak mencintainya dia pun begitu. awal menikah rumah tangga kami sangat dingin, kami tinggal satu atap tapi hidup seperti orang asing dia yang hanya sibuk dengan pekerjaannya dan aku sibuk dengan berusaha untuk menjadi istri dan ibu yang baik untuk anak perempuannya. akan tetapi semua itu perlahan berubah ketika aku mulai mencintainya, namun pertanyaannya apakah dia juga mencintaiku. atau aku hanya jatuh cinta sendirian, ketika sahabat masa lalu suamiku hadir dengan alasan ingin bertemu anak sambungku, ternyata itu hanya alasan saja untuk mendekati suamiku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia greyson, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35
Pagi itu, langit cerah dan udara sejuk menyelimuti halaman rumah Arif. Amira duduk di teras dengan segelas teh hangat di tangannya. Di sebelahnya, Bu Ningsih duduk diam, sesekali melirik ke arah perut menantunya yang mulai membuncit. Kehamilan itu seharusnya membawa kegembiraan, tapi tidak sepenuhnya bagi Bu Ningsih. Ia masih belum bisa sepenuhnya menerima Amira, istri kedua dari anak semata wayangnya.
Mereka tak banyak berbicara. Hanya bunyi burung dan angin pagi yang mengisi sela keheningan.
“Sudah berapa bulan sekarang?” tanya Bu Ningsih tiba-tiba, matanya tetap menatap lurus ke arah jalan depan.
“Empat bulan, Bu,” jawab Amira pelan. Ia senang ditanya, walau nada ibunya terdengar datar.
Bu Ningsih hanya mengangguk. Tidak ada senyum, tidak juga tatapan lembut. Amira menunduk, menahan sesak yang mulai terasa. Ia tahu, kehadirannya masih dianggap asing.
Tiba-tiba, terdengar suara dari luar pagar. Seorang pria dengan pakaian kasual berdiri di depan rumah, memandang mereka berdua dengan senyum lebar dan mata penuh sandiwara.
“Eh, Amira!” serunya, seolah sangat mengenalnya.
Amira mengerutkan kening. Wajah pria itu tidak ia kenal.
“Maaf, ini siapa ya?” tanyanya sopan, berdiri setengah dari kursinya.
Pria itu menyeringai. “Wah, jangan pura-pura lupa dong, Mira. Masa kamu lupa sama aku? Kita kan sering berduaan di rumah ini. Pas suami kamu dan anak tirimu nggak di rumah.”
Amira membeku.
“APA?” Suara Bu Ningsih melengking. Matanya membelalak menatap Amira, lalu menoleh ke arah pria asing itu.
“Mas, Anda siapa sebenarnya?” bentaknya.
Rudi masih berdiri santai, seolah sedang bercanda tapi dengan kalimat yang seperti palu godam memukul kepercayaan siapa pun yang mendengarnya.
“Bu, saya Rudi. Nggak nyangka ya, Amira sampai berani tutup mulut. Tapi ya sudahlah. Saya cuma mau say hi,” katanya lalu berjalan santai pergi, meninggalkan keheningan mencekam.
Amira masih berdiri terpaku. Wajahnya pucat, napasnya pendek-pendek. Ia ingin berteriak bahwa itu semua bohong. Tapi kata-kata itu terlalu mengejutkan hingga ia sendiri masih tak percaya.
“AMIRA!” suara Bu Ningsih meninggi. “Apa maksud semua ini?!”
“Bu, saya… saya nggak kenal dia. Demi Allah, saya nggak tahu siapa dia!” Amira panik, mencoba mendekati Bu Ningsih yang langsung menepis tangannya.
“Di rumah ini?! Dia bilang kalian sering berduaan di rumah ini?! Kamu pikir saya bisa diam setelah mendengar itu?!”
“Bu, itu fitnah! Saya bersumpah—”
“Cukup!” potong Bu Ningsih. “Jangan bersumpah-sumpah di depan saya!”
Siang itu, rumah menjadi sunyi. Amira mengurung diri di kamar, menangis tanpa suara. Ia tak tahu siapa pria itu, dan mengapa tiba-tiba muncul dengan tuduhan mengerikan seperti itu. Kepalanya pening. Ia takut. Takut Arif akan pulang dan percaya.
Sementara di kamar depan, Bu Ningsih menelpon Arif dengan nada penuh emosi.
“Arif, kamu harus pulang sekarang juga. Istrimu… istrimu ternyata menyimpan aib di rumah ini!”
Malam menjelang. Arif pulang dengan wajah tegang. Bu Ningsih langsung menceritakan semuanya dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca. Arif mendengarkan tanpa memotong, meski hatinya seperti diperas dari segala arah.
“Dia bilang Amira sering berduaan dengan pria itu di rumah ini. Pas kamu kerja dan Maira di sekolah!” ujar Bu Ningsih dengan mata merah.
Arif tak langsung bicara. Ia masuk ke kamar, menemukan Amira sedang duduk di lantai, memeluk lutut dan menangis.
“Mas…” suara Amira parau, matanya bengkak.
“Siapa Rudi?” tanya Arif langsung, datar.
Amira menggeleng. “Aku nggak tahu dia siapa. Sumpah, Mas. Aku nggak kenal dia. Dia datang dan tiba-tiba bicara seperti itu. Aku juga kaget!”
Arif terdiam. Hatinya berkecamuk. Ia ingin percaya, tapi tuduhan itu datang dengan cara yang begitu nyata dan meyakinkan — bahkan di depan ibunya.
“Kalau kamu nggak kenal, kenapa dia tahu kita tinggal di sini? Kenapa dia tahu nama Maira? Nama aku?”
Amira terdiam. Ia tak punya jawaban. “Aku nggak tahu… mungkin dia disuruh orang…”
“Disuruh siapa?” tanya Arif tajam.
Amira menggeleng, air matanya tak terbendung. “Aku nggak tahu, Mas. Aku benar-benar nggak tahu…”
Arif menghela napas, menatap istrinya yang kini terlihat rapuh. Tapi hatinya mulai ditanam benih keraguan.
Dan di sebuah apartemen mewah di pusat kota, Livia sedang tersenyum puas sambil menatap layar ponselnya.
“Bagus, Rudi. Skenario awal berjalan lancar. Sekarang tinggal tunggu waktu sampai rumah tangga mereka retak.”
Amira menatap lantai. Ia tak bisa lagi menahan isaknya. Dalam hitungan menit, dunia yang perlahan ia bangun bersama Arif terasa seperti hendak runtuh.
“Mas, aku mohon... percaya aku...” suaranya pecah, matanya mencari belas kasih dalam sorot mata suaminya.
Arif memalingkan wajahnya. Bukan karena tak ingin melihat, tapi karena ia sendiri bingung dengan gejolak di hatinya. Amira begitu tulus, tapi tuduhan itu terlalu detail, dan Bu Ningsih menyaksikannya langsung. Ia berada di tengah badai keyakinan dan keraguan.
“Aku... butuh waktu untuk mencerna semua ini,” ujarnya lirih.
Kalimat itu menancap di hati Amira. Waktu? Itu artinya Arif belum percaya sepenuhnya. Dan itu cukup untuk membuat hatinya remuk.
Tak lama kemudian, suara langkah kecil terdengar di lorong. Maira, anak perempuan Arif dari pernikahan sebelumnya, muncul dari balik pintu. Wajahnya polos, tapi matanya menyimpan kecerdasan.
“Mama kenapa Mama nangis?” tanyanya sambil menghampiri Amira.
Amira buru-buru menyeka air matanya dan tersenyum lemah. “Nggak apa-apa, Sayang. Ibu cuma kangen sama kamu.”
Maira memeluk Amira tanpa ragu. “Aku juga kangen, Mama. Aku doain adek di perut Mama sehat terus, ya.”
Kalimat polos itu membuat Amira makin tersedu. Ia peluk Maira erat-erat, seakan hanya anak kecil itu yang menjadi satu-satunya sandaran di tengah badai yang tak berkesudahan.
Maira yang perlahan mulai menghapus air mata ibu sambungnya bebicara dengan suara lirih, Ma, aku tau mama menangis bukan karna mama merindukan aku kan ? Pasti Papa yang memarahi mama, Kata2 itu membuat Amira semakin menangis dan rasa sakit yang menjalar dihati nya semakin lama semakin sakit. Dia tidak tau siapa laki2 yang tadi lagi datang kerumahnya dan menyebabkan fitnah buruk tentang dirinya. Jelas2 dia sama sekali tidak mengenali laki-lai itu. Akan tetapi laki-laki itu berbicara dia seolah-olah telah mengenal Amira dari lama.
_________________
Haiiii gaesss apkah ini akan menjadi akhir dari rumah tangga Arif Dan Amira????
Jangan lupa terus baca dan tinggalin jejak ya yaa gaessss
Arif yang sudah berlalu pergi dari kamarnya, dia pergi menemui ibunya yang sedang berada di ruang tamu bersama ayahnya. Ayah Arif yang melihat kemunculan Arif langsung memarahi Arif yang dianggapnya sudah salah memilih istri.