Bagaimana jadinya jika seorang muslimah bertemu dengan mafia yang memiliki banyak sisi gelap?
Ketika dua hati berbeda warna dan bertemu, maka akan terjadi bentrokan. Sama seperti iman suci wanita muslimah asal Indonesia dengan keburukan hati dari monster mafia asal Las Vegas. Pertemuannya dengan Nisa membawa ancaman ke dunia gelap Dom Torricelli.
Apakah warna putih bisa menutupi noda hitam? Atau noda hitam lah yang akan mengotori warna putih tersebut? Begitulah keadaan Nisa saat dia harus menjadi sandera Dom Torricelli atas kesaksiannya yang tidak sengaja melihat pembunuhan yang para monster mafia itu lakukan.
°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°
Mohon Dukungannya ✧◝(⁰▿⁰)◜✧
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Four, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LiBaW — BAB 26
PERINTAH YANG RINGAN DARI MR.DOM
Nisa menatap ke suaminya yang baru saja meletakkan kembali benda tadi, lalu pria itu menatapnya seperti biasa, tatapan yang tidak ramah.
Cukup lama pria itu memandanginya sehingga Nisa merasa risih dan gugup sendiri. “Sekarang apa? Kita berpindah lagi?” tanya Nisa dengan sengaja mengalihkan perhatian Dom, namun sayangnya pria itu sama sekali tidak teralihkan sedikitpun.
“Kau pernah kehilangan seseorang?” tanya Dom membuat Nisa berkerut alis penuh keheranan.
“Ak-aku tidak... Aku tidak pernah merasa kehilangan siapapun, aku terlahir yatim piatu sejak balita, aku tidak pernah sendirian, Allah bersamaku dan selalu mengawasi kita.” Jelas Nisa dengan sejujurnya dan apa yang dia yakini.
Pria itu terdiam seolah dia sedang memikirkan sesuatu yang tak pernah dia katakan sebelumnya.
“Tetaplah di sini, kita masih punya banyak waktu sebelum kembali ke mansion.” Pinta Dom lalu melenggang pergi ke kamar mandi.
Sedangkan Nisa masih berdiam diri mengamati pria itu.
Wanita berdarah Asia itu mulai duduk di kursi rias, menatap dirinya di pantulan cermin cukup lama, hingga saat ia perlahan mulai membuka hijabnya, terlihat rambutnya yang tergelung.
Nisa sedikit meringis sakit saat dia menyentuh luka gores di bawah tengkuk lehernya, bekas di mana cip yang Gerard pasang. “Ya Allah... Bagaimana bisa aku tidak menyadari nya sejak dulu?” gumam pelan Nisa yang masih merasakan perih di luka tadi.
Mendengar suara pintu terbuka, tentu ia langsung bangkit dari kursinya dan berbalik menatap ke arah pintu kamar mandi. Sungguh! Nisa terbelalak kaget dan langsung berpaling ketika dia melihat Dom keluar dengan mengenakan bathrobe putih yang memperlihatkan belahan dada bidangnya.
“Kenapa kau tidak memakai baju?” tanya Nisa sedikit kesal.
“Aku akan memakai nya setelah mengambilnya.” Balas Dom terus terang dan secara logika.
Pria itu sekilas memperhatikan Nisa yang membuka hijab, sangat aneh, namun ia abaikan dan berjalan ke arah lemari.
Dengan sengaja Dom melirik ke istrinya yang nampak enggan melihatnya. Tentu, pria itu menyeringai kecil. “Bagaimana bisa kau bekerja bersama Gerard Sanz?” tanya Dom mencoba mengisi kekosongan di antara mereka.
Meskipun ia sibuk mengambil pakaiannya.
“Aku dijebak, seseorang mengatakan akan memberikan pekerjaan layak di luar negeri, jadi aku menerimanya, tapi mereka malah membawa ku ke Gerard.” Jelas Nisa yang masih tidak menoleh.
Dia yakin, Dom tengah memakai pakaian nya, itu sebabnya Nisa tak mau menoleh hingga telapak tangannya mulai berkeringat dingin.
Tanpa di duga, Dom yang bergerak lebih cepat—pria itu sudah berdiri di samping Nisa dan berhasil membuat wanita itu terkejut.
“Ka-kau sedang apa?” tanya gugup Nisa yang sudah tak bisa lagi mengendalikan dirinya. Dia mencoba mengingat keburukan pria itu agar dia tak sampai terbawa perasaan jika jarak mereka selalu dekat.
“Berikan aku minuman.” Pinta Dom membaut Nisa berkerut alis menatapnya.
Wanita itu menoleh ke arah botol beer yang berjajar. Semua itu adalah minuman beralkohol, dengan ragu wanita itu kembali menatap suaminya. “Kau... Bisa mengambilnya sendiri.”
“Why? Bukankah tugas seorang istri melayani suaminya? Aku tidak meminta mu berhubungan dengan ku, hanya tuang dan berikan minuman itu kepadaku.” Jelas Dom dengan sengaja pria itu menjelaskannya dan menyuruhnya.
Tentu, secara perlahan, Dom akan membuktikan bahwa tidak ada yang namanya iman suci, semua wanita itu sama, begitu juga dengan semua orang. Mereka tak luput dari keburukan dan dosa, tidak ada yang namanya kesucian dari dalam diri seseorang.
Begitu juga dengan Nisa. Pria itu membuatnya sadar dengan terus memperlihatkan dunia gelapnya kepada Nisa tanpa ragu-ragu.
“Rencanamu itu tidak akan pernah berhasil. Allah... Allah... ” Ujar Nisa yang pasrah dan berjalan melewatinya.
Namun, tangan nakal Dom seketika menarik ikat rambut istrinya sehingga tergerai lurus nan indah.
Terkejut dan ingin marah, Nisa meredam amarahnya sebisa mungkin dengan terus berdzikir dan segera mengambilkan minuman yang pria itu inginkan.
3 tahun lebih Nisa sudah menghindar dari semua itu, apalagi menyentuhnya, dan sekarang—dia menyentuh minuman beralkohol dan betapa menyengat sekali minuman itu, walaupun aroma tak seburuk beer murah.
“Seorang muslim tidak meminum ini semua, aku sekedar mengingatkan mu.” Ujar Nisa memberikan gelas tersebut.
Dom yang masih berdiri di dekat ranjang, pria itu menerimanya, meneguk minuman itu dengan sorot mata yang masih memandang ke istrinya.
“Dan ini adalah kehidupan ku, sekedar mengingatkan mu. My sexy girl.” Balas Dom berjalan melewatinya sembari memegang gelas tersebut, dia sibuk ke arah rak kecil yang tersusun buku, namun bukan buku yang pria itu cari, melainkan secarik kertas penting untuk nya dan bisnisnya.
Nisa masih tak berpaling dari suaminya, ada banyak pertanyaan dan kekesalan. Melihat Dom dalam keadaan tenang seperti saat ini, melihat pria itu membaca dengan teliti, sungguh terlihat tenang dan lebih baik.
“Bersihkan dirimu atau tidak sama sekali.” Kata Dom yang masih fokus ke keras penting itu dan sesekali meneguk minumannya.
Tentu saja, Nisa langsung pergi ke kamar mandi tanpa berdebat dan itu membuat Dom sekilas menatap kepergiannya dan kembali fokus.
Namun, pria itu berhenti sejenak, meletakkan gelas dan kertas tadi ke tempatnya, lalu keluar kamar. Entah apa yang dia cari, namun yang pasti saat ini Nisa terlihat bingung harus bagaimana caranya meminta pakaian secara baik-baik dan peralatan sholat.
“Setidaknya berikan aku sajadah!” gerutunya kesal sendiri mengingat suami angkuhnya itu.
.
.
.
“Berikan aku minumannya, akhir-akhir ini kau bekerja sangat lambat, Campbell!” ketus Ada menatap kesal saat dia menerima segelas teh nya.
“Maafkan saya Nyonya. Ini sudah di level seperti biasa— ”
Seketika pria itu terbungkam saat Ada menatapnya tajam. “Ma-maksudku... Karena mengurus maid-maid baru, membuat pekerjaan ku berganda!” jelasnya.
Ada mengerti, namun wanita itu masih kesal, saat dia hendak meneguk teh nya, ia menoleh ke kepala pelayan tadi. “Kau bertemu dengan wanita itu lagi?” tanya Ada sedikit berbisik karena dia takut Dom mendengarnya.
“Maksud Anda ...”
“Ck, Nisa! Apa yang wanita itu lakukan? Kita tidak bisa mempercayai orang asing sepertinya.” Sinis Ada yang memang dia benar-benar kurang kerjaan karena kerjaan nya hanyalah di rumah dan shopping.
“Dia— ”
Campbell langsung tertunduk dn bungkam saat ia melihat keberadaan Dom yang baru saja terlihat. Sadar akan hal itu, Ada menoleh dan melihat Dom kembali masuk menuju kamarnya. Untung saja jarak mereka sangat jauh.
Terlihat betapa tegangnya Ada melihat anak tirinya itu.
“Astaga, maafkan aku Nyonya, aku lupa akan perintah tuan Dom. Permisi sebentar!”
Dengan tergesa-gesa, Campbell segera pergi. Dia baru ingat, Dom menyuruhnya membawakan beberapa pakaian muslim wanita untuk Nisa, namun pria itu justru melupa.
“Mati aku.” Gumam Campbell yang berlari kecil dan segera mendatangi beberapa pelayan.
“Hey, kau! Cepat keluar dan belikan beberapa pakaian Muslim wanita dengan bahan yang bagus dan berkualitas, juga mahal. Ayo, cepat!” pinta Campbell sedikit tegas.
“Untuk apa? Aku sudah membawakan baju untuk nyonya Nisa.” Balas seseorang yang sangat dikenali suaranya oleh Campbell.
Saat pria itu menoleh, barulah dia memasang wajah sinis penuh percaya diri. Melihat musuh bebuyutan nya bernama Ellie.
“Oh, jadi kau datang kemari.” Sindir Campbell.
“Ya, lain kali bekerja lah dengan cepat. Camp—bell!” balas Ellie si kepala pelayan di mansion Dominic yang baru saja tiba atas perintah Dom sendiri beberapa jam yang lalu.