Ayla Navara, merupakan seorang aktris ternama di Kota Lexus. Kerap kali mengambil peran jahat, membuatnya mendapat julukan "Queen Of Antagonist".
Meski begitu, ia adalah aktris terbersih sepanjang masa. Tidak pernah terlibat kontroversi membuat citranya selalu berada di puncak.
Namun, suatu hari ia harus terlibat skandal dengan salah seorang putra konglomerat Kota Lexus. Sialnya hari ini skandal terungkap, besoknya pria itu ditemukan tewas di apartemen Ayla.
Kakak pria itu, yang bernama Marvelio Prado berjanji akan membalaskan dendam adiknya. Hingga Ayla harus membayar kesalahan yang tidak diperbuatnya dengan nyawanya sendiri.
Namun, nyatanya Ayla tidak mati. Ia tersadar dalam tubuh seorang gadis cantik berumur 18 tahun, gadis yang samar-samar ia ingat sebagai salah satu tokoh antagonis di dalam novel yang pernah ia baca sewaktu bangku kuliah. Namun, nasib gadis itu buruk.
“Karena kau telah memberikanku kesempatan untuk hidup lagi, maka aku akan mengubah takdirmu!” ~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Joy Jasmine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 ~ Alice Yang Sangat Berubah
Di sisi lain Alice yang melihat kejadian itu merasa hatinya seperti diremas. 'Apa ini? Jangan bilang kau cemburu, Alice?' rutuk Ayla pada respon tubuh Alice ini.
Berusaha menguasai diri, Alice mencoba untuk bersikap tidak acuh. Ia menarik napasnya panjang, kemudian mengeluarkannya dengan perlahan.
Setelah merasa hatinya cukup tenang, ia baru mulai melanjutkan langkahnya menuju toilet. Aldric yang melihat Alice sedang berjalan ke arahnya merasa sedikit senang. 'Sudah ku duga, dia tidak akan bisa melihatku dekat dengan gadis lain,' pikirnya dengan senyuman tipis yang mengembang.
Wajah datar yang Alice tunjukkan semakin membuat Aldric yakin bahwa gadis itu sedang cemburu padanya. Dengan cepat ia mengambil tangan gadis yang ia tabrak tadi.
"Sini aku lihat, apa tanganmu terluka?" tanya Aldric ambigu. Gadis itu bahkan harus mengerutkan keningnya, merasa bahwa pria tampan idola kampus ini sangat aneh.
"Maaf, tapi tanganku baik-baik saja," balas gadis itu sembari menarik tangannya agar terlepas dari cekalan pria aneh ini. Tapi Aldric malah semakin mempererat genggamannya.
Ia tidak mengindahkan perkataan gadis dihadapannya ini, malah sedang sibuk berhitung di dalam hati. Ia yakin bahwa dalam hitungan ketiga, maka akan terdengar teriakan cempreng yang dulunya selalu menghiasi hari-harinya.
'Satu ... dua ... dua 1/4 ... dua setengah... dua 3/4 ... tiga ... kenapa tidak ada?' hitungnya dengan serius. Ia bahkan berpura-pura untuk tidak mengetahui keberadaan Alice dengan menatap intens tangan gadis yang ia genggam.
Namun, ia salah besar. Tanpa menoleh sedikitpun, Alice berlalu begitu saja. Merasa belum ada tanda-tanda Alice akan berteriak, Aldric lalu mendongak dan mencari keberadaan gadisnya.
Namun ternyata Alice telah berada di posisi yang jauh. Ia tatap punggung gadis itu dengan tatapan tidak percaya.
"Hmm, hello. Tolong lepaskan tangan saya!" pinta gadis dihadapannya dengan raut wajah yang kesal.
"Eh? Hmm. Maaf, saya hanya ingin memastikan bahwa Anda tidak papa," jawab Aldric gelagapan. Hanya karena ingin membuat sang tunangan cemburu, ia malah memanfaatkan seorang gadis asing.
"Saya sungguh tidak apa-apa!" tegas gadis itu ketus sembari menghempas tangan Aldric yang masih menggenggamnya dan segera berlalu.
Aldric menatap tangannya, gadis ini adalah gadis pertama yang bisa menolak pesonanya. Meski sekarang ada Alice yang tidak mengacuhkannya, tapi dulunya Alice juga bertekuk lutut padanya.
"Sepertinya aku memang harus memanfaatkan gadis ini," gumamnya dengan senyuman penuh arti.
.
.
.
Kuliah hari ini telah usai, saat ini mahasiswa dari berbagai jurusan tengah berkumpul. Salah satunya adalah Alice, begitu juga dengan Aldric dan Olivia, gadis yang Aldric tabrak tadi.
Alice sebenarnya tidak begitu senang mengikuti UKM, tetapi syarat dari sang daddy agar diizinkan pindah jurusan adalah tetap harus belajar bisnis. Oleh karenanya ia berada di tempat ini sekarang, untung saja ada Lucy yang selalu setia di sampingnya.
Di sisi lain, Aldric tengah gencar mendekati Olivia. Tetapi matanya selalu melirik ke arah lain, dimana gadis dengan tatapan dingin itu berada. Gadis itu terlihat cuek, matanya tetap saja lurus ke depan, tidak melirik ke arahnya sama sekali.
Hatinya merasa dongkol, tapi tetap melanjutkan rencananya. Ia duduk di samping Olivia setelah mengusir seorang pria.
Olivia yang menyadari itu merasa kesal, sedari tadi pria ini selalu mengganggunya. Ia bangkit dan ingin mencari tempat lain, tapi setelah memindai seluruh ruangan, sama sekali tidak ada tempat yang tersisa.
Terpaksa ia harus duduk kembali dan menatap kesal Aldric yang saat ini telah menunjukkan senyum mengejek.
...
"Dorrr!"
"Astaga, ayam!" pekik Alice ketika ada seseorang yang mengejutkannya.
Sontak semua orang yang berada di ruangan itu tidak tahan untuk tertawa. Alice yang ditertawakan merasa malu, wajahnya memerah. Ia memang terbiasa dimaki, tapi jika ditertawakan ia tidak pernah.
Ia lalu menatap pria yang sedang menertawakannya, pria tampan dengan perawakan kekar dan tinggi tetapi memakai kacamata. Alice mencoba mengenalinya. 'Haven Hall?'
"Haven Hall," pekik Alice tanpa sadar, ia bahkan refleks memukul bahu pria itu. Setelah sadar, Ayla merasa aneh sendiri. Ia berpikir jika Alice pasti sangat akrab dengan pria ini.
"Aku dari tadi duduk di sampingmu dan kau malah seperti tidak mengenalku," gerutunya dengan wajah ditekuk. "Ah... aku memang kehilangan setengah dari ingatanku," jelas Alice menggigit kecil bibir bawahnya.
"Haha, kau ketahuan bohong kawan."
"Apa?"
"Saat kau berbohong, kau akan menggigit bibir mungilmu itu."
"Hah?"
"Sudahlah, jangan ngeles. Sejak kecil kita bertiga tumbuh di sekolah yang sama. Meski kau pendiam, tapi bagaimana tingkahmu, semuanya telah aku hapal." Haven tersenyum kecil sembari menaik-turunkan alisnya.
Alice pun bungkam, bibirnya mengerucut lucu. Kadang kala, Ayla memang tidak bisa mengendalikan ekspresi kecil yang akan tubuh ini keluarkan. Satu hal yang ia sadari, Alice merupakan gadis pendiam yang lebih suka berekspresi dibanding berkata secara langsung.
"Aku tahu, kau ingin melupakan Aldric dengan berpura-pura hilang ingatan kan?" tanya Haven dengan berbisik.
"Aku senang, akhirnya kau sadar. Tenang saja, aku tidak akan bilang pada siapapun kalau kau berpura-pura. Aku hanya tidak ingin kehilangan kedua sahabat kecilku," kata Haven membuat Alice tersenyum, senyuman yang teduh namun membuat panas hati seorang pria yang posisinya tidak jauh dari sana.
...
"Hey, kau berdiri saja! Aku mau duduk di sini," usir seorang gadis cantik pada Lucy.
"Eh, Nona Sylvia? Silakan duduk, Nona!" ucap Lucy ingin bangkit dari duduknya, namun tangannya digenggam erat oleh Alice.
"Lucy, kamu sudah duduk duluan disini. Jadi jangan memberikan sesuatu yang seharusnya milikmu pada orang lain!" pinta Alice dengan senyumnya yang menawan.
Sylvia mengepalkan tangannya, 'Apa benar rumor yang mengatakan kalau gadis tidak berguna ini hilang ingatan?'
Masih tidak percaya, ia lalu menunduk. "Lihatlah barisan disamping kananmu! Kekasihmu sedang bermesraan dengan gadis lain, kenapa kau malah diam saja disini? Seharusnya kau labrak dia!" bisiknya dengan penuh penekanan.
Alice pun menoleh, tatapannya langsung beradu dengan pria disebrang sana. Aldric tersenyum penuh provokasi, ia yakin kalau Alice sebentar lagi akan mengamuk. Tapi sedetik kemudian Alice malah berpaling, lalu dengan cuek menjawab, "Itu bukan urusanku."
"Hah? Dia tunangan mu! Dan kau malah dengan rela membiarkannya mendekati gadis lain?"
"Aku tidak masalah, lagian dia hanya sebatas tunangan dengan perjanjian keluarga. Urusan dia bukan urusanku. Jika kau tidak rela maka kau saja yang labrak!" sahut Alice dengan acuh tak acuh membuat napas Sylvia merasa sesak.
"Kau berubah, Alice. Aku tidak mau berteman denganmu lagi." Sylvia merajuk, kedua tangannya ia lipat di depan dada. Ini adalah cara terampuh ketika Alice mulai melawan apa yang ia katakan.
Namun Alice tetap bergeming, ia bahkan tidak menjawab ancaman gadis itu. Malu karena dilihat orang, Sylvia pun pergi dari sana.
"Henggg ... Aku sungguh tidak mau berteman denganmu lagi!" pekiknya sembari berjalan dengan menghentakkan kedua kakinya.
"Aku tidak tahu kau bisa keren seperti ini." Haven memandang gadis di sebelahnya dengan takjub.
Alice lalu menoyor dahi pria itu, kemudian keduanya tertawa bersamaan.
Sementara di tempat duduknya Aldric sedang memasang wajah kesal, ia kecewa ketika melihat Alice tidak peduli padanya.
...
Semuanya terdiam ketika pengurus UKM masuk ke sana. Para mahasiswi pun langsung kasak-kusuk, saling berbisik ketika melihat seorang pria dewasa juga turut masuk dibarisan paling belakang.
Postur tubuh yang gagah, kekar dan tinggi proporsional dengan wajah yang tak kalah indah dari bentuk tubuhnya. Belum lagi wajah dewasa itu dipadu dengan rahang tegas ditumbuhi bulu-bulu halus yang semakin menambah kadar ketampanannya.
Kasak-kusuk itu terhenti ketika salah seorang pengurus mulai membuka suara. Para anggota baru pun diminta untuk memperkenalkan diri masing-masing.
Sylvia yang duduk di pojok ruangan tersenyum sinis, ia tidak sabar menunggu giliran gadis tidak berguna itu. Karena ia tahu, Alice memiliki demam panggung. Bukan itu saja, jika dihadapkan pada situasi yang mendesak maka tangan, tubuh dan suara gadis itu pasti akan gemetar.
Namun, lagi-lagi ia harus menelan pil pahit. Meredam api di hatinya yang sejak tadi telah berkobar. Bagaimana tidak? Gadis bodoh yang selalu mengikuti perintahnya kini dengan percaya diri berdiri di depan sana.
Memperkenalkan diri dengan lancar dan menjawab semua pertanyaan dengan santai dan benar. Walau tangannya masih terlihat gemetar, tapi itu sama sekali bukan nilai minus bagi gadis itu.
Bahkan pembina yang tampan itu juga curi-curi memandang ke arahnya. Sementara di barisan yang lain, Aldric mengepal tangannya erat. Ia tidak rela gadis miliknya ditatap dengan tatapan memuja seperti itu. Sekalipun oleh kakaknya sendiri.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Tbc.
🌼🌼🌼🌼🌼