aku berdiri kaku di atas pelaminan, masih mengenakan jas pengantin yang kini terasa lebih berat dari sebelumnya. tamu-tamu mulai berbisik, musik pernikahan yang semula mengiringi momen bahagia kini terdengar hampa bahkan justru menyakitkan. semua mata tertuju padaku, seolah menegaskan 'pengantin pria yang ditinggalkan di hari paling sakral dalam hidupnya'
'calon istriku,,,,, kabur' batinku seraya menelan kenyataan pahit ini dalam-dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sablah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
seseorang yang hilang
Di pagi harinya, sinar matahari sudah masuk melalui celah jendela kamar, namun pasangan suami istri itu masih terlelap dalam kehangatan selimut. suasana begitu tenang hingga akhirnya Alda mulai menggeliat pelan. perlahan, matanya terbuka dan langsung tertuju pada jam dinding di kamarnya.
namun, begitu melihat waktu yang tertera, ia langsung terlonjak kaget.
"jam sebelas?!" serunya refleks.
suara Alda yang cukup nyaring membuat Rama ikut terbangun. ia mengerjap beberapa kali sebelum menoleh ke arah istrinya yang tampak panik.
"ada apa, Da?" tanyanya dengan suara serak khas orang yang baru bangun tidur.
"kita kesiangan, Rama!" jawab Alda cepat.
Rama menghela napas, lalu melirik jam dinding dengan santai sebelum kembali menatap Alda.
"bukankah kita masih masa cuti? kenapa panik seperti ini, Alda?"
Alda mendengus pelan. "tetap saja, Ram. ini sudah siang sekali!"
namun, ketika Alda hendak bangkit dari tempatnya, ia terlihat mendesah pelan, wajahnya sedikit meringis.
Rama yang tadinya santai langsung tersentak dan bangkit duduk. "ada apa, Da? kamu kenapa? apa yang sakit? kamu baik-baik saja?" tanyanya panik, ekspresinya langsung serius.
Alda menunduk sedikit, merasa malu untuk menjawab. melihat reaksi istrinya, Rama semakin cemas. "Alda, katakan padaku. kamu kenapa? jangan membuatku khawatir seperti ini. dimana letak sakitnya? beritahu aku!" desaknya lagi.
akhirnya, dengan suara pelan, Alda menjawab, "bagian bawahku... masih terasa nyeri."
sejenak, suasana hening. lalu, wajah Rama yang awalnya penuh kekhawatiran tiba-tiba berubah. seketika, rona merah menjalar ke pipinya.
Blush!....
Rama terdiam, dan kini gantian ia yang salah tingkah sendiri. pandangannya sedikit menghindar sebelum akhirnya berdeham pelan.
"aku… aku tidak menyangka kamu akan mengatakannya begitu terus terang," ujarnya sambil menggaruk tengkuknya, jelas-jelas merasa kikuk.
Alda memalingkan wajahnya, wajahnya semakin merona. "jangan bilang seperti itu!" protesnya pelan.
namun, Rama hanya tersenyum kecil melihat sikap salah tingkah dari Alda "tapi aku yakin setelah ini, aku bakal pastikan kamu tidak akan kesakitan lagi, Da"
Alda langsung menatapnya curiga. "maksudnya?"
Rama menyeringai. "nanti malam, kita coba lagi. biar kamu makin terbiasa."
"rama!!"
wajah Alda langsung merona, sementara Rama justru tertawa puas sebelum kembali menatap Alda dengan tatapan penuh perhatian. "apa aku harus mengambilkan sesuatu untukmu? apakah kamu butuh sesuatu untuk meredakan nyerinya?" tanyanya lembut.
Alda mengangguk pelan. "mungkin tolong bantu aku ke kamar mandi Ram, sepertinya aku sedikit kesusahan"
"baik, tunggu sebentar. aku akan siapkan handuk untuk mu" ujar rama sebelum beranjak turun dari tempat tidur.
namun, Alda langsung menoleh ke arahnya dan dengan cepat menutup wajahnya dengan selimut.
"Rama! kenapa kamu bangun begitu saja tanpa mengenakan apa pun?!" pekiknya.
Rama, yang baru menyadari hal itu, justru tersenyum santai. "kita sudah sah lahir batin sebagai suami istri, Da. apa yang perlu ditutupi?" katanya dengan nada menggoda.
"rama!" Alda semakin menenggelamkan wajahnya ke dalam selimut, sementara Rama melanjutkan tawanya sebelum akhirnya mengenakan pakaian dan membantu Alda bangkit dari ranjang ini.
**********
beralih ke belahan bumi lain,
di sebuah ruangan perusahaan yang megah namun terasa mencekam, tiga orang terlihat tengah terlibat dalam percakapan serius. dua di antaranya adalah pria bertubuh tinggi besar dengan pakaian serba hitam, ekspresi mereka tampak tegang dan sedikit berkeringat. dengan postur yang gagah dan wajah yang dipenuhi bekas luka serta tatapan tajam, jelas keduanya bukan orang sembarangan.
sementara itu, di hadapan mereka, seorang wanita tengah berdiri dengan tangan terlipat di depan dada. wajahnya yang biasanya tenang kini berubah penuh amarah. dia adalah Karina, dan saat ini, jelas bahwa kesabarannya telah mencapai batas.
"bagaimana bisa kalian sampai selelalai ini?!" bentaknya tajam.
kedua pria itu saling melirik, tampak ragu sebelum akhirnya salah satu dari mereka, yang memiliki suara berat dan serak, menjawab dengan nada hati-hati.
"kami benar-benar kelolosan, bos... wanita itu hanya bilang ingin ke supermarket sebentar. kami tidak mengira dia akan..... "
"diam!" suara Karina membelah ruangan. wajahnya semakin merah padam. "lalu kenapa kalian membiarkan dia pergi sendirian, hah?! bodoh sekali!"
pria lainnya, yang memiliki tubuh lebih kekar, mencoba memberi penjelasan. "maaf, bos... kami pikir tidak ada masalah karena supermarket itu dekat dengan apartemen kita."
Karina menghela napas panjang, mencoba menahan emosinya. tangannya mengepal, seolah ingin menghantam sesuatu. "aku tidak peduli seberapa dekat supermarket itu! seharusnya kalian tetap mengawasinya! kalau sampai terjadi sesuatu padanya..." ia menatap mereka dengan tatapan mengintimidasi. "aku tidak akan mengampuni kalian!"
kedua pria itu menunduk, merasakan tekanan luar biasa dari wanita di hadapan mereka. tanpa menunggu perintah lebih lanjut, mereka langsung mengangguk cepat.
"kami akan menemukannya, bos!"
Karina mengepalkan tangannya kuat-kuat, matanya memancarkan amarah yang sulit dibendung. suaranya terdengar tegas dan penuh tekanan saat ia berkata, "aku akan ikut mencarinya!"
kedua pria bertubuh besar itu langsung menegakkan tubuh, menunjukkan kesiapan mereka. namun, sebelum ada yang sempat berbicara, Karina melanjutkan dengan nada yang semakin tajam.
"sebarkan juga anak buah kalian! aku tidak peduli bagaimana caranya, cari dia di setiap sudut kota! sebelum malam datang, aku mau dia kembali dalam keadaan selamat!"
tatapan Karina menusuk, membuat kedua pria itu merasa semakin tertekan. mereka tahu bahwa ini bukan sekadar perintah biasa, ini adalah ultimatum.
salah satu pria itu akhirnya memberanikan diri bertanya, "apakah ada kemungkinan dia memang sengaja kabur, bos?"
Karina memicing tajam, membuat pria itu langsung menelan ludah. dengan suara yang lebih pelan namun jauh lebih menakutkan, Karina menegaskan, "kalian tahu dia tengah mengandung! dua nyawa sedang dipertaruhkan dalam situasi ini. jika sesuatu terjadi padanya... kalian tahu sendiri akibatnya."
ruangan mendadak sunyi. dua pria itu saling melirik sebelum dengan cepat mengangguk.
"kami mengerti, bos. kami akan mencarinya sekarang juga!"
"kami pastikan sebelum malam tiba, dia sudah ditemukan!"
tanpa menunggu lebih lama, keduanya langsung bergegas keluar dari ruangan, meninggalkan Karina yang masih berdiri dengan wajah serius.
ia menggigit bibirnya, pikirannya kacau. 'kau kemana Nay? jangan menghilang seperti ini, bagaimana jika terjadi apa-apa dengan kalian?' gumamnya dalam hati.
Karina menarik napas dalam, lalu meraih ponselnya. ada satu orang lagi yang harus ia hubungi. tidak ada jalan lain, wanita itu harus ditemukan, dengan cara apa pun.
Karina menggenggam ponselnya erat, menekan nomor seseorang dengan gerakan cepat. suaranya masih terdengar dingin dan penuh otoritas ketika panggilannya tersambung.
"aku butuh bantuanmu."
suara di seberang terdengar ragu. "ada apa? kau terdengar tidak sabar."
Karina mendesis, "seseorang telah kabur dari penginapan ku. aku ingin kau membantu mencarinya. aku tidak bisa mempercayakan ini hanya pada anak buah bodoh itu."
ada jeda sebentar sebelum suara di seberang bertanya, "siapa yang hilang?"
Karina menggigit bibirnya, matanya sedikit menyipit. "tidak perlu tahu banyak. yang jelas dia sedang mengandung. aku ingin dia kembali dengan selamat sebelum malam ini."
"mengandung?" suara itu terdengar lebih serius. "berarti dia bukan orang biasa."
"tentu saja tidak," karina menjawab cepat. "aku tidak akan repot-repot kalau dia bukan orang penting."
"baik, aku akan cari informasi dan menghubungimu kembali."
tanpa basa-basi, Karina menutup telepon. napasnya terdengar berat. ini bukan pertama kalinya ia menangani situasi seperti ini, tapi kali ini taruhannya lebih besar, dua nyawa sekaligus.
ia berjalan ke arah jendela besar di ruangan itu, menatap kota yang ramai dengan ekspresi gelap.
tangannya mengepal. tidak ada pilihan lain, ia harus turun langsung ke lapangan.
dengan langkah tegas, ia mengambil kunci mobilnya dan keluar dari ruangan.
**********
skip di sore hari nya,
matahari mulai condong ke barat, sinarnya menghangatkan halaman rumah Alda yang teduh. Rama dan Alda berdiri di ambang pintu, siap untuk berpamitan. di hadapan mereka, Ayah, Ibu, serta Kakek dan Nenek Alda berdiri dengan ekspresi yang bercampur aduk, ada haru, ada kebanggaan, dan tentu saja, ada keengganan untuk berpisah terlalu lama.
sang Ibu menggenggam tangan Alda erat, seolah belum rela melepas putri semata wayangnya. "nak, jangan lupa jaga kesehatan, ya. jangan terlalu lelah mengurus rumah. kalau butuh sesuatu, jangan ragu untuk menghubungi Ibu." suaranya terdengar lembut, namun penuh dengan kekhawatiran.
Alda tersenyum, mengangguk kecil. "iya, Ibu. Alda pasti baik-baik saja, Ayah dan Ibu mertua Alda sangat baik disana. mereka menganggapku seperti anak mereka sendiri"
sang Ayah, yang sejak tadi diam dengan tangan terlipat di dada, akhirnya bersuara. "Rama, aku titip Alda padamu. aku tahu kamu laki-laki yang bertanggung jawab, jadi jagalah dia baik-baik." tatapannya tegas namun penuh makna.
Rama menundukkan sedikit kepalanya dengan hormat. "tentu, Yah. saya akan selalu menjaganya. Alda adalah tanggung jawab saya sekarang."
sang Ayah mengangguk puas, lalu menepuk bahu Rama perlahan.
kemudian, sang Nenek yang sejak tadi duduk di kursi kayu tua akhirnya berdiri dengan bantuan tongkatnya. ia menatap Alda dengan mata berkaca-kaca. "cucuku, jangan lupa sering-sering pulang. rumah ini akan terasa lebih sepi tanpa kehadiranmu."
Alda tak bisa menahan senyum harunya. ia meraih tangan neneknya, mengecupnya dengan penuh kasih. "aku akan datang setiap minggu, Nek. aku janji."
sang Kakek yang sedari tadi diam, akhirnya ikut berbicara, suaranya berat namun hangat. "jangan terlalu sibuk jadi istri sampai lupa jadi cucu kami"
Alda tertawa kecil, mencoba mengusir suasana sendu yang mulai terasa. "aku tidak akan pernah lupa, Kek."
melihat kehangatan keluarga Alda, Rama semakin yakin bahwa istrinya dibesarkan dalam lingkungan yang penuh kasih sayang. ia pun semakin berjanji dalam hati untuk menjaga Alda sebaik mungkin.
setelah berpamitan sekali lagi, mereka akhirnya berjalan menuju mobil. Alda masih melambai hingga mobil bergerak menjauh dari halaman rumahnya. di dalam mobil, ia diam sejenak, menatap ke luar jendela, melihat bayangan keluarganya yang perlahan mengecil.
Rama yang melihatnya hanya tersenyum tipis, lalu meraih tangannya dan menggenggamnya erat. "kamu sedih?"
Alda menggeleng cepat, lalu tersenyum. "bukan sedih, hanya merasa sedikit... aneh. dulu aku selalu pulang ke rumah itu setelah bepergian, tapi sekarang aku pulang ke rumah yang lain."
Rama mengangguk paham. "itu wajar, Da. tapi jangan khawatir, kita akan sering ke sana. kamu juga sudah janji ke nenek, kan?"
Alda tersenyum lega. "iya, Ram"
dengan perasaan yang lebih ringan, mereka pun melanjutkan perjalanan. namun, tanpa Alda sadari, Rama justru mengambil jalur berbeda dari rute biasanya.
Alda mengira mereka akan langsung pulang ke rumah, tetapi setelah beberapa menit berkendara, Alda akhir nya sadar dengan arah yang dia lewati sekarang ini.
Alda mengernyit, menoleh ke arah laki-laki disamping nya. "Ram, ini kan bukan jalan menuju ke rumah kita?" tanyanya penasaran.
Rama hanya tersenyum misterius. "benar, Da. aku ingin mengajakmu di tempat lain dulu, sebelum kita pulang"
beberapa menit kemudian, mobil mereka memasuki area yang lebih ramai, penuh dengan pedagang kaki lima dan lampu-lampu kecil yang mulai dinyalakan. ada aroma makanan khas pasar yang menggoda, suara anak-anak bermain di wahana kecil, serta orang-orang yang asyik menikmati suasana sore.
Alda menatap pemandangan di luar jendela dengan mata berbinar. begitu mobil berhenti, ia langsung turun dengan penuh antusias.
"wah, ini kan....?!" serunya penuh semangat.
Rama terkekeh melihat reaksinya. "iya, ini memang pasar kaget, Da. setiap sore, tempat ini selalu ramai."
tanpa di duga, Alda langsung memeluk lengan suaminya erat, wajahnya berseri-seri. "sudah lama aku tidak datang ke tempat seperti ini, Ram. aku sangat bahagia!"
"hahaha... ternyata kamu masih sama, sesederhana itu," Rama tertawa kecil. "aku sering ke sini jika waktuku sedang senggang."
"tapi kenapa jauh-jauh ke sini, Ram? bukankah disekitar rumah kita juga banyak makanan?"
"aku ke sini bukan hanya untuk tujuan itu, tapi juga untuk memancing." Rama menunjuk ke arah sebuah area pemancingan yang cukup ramai.
Alda menatapnya dengan rasa sedikit tidak percaya. "kamu memancing?"
"benar. Ibu tidak terlalu menyukai ikan laut, jadi aku dan Ayah sering memancing sendiri. ikan air tawar lebih segar dan lebih menyenangkan juga proses menangkapnya."
alda tampak berpikir sejenak, lalu tersenyum lebar. "aku juga mau melihat kamu memancing, Ram! apa kamu tidak keberatan kalau aku ikut?"
Rama menoleh dengan ekspresi sedikit terkejut. "kamu yakin? memancing itu butuh kesabaran. bisa membosankan kalau cuma menunggu."
Alda mengangguk mantap. "aku yakin! seumur hidup aku belum pernah melihat orang memancing secara langsung. aku ingin merasakannya bersama kamu."
senyum Rama semakin lebar mendengar jawaban itu. dengan tangan yang masih menggenggam erat jemari alda, ia mengajaknya melangkah ke area pemancingan.
"baiklah, kalau begitu aku akan menunjukkan keahlian memancingku padamu. aku janji kita akan pulang dengan membawa banyak ikan sore ini!"
akhirnya mereka pun berjalan berdampingan, menikmati sore yang perlahan beranjak menuju senja.