aku berdiri kaku di atas pelaminan, masih mengenakan jas pengantin yang kini terasa lebih berat dari sebelumnya. tamu-tamu mulai berbisik, musik pernikahan yang semula mengiringi momen bahagia kini terdengar hampa bahkan justru menyakitkan. semua mata tertuju padaku, seolah menegaskan 'pengantin pria yang ditinggalkan di hari paling sakral dalam hidupnya'
'calon istriku,,,,, kabur' batinku seraya menelan kenyataan pahit ini dalam-dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sablah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
menyatu
Keadaan malam harinya,
suasana rumah Alda terasa hangat dan penuh keakraban malam itu. mereka semua berkumpul di ruang makan yang cukup luas dengan pencahayaan lampu gantung yang memberikan nuansa tenang. meja makan besar dari kayu jati terletak di tengah ruangan, lengkap dengan hidangan rumahan yang tersaji rapi, nasi hangat, sup ayam, sayur tumis, dan ikan goreng. aroma masakan menguar lembut, menambah kenyamanan suasana.
di meja makan, posisi duduk telah tertata rapi. Nenek dan Kakek Alda duduk di tengah, menjadi pusat keluarga. di sebelah kiri mereka, ada Ayah dan Ibu alda yang duduk berdampingan. sementara di seberang mereka, Alda dan Rama duduk berdampingan, mencoba menikmati makan malam pertama mereka sebagai pasangan suami istri di rumah ini.
perbincangan awal berjalan ringan. Ayah Alda dengan suara tegas namun ramah bertanya kepada rama tentang kesehariannya.
"jadi, Rama, bagaimana pekerjaanmu sekarang?" tanyanya sambil menyendok nasi ke piringnya.
Rama menelan makanannya sebelum menjawab sopan, "alhamdulillah, Yah. sejauh ini lancar. saya masih menangani beberapa proyek baru di kantor."
Ibu Alda tersenyum, ikut menimpali, "syukurlah kalau begitu. yang penting Alda juga merasa nyaman denganmu."
Alda hanya diam, sibuk menyantap makanannya. ia tidak banyak bicara, hanya sesekali mengangguk sebagai tanda ia mendengarkan.
namun, suasana mendadak berubah ketika kakek Alda yang sedari tadi diam, tiba-tiba menyahut dengan nada serius.
"kesehatanmu masih aman, kan?" tanyanya, membuat semua orang menoleh kepadanya.
Rama mengerutkan kening, sedikit bingung. "maksud kakek?"
kakek Alda menatapnya tajam sebelum melanjutkan dengan pertanyaan yang lebih mengejutkan.
"bibitmu masih subur? kau yakin bisa memberi Alda keturunan?"
seisi meja makan langsung terdiam. keheningan menyelimuti ruangan, hanya suara denting sendok dan garpu yang tiba-tiba terasa nyaring. Alda yang sedang menyendok sup langsung menghentikan gerakannya. Ibu dan ayahnya saling berpandangan, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.
"Kakek…" Alda berusaha membuka suara, tapi kakeknya kembali berbicara sebelum ada yang bisa menghentikannya.
"jika kau tidak bisa," lanjutnya dengan nada serius, "maka biarkan cucuku menikah dengan pilihanku."
Rama terdiam. rahangnya mengatup erat, tapi ia tetap berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang. sementara itu, Alda menatap kakeknya dengan pandangan tak percaya.
namun sebelum Rama membuka pembicaraan, Nenek Alda akhirnya angkat bicara, suaranya terdengar sedikit tegas menegur lelaki paruh baya ini.
"Samir? bijaklah dalam bertutur sapa, jangan seperti ini" tegurnya dengan tatapan sedikit menyudutkan.
Kakek hanya mendengus, menoleh kepada nenek dengan ekspresi tak kalah serius.
"aku hanya memastikan," katanya. "jika Rama tidak sempurna sebagai laki-laki, maka biarkan aku menjodohkan Alda dengan Gani. mereka lebih cocok."
Alda mencengkram sendoknya erat, menahan emosi yang bercampur aduk. sementara Rama menelan ludah, berusaha menahan amarah yang mulai muncul dari dalam dirinya. meja makan yang sebelumnya dipenuhi percakapan hangat kini terasa dingin dan menekan.
semua orang masih diam, mencerna kata-kata tajam yang baru saja dilontarkan.
"Alda hanya menganggap Gani sebagai teman, kek, tidak pernah lebih." ucap Alda akhirnya, mencoba meredam suasana.
namun, sang kakek kembali bersuara, tidak mau kalah.
"Gani lebih mengenalmu daripada Rama," katanya. "dan Gani sudah izin pada kakek jauh-jauh hari sebelum kalian menikah seperti ini. dia mengatakan akan serius denganmu, Alda. tapi nyatanya semua malah jadi seperti ini."
Ayah Alda yang sedari tadi menahan diri akhirnya menyela.
"kek, pilihan Alda adalah lelaki yang sekarang ada disamping nya. jadi biarkan dia bahagia dengan pilihannya."
Ibu Alda pun ikut menyahut dengan nada lembut namun tegas.
"benar, kakek. sepertinya Alda sangat bahagia dengan Rama. dan lagi, saya yakin Rama akan bertanggung jawab terhadap cucu kakek."
kakek Alda menggeleng pelan, tetap dengan pendiriannya.
"aku tetap teguh dengan pendirianku," katanya dengan suara dalam. "jika Rama tidak kunjung memberikan keturunan dari rahim Alda, maka aku akan pisahkan mereka berdua."
kali ini Alda tidak bisa diam lagi. ia menarik napas dalam-dalam, lalu menatap kakeknya dengan penuh ketegasan.
"Alda akan lakukan hal ini segera, Kek. Alda dan Rama akan mengusahakannya," ucap Alda seraya menggenggam tangan Rama yang berada di atas meja makan, kemudian segera bangkit dari kursi mereka "kami akan istirahat lebih dulu, selamat malam"
akhirnya setelah makan malam yang penuh ketegangan itu, Alda dan Rama berjalan menuju kamar mereka dalam diam. suasana begitu hening, hanya terdengar langkah kaki mereka menyusuri koridor rumah.
saat tiba di kamar, Alda membuka pintu lebih dulu, lalu masuk dengan langkah ragu. Rama mengikutinya, menutup pintu dengan lembut. ruangan itu terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah ikut menampung kecanggungan yang melingkupi mereka.
Alda duduk di tepi tempat tidur, jari-jarinya saling menggenggam dengan gelisah. sementara itu, Rama tetap berdiri di dekat pintu, menghela napas pelan sebelum akhirnya berjalan mendekat dan duduk di sampingnya.
"kamu tidak apa-apa, Da?" tanyanya dengan suara lembut, menoleh ke arah Alda yang masih menunduk.
Alda mengangguk pelan, tapi dari cara ia menggigit bibir bawahnya, jelas ada sesuatu yang mengganggunya. "aku cuma… memikirkan apa yang kakek bilang tadi," ujarnya akhirnya.
"tentang Gani, ya?" tanya Rama, memastikan.
Alda hanya mengangguk pelan, suaranya hampir tak terdengar. "iya, Ram. aku tidak menyangka kakek bisa berpihak padanya. aku merasa... merasa bersalah, dan takut kamu marah."
Rama menghela napas, mencoba menenangkan. "tidak apa-apa, Da. kakek tidak salah. Gani lebih dulu mengenalmu, jadi dia mungkin merasa dia bisa menjagamu lebih baik. tapi... aku tahu, itu semua hanya karena dia peduli padamu." Rama menatap Alda dengan lembut, lalu memberanikan diri menggenggam satu tangannya, memberikan sentuhan yang menenangkan.
Alda menatapnya, mencoba mencari rasa aman dalam pandangannya. "tapi aku tidak pernah memiliki perasaan apapun untuk Gani"
Rama hanya tersenyum kecil, seraya mengangguk pelan, seolah merasa lega dengan jawaban ini. "dan untuk masalah anak, kita tidak harus melakukan sekarang, Da. kita lupakan itu dul...."
"aku siap, Ram," katanya pelan. " dan ini bukan hanya karena kakek. aku ingin menjalani pernikahan ini sepenuhnya… dengan mu." Alda menatapnya, kali ini dengan sorot mata lebih yakin.
Rama menatapnya dalam, memastikan bahwa kata-kata itu benar-benar datang dari nya. ketika ia melihat ketulusan dalam mata Alda, Rama pun tersenyum tipis.
"Alda..," katanya dengan suara tenang, lalu menggenggam tangan istrinya yang dingin. "kita jalani ini dengan perlahan, ya? aku nggak mau kamu merasa terpaksa atau terburu-buru. kita punya waktu."
Alda mengangguk, lalu menarik napas dalam sebelum akhirnya berbisik, "Ram… tolong nanti pelan-pelan, ya? aku takut."
sejenak, rama terdiam. ia mengeratkan genggamannya, menenangkan Alda dengan sentuhan lembut.
"aku janji," ucapnya. "aku akan selalu menjaga kamu."
Alda menatap Rama, dan kali ini, ia benar-benar merasa tenang. malam itu bukan lagi tentang tuntutan atau paksaan, tapi tentang mereka berdua yang memilih untuk menjalani kehidupan pernikahan ini bersama, satu langkah demi satu langkah.
di dalam kamar yang hanya diterangi lampu tidur berwarna temaram, Alda duduk di tepi ranjang dengan jantung berdebar. suasana masih terasa canggung, meskipun mereka sudah mencoba berbicara sebelumnya.
Rama berdiri tak jauh dari tempat tidur, menatap istrinya dengan lembut. ia tahu ini adalah pertama kalinya bagi alda, dan ia tak ingin membuatnya merasa tertekan. dengan langkah hati-hati, ia duduk di samping alda, meraih tangannya yang terasa sedikit dingin.
"kamu masih yakin?" tanyanya pelan, suaranya dalam dan menenangkan.
Alda mengangguk, meski wajahnya memerah. ia mencoba tersenyum kecil, tapi gugupnya begitu jelas. "iya… tapi, Ram… tolong nanti pelan-pelan,"
Rama tersenyum tipis, mengangkat tangan Alda dan mengecupnya dengan penuh kelembutan. "aku ngerti. kita nggak perlu terburu-buru."
hening sejenak. Alda menatap suaminya, mencari keyakinan dalam sorot matanya, dan rama membalasnya dengan tatapan penuh ketulusan. ia mengangkat tangan, menyentuh pipi Alda dengan hangat, membiarkannya terbiasa dengan kehadiran dan kedekatan mereka.
Alda menunduk sesaat, malu, sebelum akhirnya membisik, "aku nggak tahu harus ngapain… aku takut kalau nanti aneh."
Rama terkekeh pelan, tapi bukan untuk menertawakannya. "nggak ada yang aneh, Da. ini pertama kali buat kita berdua sebagai suami-istri. kita sama-sama belajar, kan?"
Alda mengangguk pelan, menarik napas dalam untuk menenangkan dirinya.
Rama menunggu, tidak terburu-buru, membiarkan Alda yang mengambil langkah lebih dekat. ia hanya ingin memastikan satu hal, bahwa malam ini bukan tentang tuntutan siapa pun, tapi tentang mereka berdua yang mencoba memahami dan menerima satu sama lain, sepenuhnya.
...........................
Rama menarik selimut, menyelimuti mereka berdua setelah segalanya berlalu dalam keheningan yang penuh makna. suasana kamar terasa tenang. hanya terdengar desahan napas pelan dari keduanya. Alda berbaring dengan posisi nyaman di samping Rama, wajahnya masih semburat merah, napasnya sedikit tersengal, tapi matanya terlihat lebih lembut sekarang. Rama perlahan meraih tangan Alda dengan lembut, lalu menatapnya dan bertanya dengan suara cukup lirih "apa kamu baik-baik saja, sayang?"
Alda yang hampir terlelap tiba-tiba tersentak. matanya terbuka sedikit, lalu menatap Rama dengan ekspresi terkejut. "sa-sayang?" tanyanya pelan, suaranya masih terdengar sedikit lelah.
Rama tersenyum kecil melihat reaksi Alda. ia lalu mengangkat tangan, menyelipkan beberapa helai rambut yang jatuh di wajah Alda sebelum menjawab dengan suara tenang, "sekarang kamu milikku sepenuhnya, Da."
Alda masih diam, matanya menatap Rama lekat-lekat, seolah mencoba memahami kata-katanya.
"terima kasih sudah memberikan hal berharga dalam hidupmu saat ini," lanjut Rama, menatap Alda dengan penuh ketulusan. "aku janji akan menjagamu dan bertanggung jawab penuh dengan hidupmu."
Rama semakin mengeratkan genggaman nya, mengusapnya dengan ibu jarinya, seakan ingin meyakinkan Alda bahwa ia benar-benar serius dengan kalimat yang baru saja ia lontarkan.
"jadilah istriku yang nyata, Da," ucapnya dengan nada penuh kehangatan. "di luar dari masalah pernikahan dadakan itu, sekarang tempatkan aku sebagai suamimu yang sesungguhnya."
Alda menatap Rama dalam diam, jantungnya berdebar lebih kencang dari sebelumnya. kata-kata itu terasa begitu dalam, lebih dari sekadar janji, lebih dari sekadar ikatan pernikahan yang terjadi karena keadaan.
setelah beberapa saat, Alda menarik napas pelan, lalu mengangguk kecil. "Ram.., tolong jangan ingkari ucapan mu ini, aku.... aku sudah serahkan hal paling berharga di hidupku. aku mohon.. bertanggung jawablah dengan sisa hidupku kedepan nya" ucapnya, kali ini dengan suara yang lebih lembut.m dan sedikit bergetar.
Rama tersenyum, lalu mendekatkan wajahnya dan mengecup kening istrinya dengan penuh kasih sayang. "aku janji akan menjagamu sampai tugasku di dunia ini selesai, sayang. aku akan tetap di sini, selalu di sisimu."
Alda mengeratkan genggaman tangannya di jemari rama, lalu memejamkan mata dengan perasaan yang jauh lebih tenang. untuk pertama kalinya, ia merasa pernikahan ini bukan lagi sesuatu yang menakutkan, tapi sesuatu yang bisa ia jalani dengan hati yang lebih terbuka.
malam itu, di bawah redupnya cahaya lampu tidur, mereka berdua memulai langkah baru sebagai sepasang suami istri, bukan karena keadaan, tapi karena mereka memilih untuk menjalani kehidupan ini bersama.