Di masa depan, dunia telah hancur akibat ledakan bom nuklir yang menyebabkan musim dingin global. Gelombang radiasi elektromagnetik yang dahsyat melumpuhkan seluruh teknologi modern, membuat manusia kembali ke zaman kegelapan.
Akibat kekacauan ini, Pulau Bali yang dulunya damai menjadi terjerumus dalam perang saudara. Dalam kehidupan tanpa hukum ini, Indra memimpin kelompok Monasphatika untuk bertahan hidup bersama di tanah kelahiran mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 12
Alex masih terpaku tak percaya dengan kondisi sahabatnya. Hampir tiga tahun lebih mereka berperang di tengah krisis musim dingin yang kejam, tapi baru kali ini ia melihat Aryandra babak belur seperti ini.
Wajah Aryandra dipenuhi lebam, tubuhnya penuh luka tebasan yang cukup dalam, dan pakaiannya dikotori oleh darah yang mulai mengering. Napasnya tersengal-sengal, seolah setiap tarikan udara adalah pertarungan tersendiri.
Alex menelan ludah. Ia tahu bahwa kecepatan serangan Aryandra berada di level yang mengerikan, sehingga tidak ada orang yang bisa membuatnya seperti ini dalam pertarungan satu lawan satu. Siapapun Indra Bhupendra ini, ia pasti bukan petarung biasa.
Pikirannya melayang berusaha mencerna situasi yang berubah begitu cepat. Namun, lamunannya tiba-tiba dipotong oleh teriakan Aryandra yang memecah kesunyian.
“Awas, Alex!”
Suara itu menyentak Alex, tapi semuanya sudah terlambat. Indra, dengan gerakan gesit seperti ular, telah menusukkan belati tajam ke paha Alex.
“Arghhh!” Rintihan Alex menggema karena rasa sakit yang menusuk hingga ke tulang. Darah segar mengalir deras, hingga menetes ke aspal di bawahnya.
Di sisi lain, Luthfi, yang kesadarannya telah pulih sepenuhnya, tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dengan gerakan lincah, ia melompat ke arah Alex, meraih lehernya, dan memutar tubuhnya dengan kekuatan penuh. Alex, yang sudah terluka, tak mampu menahan serangan itu. Tubuhnya terbanting ke tanah dengan keras hingga membuat debu beterbangan di sekitarnya.
Luthfi tak memberi waktu. Ia langsung mengunci erat leher Alex dengan kedua tangannya seperti seorang pegulat profesional. Alex berusaha melepaskan diri, tapi kuncian Luthfi terlalu kuat. Ditambah lagi, luka di pahanya yang membuatnya sulit bergerak, sehingga ia terjebak dalam cengkeraman yang mematikan.
“Oi, Luthfi, udah lepasin aja dia.” Ujar Indra dengan suara datar.
“Hah?! Lalu membiarkan raksasa ini membunuh kita semua?” Luthfi membalas dengan wajah keheranan.
“Santai aja. Aku rasa ngga ada satu pun dari kita yang bisa bertarung lagi sekarang.” Jawab Indra dengan nada malas, sambil menatap sekeliling dengan pandangan lelah.
Luthfi mengikuti pandangan Indra. Ia melihat Chakra masih terkapar, Aryandra yang babak belur, dan Indra sendiri yang berlumuran darah. Pasukan dadakan Monaspathika yang terdiri dari warga desa sudah dilumpuhkan dan diikat oleh Pasukan Badung.
“Shit, jadi kita kalah, ya?” Luthfi menggerutu, perlahan melonggarkan kunciannya.
“Begitulah. Tapi untungnya, aku rasa ngga ada satupun dari mereka yang berniat membunuh.” Jawab Indra, mencoba menenangkan situasi.
Luthfi tertegun dan memandang sekeliling sekali lagi. Kali ini, ia menyadari sesuatu.
“B-benar juga, ya. Tidak ada satupun warga desa yang dibunuh oleh mereka.” Gumamnya penuh keheranan.
“Tepat sekali.” Sahut Aryandra, yang perlahan mendekat dan duduk di hadapan Indra, Luthfi, dan Alex. Wajahnya masih penuh luka, tapi sorot matanya tetap tegas.
“Kami memang memiliki prinsip dan keyakinan untuk sebisa mungkin tidak membunuh orang lain, sekalipun berada dalam medan perang.” Tambah Aryandra dengan suara tenang dan penuh wibawa.
Luthfi dan Indra saling memandang dengan tatapan penuh keheranan. Mereka seperti tidak percaya bahwa orang seperti ini benar-benar masih ada di dunia.
“Kalian ini orang-orang yang aneh, ya.” Celetuk Luthfi, setengah menyindir.
“Hei, jangan hitung aku. Aku bisa saja membunuh kalian semua selama Aryandra tidak mengetahuinya.” Ucap Alex sambil mencoba duduk meski wajahnya masih mengernyit kesakitan.
Indra menghela napas berat, lalu bertanya dengan nada serius. “Oke, sebagai pihak yang kalah dan entah kenapa masih diberikan kesempatan untuk hidup, kau mau kami melakukan apa?”
Aryandra menatap langit sejenak, seolah mencari jawaban dari awan yang melintas. Kemudian, ia menatap Indra dengan tatapan penuh arti. “Pertama-tama, mungkin jelaskan dulu tujuan kalian menyerang tempat ini.” Pinta Aryandra.
Indra menghela napas lagi, lalu mulai bercerita.
“Singkatnya, wilayah kami diserang oleh Pasukan Keamanan Tabanan. Dari informasi yang aku dapat, hasil panen masyarakat Tabanan menurun drastis, sementara para petinggi mereka semakin rakus. Karena itu, aku berniat mengambil alih Tabanan duluan sebelum mereka menghancurkan wilayah kami.”
Aryandra dan Alex tertegun mendengar penjelasan Indra. Mereka baru menyadari bahwa bukan hanya wilayah Badung saja yang menjadi korban penjarahan orang-orang Tabanan.
“Kami juga dijarah oleh beberapa masyarakat Tabanan.” Ujar Aryandra memberitahu. “Karena itulah kami datang ke sini untuk membuat perjanjian dengan Bupati Tabanan. Namun, beliau meminta kami mempertahankan wilayah ini terlebih dahulu sebelum setuju membuat perjanjian.”
Indra dan Luthfi saling memandang, lalu tertawa kecil. “Oi, kau nggak sadar kalau Bupati Tabanan berniat membunuhmu di peperangan tadi sehingga dia tidak perlu membuat perjanjian denganmu?” Tanya Indra, setengah tidak percaya.
“Aku sadar, kok. Tapi pada akhirnya, aku masih hidup dan berhasil memenuhi keinginannya, kan?” Jawab Aryandra dengan senyuman di wajahnya.
Indra dan Luthfi terbelalak, tak menyangka jawaban itu. “Baru pertama kali aku mendengar jawaban bodoh yang sulit untuk dibantah.” Celetuk Indra menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Yap, itulah pemimpin kami.” Balas Alex tersenyum kecut.
Aryandra tertawa kecil, lalu perlahan berusaha bangun. Ia menatap Indra dan Luthfi dengan tatapan penuh makna. “Bagaimana kalau kalian ikut denganku bertemu dengan Bupati Tabanan untuk membuat perjanjian?” Tanyanya tiba-tiba.
“Hah?!” Indra dan Luthfi serentak terkejut, tak mengerti maksud pertanyaan itu.
“Yah, karena Bupati Tabanan berniat membunuhku di pertempuran tadi, rasanya aku ingin memberi sedikit kejutan dengan memperlihatkan bahwa dua pihak yang ia adu malah bersatu dan membuat sebuah aliansi baru.” Jelas Aryandra dengan mata berbinar penuh rencana.
“Selain itu, bisa dibilang semua hal ini terjadi karena ulahnya. Jadi, sepertinya tidak masalah jika kita menjahilinya sedikit, kan?” Tambahnya dengan ekspresi wajah jahil.
“Haha… Hahahaha!” Indra tertawa lepas penuh keheranan sekaligus kekaguman. Ia bangkit dari duduknya, kemudian menatap Aryandra dengan mata yang membara.
“Kau ini benar-benar aneh. Tapi, idemu itu pantas untuk dicoba.” Ucap Indra, menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan.
“Baiklah, aku ikut!”
...***...
Malam itu, hawa dingin menusuk tulang. Langit gelap yang diselimuti awan tebal, menutupi cahaya bulan dan bintang, seolah alam turut berduka atas pertempuran yang terjadi sore tadi. Di sebuah lapangan desa, mereka yang sebelumnya saling bertarung kini berkumpul. Tenda-tenda sederhana berdiri di sekeliling api unggun menghangatkan tubuh prajurit yang lelah dan terluka.
Para wanita desa sibuk merawat yang terluka menggunakan alkohol olahan mereka sendiri dan ramuan tradisional. Bau alkohol yang menyengat bercampur dengan aroma kayu yang terbakar memenuhi seisi kamp darurat tersebut.
Di sisi lain, prajurit yang masih mampu berdiri dengan kondisi optimal, mengumpulkan mayat-mayat rekan mereka yang berguguran dengan wajah muram. Suasananya hening, hanya terdengar desiran angin dan suara api di sekitar mereka.
Indra berdiri di dekat salah satu api unggun dan menatap prajurit Badung yang tewas karena ledakan yang ia picu. Hatinya berat, tapi ia mencoba menyanggah perasaan itu. Dengan langkah pelan, ia menghampiri Aryandra, yang baru saja selesai mendoakan para prajuritnya yang gugur.
“Ada banyak prajuritmu yang mati karena seranganku. Tapi, kenapa kau nggak marah dan malah mengampuni kami semua?” Tanya Indra penuh keheranan.
Aryandra menoleh ke arah Indra. Senyuman kecil menghiasi bibirnya, seolah ia telah menemukan kedamaian di tengah kekacauan ini.
“Aku sebenarnya marah. Tapi, kalau dipikir lagi, mereka telah terlepas dari siksaan duniawi ini.” Ujar Aryandra lembut namun penuh wibawa.
Indra mengangkat salah satu alisnya karena tak mengerti maksud kata-kata Aryandra.
“Sejak dunia diselimuti debu bekas ledakan bom nuklir, seluruh umat manusia pastinya menjadi sangat tersiksa, layaknya di neraka.” Lanjut Aryandra menatap jauh ke langit yang gelap. “Banyak dari kita yang kelaparan, kedinginan, menderita penyakit, bahkan harus berperang dengan saudara sendiri.”
Indra hanya diam dan mencerna setiap kata yang diucapkan Aryandra. Ia merasakan sesuatu yang sangat dalam di balik ucapan itu
“Jadi?” Tanya Indra mencari kesimpulan.
“Jadi, karena mereka sudah meninggal, mereka telah terbebas dari siksaan dunia ini.” Jawab Aryandra dengan suara lega.
Mendengar hal itu, Indra tertawa kecil, namun suaranya terdengar getir. “Kau itu terdengar seperti seorang teroris berkedok agama yang memaksa orang lain untuk mati berperang bersamamu, lho.” Ujar Indra setengah mengejek.
Aryandra ikut tertawa dengan senyuman hangatnya. “Tapi, dengan berpikir seperti itu, aku bisa mengampuni kalian yang sempat menjadi musuhku.” Ujarnya dengan lembut dan menenangkan.
Indra lalu menghela napas karena tidak bisa membantah argumen Aryandra. “Baiklah, kau benar. Terima kasih karena telah mengampuniku dan juga teman-temanku yang udah jahat sama kalian.” Ujarnya mencoba meredakan ketegangan, namun sedikit tidak ikhlas.
Aryandra hanya memberikan senyuman yang seolah mampu mencairkan kebekuan hati siapa pun yang melihatnya. Indra kemudian menunjuk ke arah salah satu api unggun yang menyala dengan tenang, seolah mengundang mereka untuk berbagi cerita.
“Bagaimana kalau kita duduk di sana dan mendiskusikan perjanjiannya? Aku ingin tahu lebih detail mengenai perjanjian yang kau buat.” Ajak Indra dengan suara yang lebih santai sekarang.
Aryandra mengangguk sejutu. “Boleh juga, ayo kita ke sana.”
...***...
Dengan badan yang masih terbungkus perban Aryandra dan Indra duduk berhadapan di dekat api unggun untuk mendiskusikan perjanjian yang akan mereka buat. Di tangan mereka terdapat secangkir air hangat yang menguap perlahan dan menambah kehangatan di tengah malam yang dingin.
Aryandra menjelaskan bahwa ia akan meminjamkan Tabanan 500 pasukan milik Badung kepada Tabanan. Sebagai gantinya, Pemerintah Tabanan harus memperlakukan warganya dengan baik agar tidak menjarah ke daerah lain. Dengan ini, wilayah Tabanan menjadi terjamin keamanannya oleh pasukan Badung, sehingga tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk meminta makanan dari para warga demi bisa menjalankan tugas.
Indra mendengarkannya dengan wajah penuh konsentrasi. Setelah Aryandra selesai berbicara, ia mengangguk pelan, lalu mengajukan pertanyaan yang menggelitik pikirannya. “Apa kau yakin mereka akan menaatinya begitu saja? Harus ada sanksi yang membuat mereka takut untuk melanggar perjanjianmu itu.” Tanya Indra kritis.
Aryandra tersenyum tipis, seolah sudah menunggu pertanyaan itu. “Tentu saja ada. Melanggar perjanjian ini sama dengan mendeklarasikan perang dengan wilayah Badung beserta aliansinya.” Jawabnya tegas, namun tetap tenang.
Indra terkesan dengan keberanian sanksi itu. Akan tetapi, ada satu kata milik Aryandra yang membuatnya tertegun. “Aliansi? Kau memiliki aliansi dengan wilayah lain?” Tanyanya penasaran.
Aryandra mengangguk dengan mata berbinar penuh kebanggaan. “Iya, saat ini Badung beraliansi dengan Gianyar dan Bangli.” Ujarnya.
Indra mengerutkan keningnya karena dibuat semakin penasaran. “Untuk apa?” Tanyanya lagi, penuh keingintahuan.
“Untuk berperang melawan Karangasem.” Jawab Aryandra datar dan tegas.
Indra terkejut mendengar hal itu. Ia tidak menyangka bahwa Badung, Gianyar, dan Bangli telah bersatu untuk menghadapi musuh yang sama. “Kalian bersatu untuk berperang melawan Karangasem? Kenapa begitu?” Tanyanya meminta penjelasan lebih lanjut.
Aryandra menghela napas, seolah mengumpulkan kekuatan untuk menceritakan kisah yang terjadi diantara keempat wilayah itu. “Ini semua terjadi karena pemimpin mereka, yang bernama Ashura, berniat memanfaatkan situasi krisis ini untuk menjadi raja absolut bagi seluruh Pulau Bali.” Ujarnya bergetar penuh emosi.
“Dengan kekuatan tempur prajurit Karangasem yang begitu kuat, ia mulai menyerang wilayah-wilayah lain di sekitarnya untuk memperluas kekuasaannya. Bahkan, ia memperbudak masyarakatnya sendiri dan memaksa mereka bekerja untuknya.” Aryandra terdiam sejenak dan menatap api unggun yang berkobar.
Ia kemudian melanjutkan dengan suara yang lebih lirih. “Beberapa bulan lalu, kami berhasil memukul mundur mereka pada pertempuran di Gianyar. Namun, serangan itu hanya siasat mereka agar dapat mengambil alih Klungkung tanpa ada gangguan dari aliansi kami.”
Indra mengangguk pelan, mencerna setiap kata yang diucapkan Aryandra. Kemudian, sebuah pertanyaan melintas di benaknya. “Lalu mengapa mereka belum menyerang Buleleng sampai sekarang?” Tanyanya penasaran.
Aryandra mengangkat bahu menunjukkan ketidaktahuannya. “Aku juga tidak tahu. Tapi, kau harus tetap waspada karena suatu hari, mereka mungkin akan menyerang wilayahmu.”
Indra mendengarkan peringatan itu dengan serius. Ia menghela napas panjang dan mencoba menenangkan diri. “Yah, kalau dipikir-pikir lagi, saat ini hampir tidak ada yang tersisa di Buleleng. Kalau mereka menyerang kami, itu hanya akan buang-buang tenaga saja.”
Aryandra kemudian menatap Indra dengan penuh pertanyaan. “Hampir tidak ada yang tersisa? Apa yang terjadi di sana?” Tanyanya penasaran.
Indra menghirup napas panjang, seolah mengumpulkan keberanian untuk menceritakan sebuah kisah pilu. “Singkatnya, pada tahun pertama musim dingin, Buleleng mengalami perang saudara yang mengerikan.” Ujarnya dengan berat. “Peperangan itu sangat brutal, hingga hampir menghancurkan segala sesuatu yang ada di sana.”
Suasana menjadi hening sejenak, hanya terdengar suara kayu-kayu yang terbakar. Indra kemudian teringat sesuatu yang membuatnya tersenyum kecil, lalu mencoba menggunakannya untuk menurunkan tensi obrolan mereka.
“Ngomong-ngomong, aku punya sahabat yang sifatnya mirip sekali denganmu.” Ujarnya dengan lebih ringan. “Dia benar-benar tidak mau membunuh orang lain, sekalipun berada di situasi hidup dan mati.”
Aryandra tersenyum serta matanya berbinar dengan keheranan. “Benarkah?” Tanyanya sedikit tertawa.
“Beneran. Cuma dia nggak over-religius kayak kau, sih.” Ujar Indra setengah mengejek.
Aryandra tertawa lepas menghangatkan suasana. “Hahahaha, begitu, ya. Lalu, di mana dia sekarang?” Tanyanya penasaran.
Indra terdiam sejenak, lalu wajahnya perlahan menjadi muram. Ia merasa bodoh karena gagal menurunkan tensi obrolan. Tapi ia tetap menjawab, suaranya pelan dan penuh penyesalan.
“Dia mati tepat di hadapanku.”