Hara, gadis perfeksionis yang lebih mengedepankan logika daripada perasaan itu baru saja mengalami putus cinta dan memutuskan bahwa dirinya tidak akan menjalin hubungan lagi, karena menurutnya itu melelahkan.
Kama, lelaki yang menganggap bahwa komitmen dalam sebuah hubungan hanya dilakukan oleh orang-orang bodoh, membuatnya selalu menerapkan friendzone dengan banyak gadis. Dan bertekad tidak akan menjalin hubungan yang serius.
Mereka bertemu dan merasa saling cocok hingga memutuskan bersama dalam ikatan (boy)friendzone. Namun semuanya berubah saat Nael, mantan kekasih Hara memintanya kembali bersama.
Apakah Hara akan tetap dalam (boy)friendzone-nya dengan Kama atau memutuskan kembali pada Nael? Akankah Kama merubah prinsip yang selama ini dia pegang dan memutuskan menjalin hubungan yang serius dengan Hara?Bisakah mereka sama-sama menemukan cinta atau malah berakhir jatuh cinta bersama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizca Yulianah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencari Hara
Sepanjang perjalanannya menuju ke griya Indah, Kama sudah ratusan kali mengeluarkan sumpah serapahnya. Ratusan kali pula di menekan klakson mobilnya.
"Macet sialan!" Kama memukul setir mobilnya. Mobilnya tidak bergerak sama sekali, terdiam di tengah jalanan yang ramai karena weekend.
Kama melirik jam yang ada di dashboard, sudah pukul dua puluh yang artinya sudah setengah jam lebih dia terjebak macet.
Separuh otaknya yang masih waras menyuruhnya untuk kembali saja ke club, meneruskan kegiatan bersenang-senangnya sampai pagi.
Tapi sebagian otaknya yang gila, memaksanya terus maju menuju tempat tinggal Hara dan mencari tau siapa Edward yang di maksud dan apa tujuannya datang menemui Hara di malam minggu seperti ini.
Ngapel lah
Kata itu muncul begitu saja tanpa Kama undang, semakin membuatnya panas terbakar.
"Apa dia juga punya pacar cadangan makanya diem aja di kata-katain ganjen?" Gerutunya sendiri, berusaha mengalihkan pikiran kusut semrawutnya saat ini.
Otak waras Kama mulai berkerja, menjabarkan segala hipotesa yang bisa saja berupa fakta.
Hipotesa pertama, Hara terlihat biasa saja putus dari pacarnya, terlalu biasa untuk ukuran cewek yang putus dengan tidak baik. Di katakan ganjen tentu bukan cara putus yang baik kan?
Hipotesa kedua, Hara terlihat sangat biasa saja di peluk olehnya, di rangkul olehnya. Maksudnya dengan penampilan sederhana Hara yang terlihat seperti cewek baik-baik terlebih lagi dia berasal dari desa, di peluk begitu oleh orang yang baru di kenalnya tentu saja harusnya dia akan menolak.
Hipotesa ketiga, Hara menyetujui hubungan friendzone yang bagi kebanyakan cewek akan merugikan mereka. Hubungan selayaknya pasangan kekasih tapi status mereka hanya teman yang bisa kapan saja pergi atau menjalin hubungan dengan yang lain.
Dan masih banyak lagi tentang Hara yang membuatnya bingung, kenapa perempuan itu terlihat lain daripada yang lain.
Kama meraih ponsel di sakunya, bahkan pesan balasan dari Hara pun tidak dia dapatkan.
Dengan emosi mendidih yang menguasainya, dia memutuskan untuk menghubungi Hara.
Tuuut.... Tuuut.... Tuuut...
Tidak ada jawaban sama sekali.
Kama tertawa sumbang, dia banyak bertemu tipe playgirl tapi baru kali ini bertemu playgirl seperti Hara.
"Edward" Kama menggumamkan nama yang dia dengar sekilas tadi. "Jadi selera lo yang bule bule gitu" Seringainya kesal.
"Pantes aja semua tawaran gue, semua sentuhan gue biasa aja buat lo, ternyata main lo sama bule" Dengusnya dan kemudian menghela napas dengan kasar.
...****************...
Hara yang saat ini sedang duduk di teras rumah Pak Mul bersama Edward itu sedang berusaha mencari moment yang pas untuknya menentukan batasan antara mereka. Yang menunjukkan bahwa Hara tidak tertarik sama sekali dengan hubungan pacaran.
"Kamu kerja di mana sih? Kok weekend begini masih masuk kerja?" Tanya Edward dengan gayanya yang sok cool.
"Di Frank & Co" Jawab Hara sopan.
Di lihat bagaimana pun tampilan Edward saat ini sungguh sangat all out, celana jeans hitam dengan aksen robek-robek di bagian lututnya dia padukan dengan kemeja kotak-kotak lengan panjang berwarna biru tua, selaras dengan aksesoris rantai yang menggantung di pinggangnya. Mungkin dia sedang mengusung gaya rock n roll.
"Toko baju?" Tanya Edward bingung, sepanjang sejarah pekerjaannya menjual asuransi, dia tidak pernah mendengar nama perusahaan Frank & Co.
Hara yang tidak fokus itu malah mengiyakan saja pertanyaan Edward.
"Oh pantes" Edward mengangguk-angguk puas saat dia kira tebakannya benar. "Kamu lulusan apa sih? Kalau lulusan S1 nanti aku bantu cariin kerjaan yang enak daripada harus jaga toko" Lanjut Edward menawarkan.
"Kalau toko di mall nggak ada liburnya, tanggal merah juga tetep harus masuk. Capek tapi gajinya nggak seberapa" Cerocos Edward dalam percakapan satu arah ini.
"Ntar deh aku tanyain temen-temen ku yang manager, siapa tau ada lowongan buat kamu kerja kantoran" Edward membuka sebungkus rokok, mengambil isinya dan kemudian menyalakannya. Menyedotnya dalam-dalam.
"Kalau kerja kantoran kan enak" Edward menghembuskan asap rokoknya. "Weekend libur, jadi kita bisa kencan" sekarang memainkan rokok di tangannya.
Ini saatnya, waktu yang pas mumpung Edward sedang membahas masalah kencan.
"Maaf ward... " Hara menjawab sungkan.
"Oh nggak papa, saya nggak merasa di repotkan sama sekali kok" Edward dengan percaya dirinya mengira bahwa mencarikan Hara pekerjaan akan merepotkan dirinya.
"Kenalan ku itu jabatannya tinggi-tinggi, dari banyak perusahaan gede-gede lagi" Pamernya sembari kembali menghembuskan asap rokok.
Terlewat sudah timing yang pas. Hara memerosotkan bahunya dan menyandarkan punggungnya di kursi. Edward persis seperti pak Mul, kalau sudah bicara tidak bisa di putus, dan seringnya tidak menunggu lawan bicaranya selesai.
Hara menyerah, dia tidak ingin buang-buang tenaga. Nanti saja dia akan memberitahukan pada Pak Mul atau bu Aminah perihal dirinya yang sedang tidak ingin menjalin hubungan dengan siapapun.
Untuk malam ini dia lebih memilih mendengarkan saja cerita-cerita Edward tentang perjalanan hidupnya dari kecil hingga ke masa sekarang.
...****************...
Tiga ratus meter belok kiri
Suara wanita dari aplikasi maps itu terdengar terus per seratus meter. Kama yang sedang melajukan mobilnya memutuskan untuk sedikit melambat.
Perumahan Griya Indah terletak di pinggiran kota, berbatasan dengan rumah perkampungan.
Sepuluh meter belok kiri
Suara wanita itu kembali menginformasikan. Mata Kama awas mencari gang yang di maksud oleh pemandu jalan tersebut.
Gapura tinggi menjulang dengan tulisan Griya Indah akhirnya berhasil dia temukan. Keadaan di sekitar pintu masuk perumahan terlihat asri dengan banyaknya tanaman di kanan dan kiri gapura penanda itu. Namun tidak ada pos penjaga dan palang penutup.
Kama menghentikan mobilnya. Matanya melirik ke arah jam yang ada di dashboard. Pukul sembilan lebih dua puluh tujuh menit. Belum terlalu larut malam menurut Kama, bahkan baginya itu masih sore hari.
Tapi mengingat perumahan ini terletak di pinggiran kota, mungkin saja mereka memberlakukan jam kunjungan ke area perumahan.
Kama celingukan mencari satpam atau hansip atau penjaga yang biasanya menjaga pos di perumahan elit.
Namun nihil, tidak ada satupun yang terlihat. Kama memutuskan melajukan mobilnya masuk. Kepalang tanggung sudah sejauh ini dan menembus macet pula. Setidaknya dia harus pulang dengan membawa hasil.
Entah hasil bertemu Hara atau hasil bertemu si bule Edward.
Jalanan di perumahan itu terbagi menjadi dua dengan pembatas pohon di tengah-tengahnya. Entah dia masuk melalui jalur yang benar atau tidak, dia tidak peduli. Sudah terlanjur juga.
Suasana di jalanan itu sepi, kebanyakan rumah-rumah di sana sudah tertutup dan mematikan lampu. Kama terus saja melajukan mobilnya.
Suasana sepi di dalam mobil, suara wanita penunjuk jalan itu tidak terdengar lagi karena memang mereka telah sampai di tujuan. Perumahan Griya Indah, untuk alamat lengkapnya, Kama nol informasi.
Jalan perumahan memang memiliki banyak sekali gang masuk, membuat Kama memikirkan ulang niatnya untuk menghampiri Hara.
Dia menepikan mobilnya, menghela napas panjang. Kesal dan amarahnya masih terasa membakar dadanya, menuntut untuk segera di lampiaskan kepada si penyebab masalah. Tapi otak warasnya terus saja memaksanya kembali.
"Ok kalau kali ini gue jalan dan ketemu orang, gue bakal lanjutin, kalau nggak gue bakal balik" Kama akhirnya memutuskan untuk mengadu nasib, menyerahkannya pada takdir.
Dia kembali melajukan mobilnya, dan seperti sedang mendapat rahmat dan berkat, dia melihat cahaya lampu motor dari spion kanannya, dari arah belakang.
Kama buru-buru menghentikan mobilnya dan keluar. Berdiri di samping mobilnya sembari melambaikan tangan.
Motor yang melaju itu semakin mendekat, dan kemudian berhenti tepat di depan Kama.
"Mogok mas?" Tanya pengemudi motor yang sedang membonceng istri dan juga anaknya yang sedang tertidur pulas.
"Nggak pak" Kama menggoyangkan tangannya. "Ini mau tanya alamat" Lanjutnya.
"Iya gang apa?" Tanya si pengemudi motor itu, si istri yang di duduk di boncengan sedang memegangi anaknya itupun ikut mencondongkan tubuhnya.
"Saya gak tau alamatnya, yang saya tau cuma perumahan griya Indah gitu" Jawab Kama malu-malu karena memang datang tanpa persiapan.
"Waduh ya susah mas kalau cuma nyari berdasarkan nama, perumahan ini lumayan luas"
"Please pak tolong bantuin saya" Kama memohon.
"Namanya siapa sih, kalau saya nggak kenal saya coba tanya di grup RT nanti" Pengemudi motor itupun memberikan solusi yang inovatif.
Serasa takdir sedang berpihak padanya, Kama buru-buru menyebutkan "Ananta Hara".
"Nggak kenal tuh mas" Si pengemudi motor menggeleng. "Mah kenal Ananta Hara nggak?" Tanyanya pada istri yang sedari tadi turut menyimak pembicaraan mereka.
"Mboten (tidak) kenal pah" Si istri menggeleng kuat.
"Tolong lah pak" Kama semakin memohon.
"Iya sebentar saya tanyain dulu di grup RT ya" Pengemudi motor itu mematikan mesin motornya dan mencari ponsel di sakunya. Dia meraba-raba saku bajunya, nihil, beralih ke saku celana juga nihil.
"Mah hape papah dimana ya?" Tanyanya pada sang istri.
"Lah tadi kan di tinggal di rumah pah, lagi di charge" Jawab si istri.
Kama memejamkan matanya demi mendapati jawaban tersebut, pupus sudah keyakinannya akan bertemu Hara malam ini. Dia mengira takdir sedang memihaknya, namun ternyata ada saja halangannya.
"Mamah masuk grup RT nggak?" Si pengemudi motor kembali bertanya pada si Istri.
"Mboten (tidak) pah" Jawaban yang semakin membuat semangat Kama mengendor. Dia tidak ingin pulang dengan tangan kosong.
"Udah sampek pah?" Anak si pengemudi yang tadinya tidur sekarang jadi terbangun. "Kok masih di jalan?" Tanyanya bingung sembari melihat ke kanan dan ke kiri.
"Belum sampai nduk, tidur lagi aja, nanti kalau sudah sampai tak bangunkan" Si Istri membelai lembut puncak kepala gadis kecil yang ada di depannya.
"Kenapa berhenti kalau belum sampai mah?" Tanyanya lagi penasaran.
"Ini lagi ada om-om nanyain rumah bu Ananta Hara, tapi ndak tau alamatnya, jadi mamah sama papah lagi bantuin" Jelasnya dengan sabar.
"Loh kak Hara udah ibu-ibu ya?" Celetukan bocah kecil itu memantik kembali semangat Kama yang hampir padam.
"Adek kecil tau rumahnya kak Ananta Hara?" Tanya Kama buru-buru.
"Ica tau?" Tanya si pengemudi motor juga ikut penasaran.
"Ih papa, itu kan Kak Hara yang biasanya ngajarin les aku" Bocah kecil bernama Ica itu memukul pelan punggung papanya.
"Oalah Mbak Hara to" Si istri yang akhirnya paham langsung mengenali siapa yang di maksud Kama.
"Iya nama panjangnya kak Hara itu Ananta Hara mah, memangnya mamah nggak tau? Ica aja tau" Oceh gadis kecil itu.
"Bisa nggak tunjukin ke om rumahnya, adek cantik?" Rayu Kama kemudian.
"Bisa mas, mari" Si pengemudi itu pun menawarkan. Kemudian dia menstater kembali motor maticnya.
Kama buru-buru masuk ke dalam mobil, dan juga menyalakan mesinnya. Dan kemudian dia mengikuti motor yang kini akan menjadi penunjuk jalannya itu.
Terima kasih Tuhan
Ulangnya berkali-kali dalam hati.
Setelah melewati beberapa belokan, akhirnya motor itu berhenti di depan sebuah rumah. Kama pun ikut berhenti dan keluar dari dalam mobil.
"Rumahnya yang di depan itu mas, yang pagar putih tinggi. Itu kost-kostan. Mbak Hara ngekost di situ" Si pengemudi itu menunjuk sebuah rumah tingkat dua lantai berpagar putih tinggi yang hanya berjarak tiga rumah lagi dari tempatnya berdiri.
"Kalau ini rumah saya" Si pemotor kembali menunjuk rumah tepat di depan mereka berhenti. "Masnya jalan aja ke situ, nggak papa mobilnya parkir sini"
"Oh gitu ya pak" Kama mengangguk-angguk, dan kemudian segera mengeluarkan dompetnya. Mengambil dua lembar uang kertas ungu dan mengulurkannya kepada si pengemudi motor, "Terima kasih pak" ucapnya.
"Nggak usah mas" Tolak si pengemudi motor menggoyangkan tangannya. "Sejalan sama rumah saya kok"
"Di terima ya pak, saya sangat terbantu sama informasi bapak" Lanjut Kama setengah memaksa.
"Nggak usah mas beneran" Si pengemudi kekeh menolak uang pemberian Kama.
Tak ingin merasa berhutang budi, Kama segera meraih tangan gadis kecil yang masih bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi.
"Buat jajan ya adek cantik" Ucapnya sembari menggenggam kan uang itu di tangan mungil Ica.
"Wah terima kasih om" Pekiknya girang.
"Mas beneran nggak usah" Si pengemudi terlihat sangat sungkan menerima pemberian Kama.
"Nggak papa pak, buat jajan adeknya" Kama mengusap puncak kepala Ica dan kemudian pamit "Saya permisi dulu ya pak, numpang parkir mobilnya"
"Tenang aja mas, aman kok, bebas parkir" Jawab si pengemudi setengah berteriak karena Kama telah menjauh.
Kama telah sampai di rumah tingkat berpagar putih tersebut. Dia celingukan mencari tombol belnya, namun tak ketemu.
Pintu pagar yang terbuka sedikit itu sebenarnya bisa saja dia masuki, tapi resiko di belakangnya bisa sangat berbahaya.
Kemungkinan besar dia akan di teriaki maling atau orang gila karena menerobos masuk begitu saja ke rumah orang.
"Permisi" Teriak Kama akhirnya. Tak kunjung mendapat jawaban Kama kembali mengulanginya "Permisi" Kali ini semakin keras.
Hara yang sayup-sayup mendengar suara orang itupun berdiri dan memanjangkan lehernya.
"Ada orang kayaknya Ward" Ucap Hara.
Edward pun ikut berdiri dan juga memanjangkan lehernya.
"Permisi" Kali ini Kama sudah berteriak full tenaga.
Edward yang mendengar itu langsung pergi menghampiri asal suara, Hara pun menyusul di belakangnya.
"Cari siapa mas?" Edward bertanya saat melihat sosok Kama yang berdiri di depan pagar, Hara mengintip dari balik punggung Edward.
"Cari siapa Ward?" Hara ikut bertanya, merasa ikut bertanggung jawab sebagai penghuni kost.
"Bae" Seru Kama saat melihat Hara dari balik punggung Edward.
Tanpa memperdulikan Edward yang kebingungan, dia merangsek masuk dan langsung memeluk Hara.
"Loh Pak Kama?" Tanya Hara bingung di tengah pelukan Kama yang dia rasa terlalu erat.
"Ehem" Edward berdehem sangat keras. Membuat Kama melepaskan pelukannya dan beralih ke belakang Hara.
"Siapa dia neng Hara?" Tanya Edward ketus. Tanpa berniat menyembunyikan rasa tidak sukanya, Edward menyilangkan tangannya di dada.
Kama yang melihat itu malah memeluk Hara dari arah belakang dan menempelkan dagunya di pundak Hara.
"Bae tadi gue nyasar" Ucapnya manja.
Hara yang tidak enak di tatap Edward yang sedang kesal itu pun menggeliat berusaha melepaskan pelukan Kama.
"Nyari perumahan ini muter-muter dari jam setengah tujuh tadi, gue jadi nggak makan malam" Kali ini suara Kama di buat sememelas mungkin.
"Masnya ini siapa sih, dateng-dateng maen peluk aja" Edward yang terbakar api cemburu itu pun bertanya dengan sangat ketus.
"Gue?" Seringai Kama. "Gue bae-nya Hara" Kemudian Kama menggigit pipi Hara.
"Au!" Hara memekik kaget mendapat gigitan tiba-tiba begitu. Namun tidak bisa melepaskan diri karena pelukan Kama sudah semakin erat.
Edward yang melihat adegan itu pun sontak merah padam, tanpa berkata-kata langsung pergi meninggalkan mereka berdua, masuk ke dalam rumah pamannya.
"Ish" Sentak Hara begitu Kama melepaskan gigitan dan pelukannya. "Sakit tau!" Hara memukul lengan Kama.
"Udah gede gigit-gigit sembarangan" Sungutnya kesal sembari mengusap-usap pipinya yang bekas di gigit Kama.
"Bae..." Ucapnya manja. "Laper" Rengeknya kembali merangkulkan kedua lengannya di pundak Hara. Kini wajah mereka saling bertatapan.
"Memangnya di sini dapur umum" Sungut Hara masih kesal. "Beli makan sendiri kan bisa"
"Nggak ada temen" Kama memasang wajah memelas.
Hara menghela napas, jika Kama mengeluarkan alasan seperti itu, bagaimana Hara bisa marah.
"Di sini tempat kost, saya nggak punya dapur pribadi" Ucap Hara.
"Cari makan di luar yuk" Ajak Kama girang. Tak menyangka alasan yang asal dia ucapkan akan di anggap serius oleh Hara.
"Udah malam pak, saya juga udah kenyang" Hara berusaha menolak.
"Tapi gue laper" Kama kembali memelas sambil memegang perutnya. Kalau saja Kama tau ekspresinya saat ini sudah seperti anak kucing yang ketakutan dengan mata berkaca-kaca.
"Ya udah deh" Hara pun luluh demi melihat wajah memelas Kama. "Naik motor aja ya, ada yang jual nasi goreng di depan komplek" Jelasnya.
"Siap Komandan" Ucap Kama sembari memberikan sikap hormatnya.
"Tunggu sini dulu, saya ambil kunci motor" Hara pun pergi masuk ke dalam rumah tingkat yang terpisah dari rumah utama.
Tak berselang lama Hara sudah kembali dengan membawa kunci motor dan memakai hoodie yang ukurannya terlalu besar untuknya.
Damn!!
Kama memaki dalam hati, dia lemah terhadap perempuan dengan style imut seperti yang Hara kenakan saat ini.
kasih kesempatan sama Kama dong,buat taklukkin Hara😁😁
menjaga pujaan hati jangan sampai di bawa lari cowok lain🤣🤣🤣
Nggak kuat aku lihat Kama tersiksa sama Hara🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
aku bakalan nungguin kamu yang bucin duluan sama Hara😁😁😁
tiba-tiba banget Pak Polici kirim buket bunga pagi' 😁😁😁😁😁
tapi kenapa tiba-tiba Hara telp ya????