Jelita Pramono seorang gadis periang, namun jangan sampai kalian mengusik nya, apalagi keluarga maupun orang yang ia sayang disekitarnya. Karena jika kamu melakukannya, habislah hidupmu.
Hingga suatu hari, ia sedang pergi bersama kakak nya, tapi di dalam perjalanan, mobil mereka tertabrak mobil lain dari arah belakang. Sehingga, Jelita yang berada di mobil penumpang mengeluarkan darah segar di dahi nya dan tak sadarkan diri.
Namun, ia terbangun bukan di tubuh nya, tapi seorang gadis bernama Jelita Yunanda, yang tak lain merupakan nama gadis di sebuah novel yang ia baca terakhir kali.
Bukan sebagai pemeran utama atau si antagonis, melainkan figuran atau teman antagonis yang sikapnya dingin dan jarang bicara sekaligus jarang tersenyum.
Mengapa Jelita tiba-tiba masuk kedalam novel menjadi seorang figuran? Apa yang akan terjadi dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejang
Pintu ruangan itu terbuka pelan, suara deritnya disusul langkah-langkah hati-hati dari tiga gadis berseragam yang langsung menunduk sopan saat melihat siapa saja yang ada di dalam.
"Om... Tante... Kak Jordi..." sapa mereka hampir serempak, wajah mereka terlihat cemas namun penuh rindu.
Mama Shireen langsung berdiri, memberikan senyum hangat meski matanya masih tampak sembab. "Kalian datang? Sini masuk," ucapnya sambil memberi ruang. "Terima kasih ya, sudah menyempatkan waktu."
Gladis, yang berdiri paling depan, menggenggam sebuket bunga kecil yang sudah mulai layu karena digenggam terlalu erat sepanjang perjalanan. “Kami kangen Jelita, Tante,” ucapnya lirih.
Prilly berjalan pelan ke sisi ranjang, menatap wajah sahabatnya yang masih terpejam. “Kamu tidur nyenyak banget, Lit, tapi boleh bangun sekarang, dong. Kami udah nungguin nih.”
Fuji menahan isaknya, menggenggam tangan Jelita dengan lembut. “Tadi pagi kami rame-rame ke kelas, Lit. Tapi rasanya sepi banget tanpa ocehanmu.”
Jordi tersenyum samar dari kursinya, menatap ketiga sahabat adiknya yang kini duduk di pinggir tempat tidur, berusaha menyalurkan semangat lewat tatapan, lewat genggaman, lewat cerita yang mereka bawa dari dunia nyata yang masih terus berjalan, menunggu Jelita kembali ke dalamnya.
“Dia pasti seneng kalian datang,” gumam Jordi pelan.
Gladis mengangguk, lalu menatap Jelita dengan mata berkaca. “Bangun ya, Lit. Kami semua masih butuh kamu. Dunia ini terlalu sepi kalau nggak ada kamu yang cerewet dan penuh drama.”
“Aku janji deh, kalau kamu bangun, aku traktir kamu makan makanan kesukaan mu selama sebulan penuh.”
Tiba-tiba tubuh Jelita yang semula tenang di atas ranjang mulai bergerak tidak wajar. Bahunya bergetar hebat, matanya tetap tertutup rapat namun tubuhnya mulai mengejang hebat. Selang infus bergoyang tak beraturan, monitor detak jantung di sampingnya mengeluarkan bunyi-bunyi yang membuat bulu kuduk berdiri.
"Jelita!" seru Mama Shireen panik, langsung memegang bahu anaknya.
"Kak! Kak Jelita kenapa?!" Fuji menjerit, sementara Prilly dan Gladis sontak mundur dengan wajah pucat.
Jordi sontak berdiri dan berlari keluar ruangan, bahkan sepatu sebelah kirinya tertinggal di ambang pintu. "DOKTER!! DOKTEEEERRR!!" teriaknya histeris menyusuri lorong rumah sakit, membuat beberapa perawat yang melintas ikut cemas.
Sementara itu di dalam ruangan, Prilly yang sempat terpaku melihat Jordi berlari, tiba-tiba teringat. “Astaga... tombol!” serunya, lalu segera menekan tombol panggil darurat yang ada di sisi ranjang. Bunyi peringatan nyaring langsung terdengar.
Beberapa detik kemudian, tim medis datang tergesa, dipimpin oleh Dokter Aditya. Para perawat langsung mengambil alih, menenangkan tubuh Jelita yang terus mengejang, menyambungkan alat tambahan untuk pemantauan, dan menyuntikkan obat penenang ke dalam selang infus.
"Monitor tekanan darah. Siapkan oksigen. Cepat!" perintah dokter dengan suara tegas.
Mama Shireen menutup mulutnya sambil menahan tangis, sementara Papa Febri memeluk bahunya erat.
Setelah penanganan itu, tubuh Jelita kini kembali normal.
"Dok, kenapa anak saya tiba-tiba kejang seperti ini? Bukankah kondisinya stabil tadi?" tanya Papa Febri cemas.
Dokter Aditya menatap serius, namun berusaha tetap tenang. "Kemungkinan besar ini reaksi dari trauma pasca operasi dan tekanan neurologisnya yang belum stabil sepenuhnya, Pak. Otaknya masih berusaha memulihkan diri dan adaptasi pasca pembersihan gumpalan darah di lobus temporalnya."
“Lalu itu artinya gimana, Dok?” tanya Mama Shireen dengan suara gemetar.
“Ini bukan hal yang sepenuhnya tak terduga, meski jarang terjadi. Kami sudah beri dia dosis penenang, dan sekarang kami akan memonitor lebih ketat. Mohon tenang, ini belum berarti kondisi memburuk. Kita akan lakukan CT Scan ulang sore nanti untuk memastikan.”
Jordi akhirnya kembali masuk ke dalam ruangan, napasnya terengah-engah, sepatu sebelah kakinya masih tertinggal entah di mana. Ia menatap adiknya yang kini kembali terbaring diam, tubuhnya lebih tenang berkat obat, namun napasnya masih terdengar berat di balik selang oksigen.
Fuji langsung berdiri dan menghampirinya. “Kak, tenanglah, Jelita sudah kembali normal lagi,” ucapnya pelan, berusaha menenangkan meski air matanya mengalir.
Jordi hanya mengangguk, lalu kembali duduk di kursi, menunduk dalam. Tangannya menggenggam tangan Jelita erat. “Bangun, Lit, kakak mohon, kamu harus kuat,” bisiknya lirih, meski hatinya masih bergetar karena takut kehilangan.
Jadi sebelum kalian bertanya jelita ini kenapa kejang, othor beri tahu, ketika jelita kejang, di dunia novel dia sedang keadaan marah dan menghajar Verrel dan Laura ya. Wes mocoen meneh bab sebelumnya lek lali.
Jangan lupa like, komen dan subscribe nya ya. Di tunggu vote nya.
gak rela rasanya harus terpisah sama kak jordi nya 🥺