Generasi sekarang katanya terlalu baper. Terlalu sensitif. Terlalu online. Tapi mereka justru merasa... terlalu sering disalahpahami.
Raka, seorang siswa SMA yang dikenal nyeleneh tapi cerdas, mulai mempertanyakan semua hal, kenapa sekolah terasa kayak penjara? Kenapa orang tua sibuk menuntut, tapi nggak pernah benar-benar mendengarkan? Kenapa cinta zaman sekarang lebih sering bikin luka daripada bahagia?
Bersama tiga sahabatnya Nala si aktivis medsos, Juno si tukang tidur tapi puitis, dan Dita si cewek pintar yang ogah jadi kutu buku mereka berusaha memahami dunia orang dewasa yang katanya "lebih tahu segalanya". Tapi makin dicari jawabannya, makin bingung mereka dibuatnya.
Ini cerita tentang generasi yang dibilang gagal... padahal mereka cuma sedang belajar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 26 Rahasia-Rahasia Kecil
Seminggu berlalu sejak Nala menangis di pundak Dita di taman kecil dekat sekolah. Meskipun ia belum sepenuhnya pulih, ada sedikit cahaya yang kembali menerangi langkahnya. Tapi keheningan yang ia ciptakan menimbulkan pertanyaan dari banyak pihak, terutama dari mereka yang menganggap suara Nala sebagai pemicu perubahan.
Di kelas, suasana lebih tenang. Tidak ada diskusi panas seperti biasa. Juno sibuk dengan sketchbook-nya, menggambar tanpa henti. Raka lebih sering melamun daripada membuat catatan. Sementara Dita, entah kenapa, sering terlihat mengirim pesan diam-diam di bawah meja. Nala memperhatikannya, curiga tapi memilih diam.
Saat bel istirahat berbunyi, Nala memutuskan untuk tetap di kelas. Ia membuka laptopnya, mencoba menulis skrip baru untuk podcast, tapi jari-jarinya seperti enggan menari di atas keyboard.
Dita menghampirinya, membawa dua kotak bekal.
“Gue bawa dua. Buat lo,” katanya sambil menyodorkan satu kotak.
“Lo beneran temen sejati, Dit,” ucap Nala setengah bercanda.
Mereka makan dalam diam beberapa saat. Hingga Nala akhirnya bertanya, “Lo lagi deket sama siapa sih? Lo sering banget chat diem-diem.”
Dita tersedak sedikit. “Ah, nggak, cuma… ngobrol sama temen baru di forum diskusi pendidikan.”
“For real?”
“Iya, sumpah. Namanya Rama. Anak SMA juga. Dia sering bahas soal kurikulum dan sistem sekolah yang nyusahin. Kita satu frekuensi.”
Nala mengangguk, tapi hatinya sedikit bergetar. Bukan karena cemburu, tapi karena takut ditinggal satu-satunya orang yang selalu ada.
Sore harinya, di rumah, Nala membuka akun Instagram Podcast Gagal Paham yang sudah lama tidak dia sentuh. Pesan masuk penuh dengan permintaan: “Kapan episode baru?”, “Kami butuh suara kalian lagi”, “Jangan berhenti.”
Ia merasa seperti memegang bom waktu. Kalau ia kembali bersuara, ia harus siap kembali diserang. Tapi kalau diam terus, perjuangannya seperti berhenti.
Ia memutuskan menelepon Juno.
“Lo sibuk?”
“Enggak, baru aja selesai gambar.”
“Gue pengen ngobrol.”
“Langsung ke rumah gue aja. Nyokap lagi nggak di rumah.”
Malam itu, Nala datang ke rumah Juno. Mereka duduk di teras, hanya ditemani lampu temaram dan semilir angin.
“Ada yang aneh sama Dita,” kata Nala akhirnya.
“Raka juga. Dia belakangan suka keluar malam. Tapi nggak cerita ke kita,” sahut Juno.
Nala menoleh. “Jangan-jangan mereka nyiapin sesuatu.”
“Entah itu, atau mereka sembunyiin sesuatu.”
“Gue nggak suka dirahasiain.”
“Gue juga.”
Keesokan harinya, mereka sepakat untuk menyelidiki. Di luar dugaan, investigasi kecil-kecilan ini malah membawa mereka menemukan lebih dari yang diharapkan.
Juno melihat Raka di warung kopi kecil dekat kampus, berbicara serius dengan dua orang yang tampaknya mahasiswa. Nala mengikuti Dita pulang, dan secara tak sengaja mendengar Dita berbicara di telepon tentang rencana “Forum Remaja Nasional”.
Malam itu, mereka berkumpul berempat. Raka datang paling terakhir, wajahnya kaget saat tahu yang lain sudah tahu.
“Lo semua diem-diem dari kita,” kata Juno datar.
Dita menghela napas. “Kami mau bikin kejutan. Tapi ternyata malah jadi drama.”
“Apa sih sebenarnya?” tanya Nala.
Raka menjawab, “Kami lagi nyiapin proposal buat kolaborasi antara podcast kita dan beberapa LSM pendidikan. Mereka tertarik bantu nyebarin suara kita lebih luas.”
“Dan Forum Remaja itu bagian dari rencananya?” tanya Nala ke Dita.
“Iya. Gue diminta jadi pembicara. Tapi awalnya gue ragu mau bilang, takut lo ngerasa kita ninggalin.”
“Gue lebih takut kalo kita udah mulai saling nyembunyiin,” kata Nala pelan.
Suasana hening. Lalu perlahan berubah jadi tawa kecil saat Juno berkata, “Kita ini udah kayak geng rahasia ya.”
Dari malam itu, mereka kembali solid. Tapi ada satu hal yang belum mereka sadari: dunia orang dewasa yang lebih besar sudah memperhatikan mereka. Dan tidak semua dari dunia itu menyukai apa yang mereka lakukan.
Beberapa hari kemudian, surat undangan resmi dari kementerian pendidikan tiba di sekolah. Kepala sekolah memanggil mereka berempat.
“Podcast kalian menginspirasi banyak orang. Tapi juga memicu keresahan,” kata kepala sekolah sambil menatap tajam.
“Kami hanya menyuarakan yang kami alami,” sahut Raka.
“Saya tahu. Tapi kalian harus hati-hati. Tidak semua perubahan disukai.”
Setelah keluar dari ruangan itu, mereka terdiam di lorong.
“Jadi, kita lanjut?” tanya Nala.
“Lanjut,” jawab Dita cepat.
“Gue udah gambar cover buat episode baru,” kata Juno.
“Gue lagi tulis naskah sambutan buat forum itu,” tambah Raka.
Mereka saling menatap. Rahasia-rahasia kecil yang sempat mengganggu kini berubah jadi kekuatan baru. Mereka tahu jalan di depan tidak akan mudah. Tapi setidaknya, kini mereka berjalan bersama lagi dengan kejujuran yang utuh.