Nathaniel Alvaro, pewaris muda salah satu perusahaan terbesar di negeri ini, hidup dalam bayang-bayang ekspektasi sang ibu yang keras: menikah sebelum usia 30, atau kehilangan posisinya. Saat tekanan datang dari segala arah, ia justru menemukan ketenangan di tempat yang tak terduga, seorang gadis pendiam yang bekerja di rumahnya, Clarissa.
Clarissa tampak sederhana, pemalu, dan penuh syukur. Diam-diam, Nathan membiayai kuliahnya, dan perlahan tumbuh perasaan yang tak bisa ia pungkiri. Tapi hidup Nathan tak pernah semudah itu. Ibunya memiliki rencana sendiri: menjodohkannya dengan Celestine Aurellia, anak dari sahabat lamanya sekaligus putri orang terkaya di Asia.
Celeste, seorang wanita muda yang berisik dan suka ikut campur tinggal bersama mereka. Kepribadiannya yang suka ikut campur membuat Nathan merasa muak... hingga Celeste justru menjadi alasan Clarissa dan Nathan bisa bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nitzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Putri dari Sahabat
Madeline Alvaro masih menyimpan satu kotak kecil yang tak pernah dibuka di hadapan orang lain.
Di dalamnya, tersimpan foto-foto tua, kartu pos usang, dan surat-surat penuh curhat remaja yang ditulis dengan pulpen tinta ungu. Semuanya berasal dari satu orang: Julianne Aurellia, sahabat terbaiknya sejak mereka masih sama-sama mencoret seragam SMA dengan spidol warna-warni.
Julianne yang dulu ceria, Julianne yang dulunya jatuh cinta pada pria misterius yang kelak menjadi Darius Aurellia.
Madeline menatap salah satu foto yang sudah mulai pudar. Ia dan Julianne duduk berdampingan di tepi pantai, tertawa keras tanpa beban. Siapa sangka waktu bisa memutar semua itu menjadi rumit dan penuh kabut?
"Aku janji akan menjaga anakmu seperti anakku sendiri," bisiknya pelan, memejamkan mata.
Namun, menjaga Celeste ternyata tidak sesederhana itu.
*
Di ruang makan, suasana hening kecuali suara sendok yang sesekali menyentuh piring. Celeste duduk anggun, membaur dengan rumah Alvaro seperti bunga dalam vas mahal, cantik, berkelas, tapi belum tentu bisa disentuh.
Nathan duduk tepat di seberangnya, memasang ekspresi datar seolah sedang menghadapi rapat perusahaan. Setiap kali Celeste mencoba memulai percakapan, dia hanya menjawab dengan “ya,” “nggak,” atau “mungkin.”
“Masakan rumah Tante enak banget,” puji Celeste hangat.
Madeline tersenyum lebar. “Clarissa yang masak. Pintar, ya? Anak itu memang rajin banget.”
Nathan pura-pura tak mendengar dan fokus memotong daging. Namun, Celeste bisa melihat matanya sempat melirik Clarissa yang keluar masuk dapur.
Menarik... pikir Celeste, tanpa menunjukkan apa pun di wajahnya.
"Ngomong-ngomong, kamu suka makan makanan pedas, Nath?" tanya Celeste.
"Enggak," jawab Nathan cepat.
Celeste hanya mengangguk. “Noted.”
"Noted buat apa?"
"Kalau suatu hari aku masak, biar nggak kebanyakan cabai," jawabnya santai. “Siapa tahu Tante suruh aku bantu dapur.”
Nathan meletakkan garpu. "Kamu nggak perlu repot-repot."
“Tenang aja, aku nggak repot, kok.”
Suasana kembali hening. Madeline merasa gemas melihat anaknya yang keras kepala seperti batu bata.
Setelah makan malam selesai, Nathan langsung kabur ke taman belakang. Celeste tak mengejar, tapi berjalan ke balkon, memandangi langit. Ia tak tampak kesal, justru tenang dan… damai.
Madeline menghampirinya. “Maaf, anakku memang dingin kayak kulkas tiga pintu.”
Celeste tertawa kecil. “Nggak apa-apa. Aku juga bukan tipe orang yang gampang kepincut.”
“Dan kamu juga bukan tipe yang gampang dipahami.”
Celeste menoleh. “Kenapa Tante bilang begitu?”
“Karena kamu sopan, ramah, dan seperti bunga sakura… tapi ada sesuatu di balik tatapanmu.”
Celeste terdiam. Bibirnya tersenyum, tapi matanya memalingkan pandangannya.
“Tante tahu... keluarga kamu menyimpan banyak rahasia. Sejak Julianne meninggal, Darius berubah drastis. Kamu juga...” Madeline menggantungkan kalimatnya. “Kamu terlihat seperti seseorang yang sedang mencari tempat aman.”
Celeste menahan napas sejenak. “Aku cuma ingin... hidup seperti gadis biasa. Makan bareng, ngobrol ringan, nonton drama Korea.”
Madeline memandangnya lama. "Julianne pasti bangga padamu."
Celeste tersenyum kecil. Tapi dalam hatinya, kata "bangga" terasa seperti luka yang tak bisa dijahit. Ia tahu, terlalu banyak hal dalam hidupnya yang tidak pernah terlihat oleh orang luar—termasuk luka fisik, dan sepi yang mengekang seperti sangkar.
*
Di taman, Nathan berdiri sambil memainkan ponselnya. Clarissa lewat sambil membawa minuman, dan mereka bertukar senyum kecil.
Jauh di balkon atas, Celeste mengamati mereka tanpa berniat menyela.
Ia bukan mata-mata. Ia hanya ingin tahu: bagaimana perasaan Nathan terhadap Clarissa. Ada tatapan berbeda di mata pria itu... sebuah kelembutan yang tidak diberikan pada siapa pun, bahkan pada dirinya.
"Kalau benar kamu menyukainya..." Celeste berbisik sendiri, "aku akan bantu kamu, Nate."
Dan siapa tahu, mungkin... dalam proses itu, ia menemukan arti "rumah" yang sesungguhnya.