Hidup dalam takdir yang sulit membuat Meta menyimpan tiga rahasia besar terhadap dunia. Rasa sakit yang ia terima sejak lahir ke dunia membuatnya sekokoh baja. Perlakuan tidak adil dunia padanya, diterima Meta dengan sukarela. Kehilangan sosok yang ia harap mampu melindunginya, membuat hati Meta kian mati rasa.
Berbagai upaya telah Meta lakukan untuk bertahan. Dia menahan diri untuk tak lagi jatuh cinta. Ia juga menahan hatinya untuk tidak menjerit dan terbunuh sia-sia. Namun kehadiran Aksel merubah segalanya. Merubah pandangan Meta terhadap semesta dan seisinya.
Jika sudah dibuat terlena, apakah Meta bisa bertahan dalam dunianya, atau justru membiarkan Aksel masuk lebih jauh untuk membuatnya bernyawa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hytrrahmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Runtuh (b)
Kenapa kehidupan menyeramkan seperti itu dianugerahkan pada pundak seorang anak perempuan seperti Meta? Tapi yang ia lihat sejak awal memang Meta sekuat batu karang, sekokoh baja, tidak pernah mau tunduk kepada siapapun termasuk pada guru mereka pada waktu itu, Pak Herman. Karena Meta berdiri di atas kebenaran, kejujuran yang memberinya kekuatan untuk berjuang tanpa ketakutan. Renata ingat dirinya dibela mati-matian. Renata ingat Meta memasang badan duluan ketika berhadapan dengan Ranti waktu kelas sepuluh dulu.
Lalu hal sekecil ini kenapa ia bisa tidak tahu? Ranah Meta tak pernah berhasil Renata tembus, mendatangkan perasaan bersalah yang membuatnya tak percaya selama ini Meta membohongi teman-temannya. Untuk apa? Kenapa? Pertanyaan itu berputar di kepala.
Sudah dari kemarin Renata dan dua sahabatnya yang lain mencoba menghubungi, tetapi Meta tak menjawab sekalipun panggilan yang berhasil masuk. Pesan pun tidak pernah dibalas, tidak tahu apa yang sedang berlaku. Doa dan harapan pun terbang ke langit, kiranya ampuh saat jarak di antara mereka semakin lebar.
"Gue takut orang-orang yang emang nggak suka sama Meta sejak awal, memanfaatkan situasi ini, Ren."
Kayla berceletuk di antara Renata dan Wulan yang sedang membaca berita terbaru mengenai Meta di laman fan page SMA Gemilang, lalu berharap semoga saja Meta tak melihat berita menjijikan seperti ini. Yang merumorkan kalau kelahiran Meta, tidak diinginkan oleh orang tua kandungnya. Mereka berspekulasi bahwa Meta adalah bayi yang lahir di luar nikah, membuat seluruh tubuh Kayla menggelegak panas.
"Dan kalian liat sendiri contohnya. Udah mulai keliatan, kan. Dan kita nggak tau siapa orang yang udah menyebarkan berita omong kosong kayak gini!" geram Kayla sekali lagi, dua temannya masih mengamati berita yang tadi mengejutkan mereka.
Suasana di jam kosong seperti ini saja sudah membuat kepala terasa panas akibat ocehan tidak penting tim inti Destroyer. Sekarang malah ditambah lagi dengan adanya berita perihal cocokologi tentang Meta dan entah siapa dalang dibaliknya. Kuping mereka seakan memanas, sebentar lagi mungkin mengeluarkan api.
Wulan menghela napas, menghirup udara secukupnya sambil menaruh ponsel di atas meja. "Sumpah, ya, yang terlibat di fan page SMA Gemilang ngeselin banget, sih? Dari dulu ada aja kelakuannya. Renata juga udah pernah kena, kan? Gue nggak tahan pengen nampar muka mereka," ucapnya sambil menahan emosi.
"Kalau aslinya setan, ya, tetep aja bakalan jadi setan, Lan!"
Renata terbelalak mendengar semburan Kayla, pedas seperti cabai terpedas di dunia. Membuat kelas mendadak lengang dengan tatapan yang tertuju ke arah mereka. Renata dan Wulan yang menyadari tatapan horor teman-temannya pun memberikan cengiran, Kayla justru mengipas wajah dengan tangannya. Acuh. Luar biasa!
"Eh, mulut lo itu nggak bisa dikontrol sedikit? Banyak yang kesindir, tuh," bisik Renata sambil tertawa kecil
"Ngomong-ngomong, gue agak ngeri, nih, liat tatapan Nauval ke elo, Kay. Keliatannya benci banget, deh, sama lo."
Kayla dan Renata langsung melemparkan tatapannya pada sosok yang Wulan bicarakan, memergoki cowok itu yang memang sedang memandangi dengan wajah penuh emosi. Apalagi? Tentu Kayla bertanya-tanya dalam hati, cowok seperti Nauval itu mungkin memang tipe yang pendendam, mudah terusik. Tapi Kayla tidak mau peduli.
"Udahlah biarin aja, yang kayak dia nggak perlu lo takutin," balas Kayla tenang lalu menoleh pada Renata. "Menurut lo kenapa Meta menghindar dari kita? Dia berhasil menutupi lukanya sendiri selama temenan sama kita."
Tidak tahu. Iya, tidak tahu. Renata hanya ingin menjawab pertanyaan Kayla dengan itu, tetapi lidahnya justru kelu. Sedihnya saat ini tak bisa dibendung, banyak suara di pikiran Renata yang mengatakan bahwa seharusnya ia tidak diam saja.
"Jangan terlalu dipikirin, Ren, Kay." Wulan menyeru pelan, menyentuh jemari Renata yang tampak gelisah. "Kita ngerasain hal yang sama, sama-sama ngerasa bersalah. Tapi menurut gue, Meta punya alasan dibalik itu semua. Lo ngerti, kan, rasa sakit di masa lalu yang enggak semuanya bisa dibagi sama orang-orang baru?"
Sekarang Renata dan Wulan bertatapan, Kayla berada di tengah-tengah menyaksikan sifat saling membahu mereka. Kayla merasa beruntung bisa bergabung di sini.
"Meta menghindar juga kemungkinannya untuk menenangkan diri. Pukulan yang dia terima nggak cuma nyakitin fisik, keadaan yang dia jalani selama ini bukan cuma mempengaruhi mentalnya, tetapi juga lingkungannya. Mungkin Meta pernah dikucilkan, makanya dia menyembunyikan itu dari kita."
Penjelasan Kayla menyentak keluar Renata dari dunia kelam yang diciptakannya beberapa saat lalu. Menyadarkan Renata kalau kesalahan itu bukan berasal darinya.
"Gue takut ngeliat reaksi Meta kalau dia sampai tau tentang hal ini. Hubungan dia sama Aksel pasti semakin memburuk juga."
"Kita kasih Meta ruang untuk sendiri dulu, lagi pula kemarin abis dipukul sama bokapnya. Gue kasian sama dia," sedih Wulan dengan kedua sudut bibir yang ditarik ke bawah. "Ren, masalah sama Aksel itu biar Meta yang selesaikan. Kita nggak perlu ikut campur."
Kayla mengangguk setuju. "Terlepas dari siapa yang salah, gue berharap Meta bisa mengontrol emosinya saat itu."
Wulan ikut menganggukkan kepala. "Semoga saat ini dia baik-baik aja," harapnya cemas.
"Meta bikin gue kagum akan tangguh dan tidak terkalahkannya dia. Gue yakin ini cuma masalah kecil, semoga dia bisa atasi ini."
Sekarang hanya doa itu yang bisa Renata berikan bersama dua temannya yang lain, semoga saja Tuhan mengabulkannya, menguatkan hati Meta selama masalah ini masih memanas di lingkungan sekolah.
...***...
"Nggak usah dibangunin, Mas. Saya pacarnya, saya jagain dia, kok."
Aksi lelaki yang hendak membangunkan perempuan yang terlelap di kursi kayu itu terhenti oleh Aksel. Kebetulan Aksel sudah memerhatikan sejak ia berhasil menemukan Meta di sini, tetapi dia memberi ruang untuk Meta merenung. Barangkali gadis itu tahu kesalahannya, hanya saja baginya rasa sakit tetaplah menjadi luka.
"Maaf, saya kira Mbak ini sendirian. Kalau begitu saya permisi dulu," ujar laki-laki yang tidak Aksel kenal itu. Kelihatannya juga bukan orang asli Yogyakarta, makanya bisa dengan fasih menggunakan bahasa Indonesia.
Tak banyak melakukan obrolan lantaran cowok itu yang tampak sedang buru-buru, Aksel mengangguk diikuti segaris senyum di bibirnya. Kemudian setelah laki-laki tadi pergi, ia mengambil bagian untuk duduk di kursi kayu di belakang Meta. Netranya menganalisis sekitaran Jalan Malioboro di kala sore.
Ramai. Itu sudah pasti, banyak pejalan kaki yang berlalu-lalang di sini. Anehnya justru berhasil membawa Meta ke alam mimpi yang damai, tidurnya tampak pulas, Aksel tak enak mengganggu atau bahkan sekadar membangunkannya. Tetapi rintik yang tiba jatuh menyadarkan Meta. Aksel bergegas bangkit, menahan Meta untuk pergi.
Keduanya bertatapan di tengah hujan, disaat pejalan kaki lain mencari tempat untuk berteduh. "Lepasin!" pinta Meta.
"Terlepas dari masalah lo sama Tante Vina, tolong jangan libatkan gue, Ta. Tapi satu kewajiban gue sekarang, nasehatin lo. Semua memang nggak bisa berjalan sesuai sama keinginan lo, dan—"
"Gue nggak butuh nasehat lo! Pergi! Lebih baik simpan nasehat itu untuk diri lo sendiri."
Saat Meta berhasil melepaskan cekalan Aksel, cowok itu kembali mengejar. "Ta, maksud lo apa ngomong kayak gitu?"
Saat Meta berhenti, yang mengejarnya pun berhenti. Meta menghadapkan tubuhnya pada Aksel, tersenyum penuh kebencian pada cowok itu. Duduk sendirian di tempat ini membawanya pada fakta baru, Meta merasa kehancurannya semakin dekat.
Bugh!
Suara pukulan itu tertahan oleh derasnya hujan di Jalan Malioboro, menumbangkan Aksel saat cowok itu tak punya kesiapan. Sembari menahan sakit, Aksel tetap bertanya apa yang membuat Meta murka seperti sekarang.
"Lo kenapa, Meta?!"
"Gue mau balik ke Jakarta detik ini juga!"