Prolog
Hujan deras mengguyur malam itu, membasahi jalanan berbatu yang dipenuhi genangan air. Siena terengah-engah, tangannya berlumuran darah saat ia berlari melewati gang-gang sempit, mencoba melarikan diri dari kematian yang telah menunggunya. Betrayal—pengkhianatan yang selama ini ia curigai akhirnya menjadi kenyataan. Ivana, seseorang yang ia anggap teman, telah menjebaknya. Dengan tubuh yang mulai melemah, Siena terjatuh di tengah hujan, napasnya tersengal saat tatapan dinginnya masih memancarkan tekad. Namun, sebelum kesadarannya benar-benar menghilang, satu hal yang ia tahu pasti—ia tidak akan mati begitu saja.
Di tempat lain, Eleanor Roosevelt menatap kosong ke luar jendela. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat tanpa kehidupan, seolah dunia telah menghabisinya tanpa ampun. Sebagai istri dari Duke Cedric, ia seharusnya hidup dalam kemewahan, namun yang ia dapatkan hanyalah kesepian dan penderitaan. Kabar bahwa suaminya membawa wanita lain pulang menghantamnya seperti belati di dada
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon d06, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 24 badai
Saat Eleanor tenggelam dalam pikirannya, suara petir tiba-tiba menggelegar dari luar, menggetarkan seluruh kapal. Suara orang-orang di luar mulai bergemuruh, saling berseru dan memperingatkan satu sama lain.
Badai? Seketika, naluri Eleanor menyuruhnya untuk bergerak. Ia bergegas menuju pintu dan membuka jendela kabin, dan yang dilihatnya membuat napasnya tertahan—langit yang sebelumnya cerah kini menghitam, ombak bergulung-gulung dengan ganas, dan angin bertiup kencang, menggoyangkan layar kapal dengan keras.
Tanpa ragu, Eleanor keluar dari kabinnya dan menuju dek utama. Di sana, para awak kapal sibuk mengamankan layar dan tali, wajah mereka dipenuhi ketegangan. Air hujan mulai turun, membawa hawa dingin yang menusuk kulit.
Di tengah kekacauan itu, matanya mencari sosok Cedric. Ia menemukannya berdiri di sisi kemudi bersama Brian dan beberapa awak kapal lainnya. Meski situasi tampak berbahaya, ekspresi Cedric tetap tenang, seolah badai ini hanyalah rintangan kecil di perjalanan mereka.
"Eleanor! Masuk ke dalam, ini bukan tempatmu!" suara Cedric terdengar tegas saat melihatnya berdiri di tengah dek.
Cedric berdiri di tengah terpaan angin dan hujan deras, memimpin para awak kapal yang berjuang mengendalikan layar dan menjaga keseimbangan kapal. Tubuhnya sudah basah kuyup, tetapi tatapannya tetap tajam, fokus pada setiap perintah yang diberikan.
Sementara itu, di dalam kabin, Eleanor duduk di dekat perapian, mencoba menghangatkan tubuhnya. Api yang berkobar memberikan sedikit ketenangan di tengah guncangan kapal yang tak kunjung reda. Ia menoleh ketika pintu terbuka, dan Cedric muncul dengan langkah cepat, rambutnya meneteskan air, dan wajahnya tampak sedikit lelah.
"Bagaimana keadaan di atas? Apa sudah membaik?" tanya Eleanor dengan nada khawatir.
Cedric mengusap wajahnya yang basah sebelum menjawab, "Badai masih besar. Kami masih berusaha mengendalikan kapal." Suaranya terdengar tergesa-gesa, seakan tidak ingin berlama-lama di dalam.
Tanpa menunggu jawaban Eleanor, Cedric segera berbalik untuk kembali ke dek. Dari belakang, Eleanor bisa melihat betapa tegang dan sibuknya dia.
Di sisi lain kabin, Lord Alistair duduk dengan wajah pucat di dekat perapian, tangannya didekatkan ke api untuk menghangatkan diri. Meski sebelumnya ia membantu Cedric di atas, kini dinginnya udara mulai mengalahkannya, membuatnya memilih untuk berlindung sementara waktu.
Eleanor menghela napas. Ia tahu, badai ini belum akan reda dalam waktu dekat.
Eleanor tetap duduk di dekat perapian, memperhatikan api yang berkedip-kedip tertiup angin yang masuk melalui celah pintu. Guncangan kapal semakin terasa, menandakan bahwa badai di luar belum juga mereda. Suara ombak yang menghantam lambung kapal terdengar jelas, bersamaan dengan teriakan awak kapal yang terus berusaha menjaga keseimbangan kapal.
Lord Alistair yang duduk di seberangnya masih mencoba menghangatkan diri. Wajahnya pucat dan ekspresinya menunjukkan kelelahan. Eleanor bisa melihat bagaimana jemarinya sedikit gemetar, entah karena dingin atau karena ketegangan.
Pintu tiba-tiba terbuka dengan keras, membuat Eleanor menoleh. Luthair muncul dengan pakaian yang basah kuyup dan rambut acak-acakan. "Astaga, badai ini benar-benar mengerikan! Aku hampir terpental ke laut!" katanya seraya mengibaskan air dari bajunya.
Eleanor berdiri. "Bagaimana keadaan Cedric?" tanyanya cepat.
Luthair mendengus sambil berjalan mendekati perapian. "Dia masih di atas, tentu saja. Seperti biasa, bertindak seperti pahlawan. Aku tidak tahu bagaimana dia masih bisa berdiri di tengah badai seperti itu."
Eleanor menggigit bibirnya. Cedric memang keras kepala, dan dalam situasi seperti ini, ia pasti akan bertahan sampai kapal benar-benar aman.
Tiba-tiba, guncangan besar membuat mereka hampir kehilangan keseimbangan. Lord Alistair mengumpat pelan, sementara Luthair segera berpegangan pada kursi. Eleanor meraih dinding untuk menopang dirinya.
"Aku harus melihat keadaan di atas," ucapnya.
Luthair menatapnya dengan dahi berkerut. "Jangan gila! Kau pikir bisa melakukan apa di atas sana?"
"Tidak mungkin aku hanya duduk diam di sini sementara semua orang berjuang," jawab Eleanor tegas.
Tanpa menunggu jawaban, ia segera mengambil mantel tebalnya dan berjalan menuju pintu, meninggalkan kehangatan perapian dan memasuki kegelapan badai di luar.
Begitu Eleanor membuka pintu, angin kencang langsung menerpa wajahnya, membawa serta butiran air hujan yang menusuk kulit seperti jarum-jarum kecil. Ombak besar menghantam sisi kapal, membuat dek terasa seperti bergoyang tak terkendali. Eleanor menahan napas, mencengkeram pegangan di dekatnya agar tidak terjatuh.
Di tengah kekacauan itu, matanya segera menangkap sosok Cedric yang berdiri kokoh di dekat kemudi, memberikan perintah kepada awak kapal dengan suara lantang meski angin dan gemuruh ombak berusaha menenggelamkan suaranya. Pakaian Cedric sudah basah kuyup, rambutnya menempel di wajahnya, tapi matanya tetap tajam dan fokus.
Eleanor menapakkan kaki dengan hati-hati, berjalan mendekat dengan mantel tebal yang melambai liar tertiup angin. Beberapa awak kapal berlarian ke sana kemari, menarik tali layar dan memastikan kapal tetap stabil.
"Cedric!" Eleanor berteriak, tapi suaranya hampir tertelan oleh badai.
Cedric menoleh sekilas sebelum kembali memperhatikan ombak yang semakin ganas. "Apa yang kau lakukan di sini? Kembali ke bawah!" suaranya terdengar keras, penuh perintah.
Eleanor menggeleng. "Aku bisa membantu!"
Cedric mendecakkan lidah, jelas tidak setuju. Tapi sebelum ia bisa mengatakan sesuatu, kapal tiba-tiba berguncang hebat, membuat Eleanor kehilangan keseimbangan. Ia terhuyung ke belakang, hampir terpental ke luar dek jika saja Cedric tidak dengan sigap menarik tangannya dan menahannya erat di dadanya.
"Dasar keras kepala," gumam Cedric, suaranya nyaris tak terdengar di antara suara badai. Ia menatap Eleanor, ada kilatan ketegangan dan kekhawatiran di matanya.
"jika kau ingin membantuku maka tetap diam lah didalam" suara Cedric sedikit meninggi
Setelah dimarahi oleh Cedric dan eleanor sadar bahwa benar dirinya tidak ada gunanya dia belum pernah menghadapi situasi seperti ini
Eleanor tetap duduk di dekat perapian, mendekap dirinya sendiri dalam kehangatan yang tersisa dari api yang mulai meredup. Suara gemuruh badai di luar semakin kuat, kapal sesekali berguncang hebat, namun ia tetap diam, menatap api yang berkelip-kelip seolah menari mengikuti irama angin di luar.
Pikirannya melayang ke atas dek, membayangkan Cedric dan para awak kapal yang sedang berjuang mengendalikan kapal di tengah amukan badai. Cedric pasti basah kuyup, meneriakkan perintah di antara suara angin dan deburan ombak. Bayangan itu membuat dadanya terasa sedikit sesak, tapi apa yang bisa ia lakukan? Tidak ada. Keberadaannya di luar hanya akan menjadi beban.
Menarik napas panjang, Eleanor merebahkan diri di atas tempat tidur. Dia mencoba menutup matanya meskipun kapal terus bergoyang. Matanya terasa berat, tapi pikirannya terus mengembara.
"Aku hanya perlu tidur," gumamnya pelan, meyakinkan dirinya sendiri.
Suara badai masih menggema, namun tubuhnya perlahan mulai rileks. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi saat badai reda nanti, tapi untuk saat ini, yang bisa ia lakukan hanyalah beristirahat dan menunggu fajar datang.
suka banget sama alurnya, pelan tapi ada aja kejutan di tiap bab...
lanjut up lagi thor