••GARIS TAKDIR RAYA••
Kehidupan Raya Calista Maharani penuh luka. Dibesarkan dalam kemiskinan, dia menghadapi kebencian keluarga, penghinaan teman, dan pengkhianatan cinta. Namun, nasibnya berubah saat Liu, seorang wanita terpandang, menjodohkannya dengan sang putra, Raden Ryan Andriano Eza Sudradjat.
Harapan Raya untuk bahagia sirna ketika Ryan menolak kehadirannya. Kehidupan sebagai nyonya muda keluarga Sudradjat justru membawa lebih banyak cobaan. Dengan sifat Ryan yang keras dan pemarah, Raya seringkali dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan atau menyerah.
Sanggupkah Raya menemukan kebahagiaan di tengah badai takdir yang tak kunjung reda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8: Villa Pribadi
"Ini bukan rumah nona, tapi sejenis vil..." ucapan sopir itu terpotong begitu saja, karena Arka tiba-tiba berbicara meskipun matanya masih setengah terpejam.
"Ce... cepat selesaikan masalahnya, tidak ada yang menyuruhmu berbicara," ujar Arka dengan suara datar namun tegas, membuat sopir itu langsung mengangguk paham.
"Baik, tuan... saya minta maaf," jawab sopir dengan sikap hormat.
Raya sedikit terkejut mendengar Arka yang ternyata mendengarkan ucapannya, padahal ia mengira pria itu sedang tertidur lelap. Sopir itu pun keluar dari mobil dan mulai memeriksa kondisi ban yang kempes.
"Siapa yang ngizinin lo bicara sama dia?! Hukuman lo bertambah karena bicara tanpa seizin gue," ujar Arka, suaranya tetap datar namun penuh ancaman. Raya merasa seolah darahnya mendidih mendengar ucapan Arka.
"Kak... tapi aku nggak berbicara sama kakak, aku cuma nanya tentang perjalanan ini aja," jawab Raya, mencoba mempertahankan ketenangannya, meski kesal.
"Lo bicara untuk kedua kalinya tanpa izin gue, hukuman lo bertambah lagi!" Arka tetap dengan nada yang sama, penuh tekanan.
"Akhhh, what the fuck!" Raya kesal, meski suaranya tidak terlalu keras, tetapi Arka tetap bisa mendengarnya.
"Gue denger ya lo bilang apa!" Arka membalas dengan nada yang tak bisa dipermainkan.
"Syukurlah," jawab Raya pelan, hampir tak terdengar.
"Diam, atau gue buang lo di sini!" ujar Arka dengan mata yang sudah terbuka penuh. Tatapan itu begitu tajam, seolah bisa menembus apapun yang ada di depannya.
Raya hanya bisa menunduk, menahan amarah yang memuncak di dada. Sikap Arka yang terkesan egois, penuh kendali, dan tidak memberi ruang baginya untuk berbicara membuatnya semakin membenci pria itu. Namun, ia tahu bahwa melawan hanya akan memperburuk keadaan. Keinginannya untuk tetap hidup dan keluar dari situasi ini lebih besar daripada sekedar membela dirinya.
"Tuan... maaf, bisa turun dulu? Saya akan mengganti bannya," ujar sang sopir, dengan nada sopan namun cepat-cepat, seolah mengerti betul dengan ketegangan yang ada di mobil.
Tanpa berkata apapun, Arka turun dari mobil, begitu pula dengan Raya yang terpaksa mengikutinya. Ia menghembuskan napas panjang, merasakan udara malam yang semakin dingin di luar mobil. Meskipun ia ingin berteriak, menentang Arka, tubuhnya terasa kaku, seolah seluruh energi hidupnya terambil oleh pria itu. Ia hanya bisa berjalan mengikuti langkah Arka, tanpa tahu pasti apa yang menantinya di depan sana.
"Aku lelah... Bisa urus sisanya dulu, Alex?!" ujar Ryan yang baru saja tiba di Singapura, negara dengan julukan Negeri Singa putih itu. Bersama Alex, pria yang dua tahun lebih muda darinya, yang juga merupakan sahabat sekaligus sekretaris pribadinya, Ryan merasa sedikit lega setelah perjalanan panjang.
"Baiklah, Ryan... Kau istirahat saja dulu. Nanti malam kau harus menemui klien itu, oke?" tanya Alex dengan nada yang ringan namun penuh tanggung jawab.
"Hem... Pergilah, aku ingin tidur sebentar saja," ujar Ryan sambil menyandarkan tubuhnya ke belakang, mencoba meredakan kelelahan yang menumpuk. Sebelum Alex pergi, dia menoleh ke Ryan dengan ekspresi usil.
"Bolehkah aku pergi belanja?" Ujar nya menggoda Ryan. Ryan yang sudah merasa malas hanya memutar bola matanya dan menjawab.
"Haruskah bertanya seperti itu pada bosmu?" Ujar Ryan, dengan nada malas. Alex tertawa kecil mendengar jawaban Ryan yang khas.
"Hahaha... Selamat beristirahat, pak bos," katanya, lalu pergi meninggalkan kamar Ryan. Namun, baru saja Ryan berniat untuk memejamkan matanya, dering ponselnya terdengar begitu nyaring, memaksanya untuk membuka mata kembali.
"Shit!! ... Siapa lagi yang menggangguku? Awas saja kalau ini Alex!" ujar Ryan dengan nada kesal yang jelas terdengar.
"Sialan, apa yang kau inginkan? Kenapa selalu menggangguku?!" bentak Ryan pada orang yang menelepon, tanpa melihat siapa yang menelepon. Suara bentakan Ryan cukup keras, membuat orang di seberang telepon terkejut.
"Raden, ucapanmu!" terdengar suara lembut dari seberang telepon.
Ryan yang mendengar suara itu langsung terdiam dan menatap layar ponselnya dengan terkejut. Nama yang tertera di layar ponselnya membuatnya terdiam sejenak.
"Mama... Maaf, aku tidak bermaksud bicara seperti itu. Aku kira itu Alex," ujar Ryan dengan nada penuh penyesalan, langsung merasa menyesal karena suaranya yang kasar.
"Jaga perkataan mu. Mama tidak pernah mengajarkan hal seperti itu," ujar suara lembut itu, yang tak lain adalah ibunya, Liu.
"Ryan minta maaf," jawab Ryan dengan suara pelan, merasa sangat bersalah.
"Mama hanya ingin bilang, ada satu barangmu yang tertinggal. Maaf jika Mama telah mengganggumu," ujar Liu dengan nada yang tenang namun penuh pengertian, lalu langsung mematikan teleponnya tanpa memberi kesempatan lagi bagi Ryan untuk berkata lebih banyak.
Ryan terdiam, merasa sangat bersalah karena telah membentak ibunya. Ia tahu betul bahwa Liu pasti salah paham padanya. Memang, pagi tadi sebelum berangkat, mereka sempat terlibat perdebatan kecil. Sebabnya, Ryan kesal menunggu Liu yang sedang mandi, dan itu membuatnya sedikit dingin terhadap ibunya.
"Pasti Mama salah paham. Ya tuhan, aku tidak mungkin kembali ke Indonesia lagi, kan?" ujar Ryan dalam hati, pikirannya mulai berkecamuk. Ia merasa bingung, kesal, dan tidak tahu bagaimana harus menjelaskan semuanya pada ibunya.
Setelah beberapa saat merenung, akhirnya Ryan mengambil keputusan. Ia memutuskan untuk tetap tinggal di Singapura dan berharap bisa meminta maaf pada ibunya saat kembali ke Indonesia nanti.
~~~ **INDONESIA 10 : 21 WIB** ~~~
"Tuan, silakan kembali ke mobil. Semuanya sudah selesai," ujar sang sopir dengan suara yang sedikit cemas, setelah mereka menunggu lebih dari dua jam hanya untuk mengganti ban mobil. Waktu yang terbuang begitu saja karena ukuran ban cadangan yang tidak sesuai. Hal itu membuat sang sopir terpaksa mencari ban lain yang cocok untuk menggantikan ban yang kempes.
"Lain kali, bekerja lah lebih baik lagi. Jangan sampai kejadian seperti ini terulang kembali. Saya tidak suka membuang-buang waktu seperti ini," ujar Arka dengan nada dingin dan tegas, sambil memasuki mobil. Ia segera ingin melanjutkan perjalanan yang sudah tertunda cukup lama.
"Baik... Maafkan saya, Tuan," jawab sang sopir dengan rasa bersalah, menundukkan kepala sejenak, merasa tidak enak hati kepada atasannya.
Perjalanan pun kembali dilanjutkan, menuju tempat yang hanya diketahui oleh Arka dan sopirnya. Raya hanya duduk diam di samping Arka, merasa cemas untuk bertanya apapun. Ia takut jika Arka akan menambah lagi hukuman untuknya.
Perjalanan semakin terasa lama, dan akhirnya Raya memilih untuk memejamkan matanya untuk mengusir rasa jenuh. Sepanjang perjalanan, ia hanya diam, tak berbicara sepatah kata pun, berusaha menikmati sedikit ketenangan meskipun merasa tertekan.
"Kamu cantik sekali," ujar Arka, menatap wajah Raya yang tertidur pulas di sampingnya. Sebenarnya, sejak tadi Arka tidak pernah benar-benar tertidur. Ia hanya mengamati Raya dengan tatapan yang penuh arti.
"Agak cepat!," Arka mengarahkan pandangannya pada sopir, memberikan perintah agar perjalanan lebih dipercepat.
" Sekitar 10 menit lagi kita sampai, Tuan," jawab sopir dengan suara tenang, meskipun jelas bisa mendengar ketegangan dalam nada Arka.
Arka kembali menatap wajah Raya yang masih tertidur pulas. Ada sebuah ekspresi yang sulit diungkapkan di wajahnya, dan dengan hati yang sedikit cemas, ia berucap dalam hati,
"Maafkan aku karena sudah menyakiti wajahmu, maaf juga telah menambahkan luka baru." Ujarnya pelan. Pria itu kemudian mengangkat ponselnya dan menekan nomor yang sudah dikenalnya. Setelah beberapa detik, terdengar suara di seberang sana.
"Siapkan kamar untuk tamu ku," perintah Arka dengan suara datar, lalu menutup sambungan telepon dengan cepat, seakan tidak ingin ada percakapan lebih lanjut.
Akhirnya, mobil yang ditumpangi oleh Arka dan Raya sampai di sebuah villa megah yang bernuansa tradisional. Vila tersebut tampak begitu luas, dengan pemandangan alam yang menakjubkan. Dari luar, bangunan vila terlihat elegan dengan atap runcing yang dihiasi ukiran-ukiran kayu khas tradisional yang kaya akan nilai seni. Dinding batu berwarna hangat berpadu dengan kayu yang dibiarkan alami, memberikan kesan kokoh namun tetap ramah. Di sekeliling vila, pepohonan rindang dan tanaman hijau menambah kesejukan, menciptakan suasana yang begitu damai dan tenang. Beberapa satpam yang berjaga terlihat sigap, berpakaian serba hitam, berdiri tegap di sekitar gerbang besar dan pagar yang tertutup rapat, siap siaga kapan pun.
" Bukakan pintu mobilnya, dan bawa kembali mobil ini ke rumah utama. Jika orang tua saya bertanya tentang saya, jangan katakan saya ada di sini!" ujar Arka, dengan nada yang lebih tegas lagi. Perintahnya jelas, tanpa ruang untuk perdebatan.
Sang sopir mengangguk patuh, kemudian membukakan pintu mobil dengan tangan yang sedikit gemetar. Arka keluar dari mobil dengan Raya yang ada di gendongannya. Begitu Arka menggendong Raya keluar dari mobil, keheningan villa tersebut seolah menguatkan kesan tenang dan kedamaian. Udara malam yang segar mengisi setiap ruang, sementara cahaya rembulan menembus sela-sela daun pohon besar yang ada di sekitar vila. Villa itu tampak seperti surga yang terpisah dari dunia luar.
Nuansa pertama yang dapat dirasakan saat masuk ke vila adalah suasana tradisional yang begitu kental, layaknya rumah-rumah di perkampungan yang sederhana namun memikat. Dindingnya terbuat dari kayu gelap yang dipoles dengan hati-hati, dan di setiap sudut, terdapat ukiran-ukiran halus yang menceritakan kisah masa lalu. Pemandangan dari ruang tamu sangat memukau, dengan jendela besar yang menghadap ke taman luas dan pepohonan rindang yang tampak seperti pelindung alami vila ini. Cahaya lembut dari lampu gantung yang terbuat dari kerang-kerang berwarna kuning menciptakan atmosfer hangat di dalamnya.
Arka menggendong Raya ke lantai dua, di mana sebuah kamar telah disiapkan khusus untuknya. Begitu memasuki kamar, suasana semakin terasa nyaman dengan interior bernuansa kayu dan kain lembut yang menghiasi setiap sudutnya. Arka membaringkan tubuh Raya dengan perlahan di atas ranjang besar yang terbungkus selimut tebal. Dia menatap wajah Raya sejenak, lalu pergi keluar dari kamar setelah memastikan bahwa Raya sama sekali tidak terusik dalam tidurnya.
"ANI, ASIH, SERA!!" teriak Arka memanggil para asisten rumah tangga yang bekerja di vila miliknya. Tak butuh waktu lama, ketiga orang muda itu segera datang menghampiri tuan mereka.
"Ya, Tuan..." jawab mereka serempak, tampak sedikit tegang menghadapi sikap tegas Arka.
" Ada wanita yang tidur di lantai atas. Kalian siapkan makanan dan rapikan di meja makan. Ingat, tidak boleh ada yang memerintahnya kecuali saya. Jika ada yang berani mengganggunya, kalian berurusan dengan saya! KALIAN MENGERTI?!!" ujar Arka dengan nada serius yang penuh tekanan.
"Mengerti, Tuan!!" jawab para asisten itu dengan tegas.
"Bagus, pergilah kembali ke pekerjaan masing-masing!!" ujar Arka, suaranya kembali terdengar tegas, menunjukkan bahwa perintahnya adalah hal yang tak bisa dibantah.
Ketiga asisten itu segera pergi, meninggalkan Arka sendiri di ruang tamu villa yang megah namun terasa sepi. Arka berdiri di depan jendela besar, menatap keluar ke taman yang diterangi cahaya bulan, memikirkan segala sesuatu yang telah terjadi. Vila yang besar ini terasa begitu sunyi, seolah hanya ada dia dan Raya yang sedang tidur di lantai atas.
~~ 18:03 WIB ~~
"Eumhhh....." Raya, gadis cantik itu, perlahan membuka matanya. Ia merasa sangat nyaman dengan tidurnya, hingga tak menyadari bahwa dirinya berada di tempat yang asing.
"Ya Tuhan, aku tidur nyenyak sekali. Apakah ibu dan ayah sudah makan?" ujarnya, kebiasaan yang selalu dia lakukan, memasakkan makanan untuk keluarga tercinta. Namun, saat matanya mulai terbuka sepenuhnya, dan dia menatap sekeliling kamar, barulah Raya menyadari bahwa ini bukanlah kamarnya. Sebuah kamar mewah dengan nuansa yang elegan, yang jelas bukan tempat dia biasa tidur.
Seketika itu juga, ingatan tentang peristiwa sebelumnya kembali menghampiri. Hukumannya, dan wajah kakak tingkatnya yang begitu tegas.
"Kak Arka... Apa dia yang menggendongku kemari?" ujar Raya, berbicara pada dirinya sendiri dengan suara pelan.
Raya terduduk di ujung ranjang, bingung harus bagaimana. Semua terjadi begitu cepat. Namun, saat dia asyik merenung, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang mendekat dan suara kunci kamar yang diputar.
Dan benar saja, sosok Arka muncul di ambang pintu. Pria tampan itu masuk dengan tatapan lurus, penuh ketegasan. Aura dingin yang selalu menyertainya begitu terasa, menghujam ke udara.
"Bagus... Nyonya kita sudah bangun!" ujar Arka dengan nada datar, hampir tanpa ekspresi.
"Maaf, Kak," jawab Raya, terkejut dan ketakutan dengan suara Arka yang terkesan sangat menyeramkan.
"Gue nggak nyuruh lo bicara! Sekarang lo bangun dan masakin gue makan malam! Lo kira gue bawa lo ke sini buat tidur aja?!" ujar Arka, dengan nada perintah yang keras.
Raya hanya bisa mengangguk, mengiyakan apa yang diperintahkan, karena dia memang tidak berani mengatakan apa pun, apalagi melawan perintah Arka.
"Lo bisu hah?" ujar Arka lagi, membuat Raya memberanikan diri untuk menatap wajah Arka yang tegas dan penuh otoritas.
"Maafkan aku, Kak. Aku akan memasakkan sesuatu untukmu," ujar Raya, dengan nada pelan, turun dari ranjang dan berjalan melewati Arka tanpa mengatakan apa pun. Arka, yang melihat kepergian Raya, terdiam sejenak. Kemudian, dengan langkah cepat, dia mengikuti langkah Raya, memberitahunya apa yang ingin dia makan malam ini.
"Gue mau makan masakan dari daging. Waktu lo untuk masak hanya tiga puluh menit. Lo tau sendiri, kalau lo telat, hukuman lo bertambah!" ujar Arka dengan suara tegas, bahkan menyerobot langkah Raya, membuatnya kehilangan keseimbangan dan jatuh ke lantai.
"AUW..." Raya mengerang, rasa sakit menyebar di tubuhnya. Namun, Arka tidak menoleh sedikit pun ke arah Raya, yang sedang kesakitan karena ulahnya. Dengan langkah tertatih, Raya berusaha bangkit dan berjalan menuju dapur, yang dia tebak berada di arah kanan. Tebakannya benar.
Dapur itu, meskipun dilengkapi dengan peralatan masak yang sangat lengkap, memiliki interior yang cukup tradisional. Lantai kayu yang dipoles rapi berpadu dengan lemari-lemari antik yang terbuat dari kayu tua, memberikan kesan klasik dan elegan. Peralatan masak seperti panci, wajan, dan pisau yang terbuat dari logam berkilau dengan desain simpel, namun sangat fungsional, melengkapi suasana tersebut. Raya sempat berpikir, apakah Arka memang menyukai barang-barang antik dan klasik, mengingat semuanya terlihat sangat terawat dan penuh makna. Suasana dapur itu memberikan kesan nyaman, namun tetap menjaga keanggunan dalam kesederhanaannya, menciptakan tempat yang terasa hangat meskipun sepi.
"Nona..." ujar seorang wanita yang bekerja di rumah itu dengan suara lembut.
"Ehkk...." Raya terkejut mendengar suara itu, hampir tersentak karena tidak menyangka ada orang lain di dekatnya.
"Akh... Maafkan saya, Nona. Anda sedang mencari sesuatu? Biarkan saya bantu," ujar wanita itu, terlihat cemas karena mengejutkan Raya.
"Akh... Tidak apa-apa. Sebelumnya, jangan panggil aku Nona, panggil saja aku Raya," ujar Raya sambil tersenyum tipis, mencoba meredakan ketegangan.
"Akh... Maafkan saya, Nona. Ini sudah kebiasaan kami, jadi kami tidak bisa mengubah panggilan kami," jawab wanita itu dengan suara penuh penyesalan. Raya langsung tahu bahwa wanita ini pasti bekerja di rumah Arka. Dia hanya tersenyum tipis yang dipaksakan, mencoba untuk lebih santai.
"Yasudah... Siapa namamu? Aku lihat kamu masih muda," tanya Raya lagi, berusaha untuk mengalihkan pembicaraan.
"Saya Ani, Nona. Usia saya 19 tahun," jawab wanita itu, memperkenalkan dirinya.
"Baiklah, Ani... Aku ingin memasak steak. Apa ada daging dan bahan-bahan lainnya untuk membuat steak?" tanya Raya, tetap dengan senyum ramah yang terpaksa dia tampilkan.
"Tentunya ada, Nona. Tuan Arka memang sangat menyukai makanan yang berbahan daging, apalagi steak," jawab Ani dengan antusias.
" Akh.. begitu " ujar Raya sembari mengangguk - anggukan kepalanya pertanda bahwa dia mengerti dengan ucapan Ani.
"Mau saya bantu, Nona?" Tanya nya sopan.
Raya berpikir sejenak. Waktu yang diberikan oleh Arka memang terbatas, dan dia khawatir jika masakan belum siap tepat waktu, Arka akan semakin menambah hukumannya. Jika itu terjadi terus-menerus, dia tak akan pernah bisa kembali ke rumah.
"Baiklah, Ani... Kamu bisa membantu aku!" ujar Raya akhirnya, setelah mempertimbangkan situasi.
"Baik, Nona, dengan senang hati," jawab Ani, membantu Raya sedikit demi sedikit. Meski langkahnya tak sebanyak Raya, kehadirannya tetap memberikan sedikit ketenangan.
Raya, dengan keterampilan memasaknya yang lincah, langsung bergerak cepat. Ia mengolah daging steak dengan hati-hati, tanpa ragu sedikit pun. Wajahnya penuh konsentrasi, seolah dunia luar tak ada.
"Nona... Anda sangat pandai memasak... Apakah Anda memiliki usaha rumah makan atau restoran?" tanya Ani, berusaha bersikap lebih akrab dengan Raya. Mungkin, dengan berbicara lebih banyak, ia bisa mengenal Raya lebih dekat.
"Tidak, Ani... Aku bukan orang kaya seperti teman-teman Kak Arka yang lain, dan aku juga bukan teman Kak Arka," jawab Raya, masih sibuk mengolah daging yang ada di wajan.
Ani tak melanjutkan ucapannya lagi. Dia tahu batasannya. Jika sampai membicarakan lebih banyak tentang hubungan antara Raya dan Arka, bisa saja Raya mengadu pada Arka, dan pekerjaan Ani bisa terancam. Oleh sebab itu, Ani memilih untuk diam, melanjutkan bantuannya, walaupun kehadirannya tidak terlalu penting. Setidaknya, ia bisa membantu Raya meskipun hanya dengan sedikit bantuan.
"Nona..." Suara lembut seorang wanita menarik perhatian Raya. Dengan cepat, Raya menoleh ke belakang, melihat dua wanita lain yang datang menghampirinya. Untuk sesaat, ia terdiam. Tak yakin apakah panggilan "Nona" itu ditujukan untuknya, karena ia tahu posisinya di sini hanya sebagai seseorang yang sedang dihukum oleh kakak tingkatnya.
"Nona... Tuan Arka memanggil Anda, beliau sudah memanggil Anda sedari tadi," ujar wanita itu dengan nada sopan.
"Oh... Maafkan aku, aku tidak mendengar dia memanggilku. Baiklah, aku akan datang," *jawab Raya cepat, sedikit tergesa-gesa* "Ani, bisa tolong gantikan masakan ku dahulu? Aku takut jika dagingnya gosong," lanjutnya, sebelum segera bergegas menuju tempat Arka. Namun, baru lima langkah berjalan, ia berhenti dan menoleh.
"Akh... Maaf! Dimana Kak Arka berada?" tanyanya, merasa sedikit cemas karena terburu-buru.
"Dia di halaman samping, Nona, dekat kolam renang," jawab salah satu wanita itu, memberikan petunjuk yang jelas.
Raya mengangguk, tersenyum tipis, dan kemudian meninggalkan ketiga wanita itu. Dengan langkah cepat, ia melewati ruang tamu yang luas dan melewati sebuah pintu kaca besar yang mengarah langsung ke halaman samping villa. Begitu melewati pintu itu, dia disambut oleh pemandangan kolam renang yang luas dan terawat. Air kolam yang berkilauan memantulkan cahaya bulan, menciptakan suasana yang tenang, meski aura villa itu terasa begitu sepi.
Di dekat kolam renang, Arka duduk di kursi panjang yang terbuat dari kayu, dengan mata terpejam, seakan menikmati kedamaian. Raya tertegun sesaat saat matanya tertuju pada sosok Arka. Hal yang membuatnya terkejut adalah penampilan Arka yang hanya mengenakan celana pendek ketat berwarna hitam. Tubuh Arka yang kekar dan berotot terlihat jelas, dari pusar ke atas yang terpapar sempurna. Raya menelan ludahnya tanpa sadar, merasa sedikit canggung melihat pemandangan itu, meski ia berusaha untuk tetap tenang.
Dengan langkah ragu, Raya mendekat ke arah Arka. Tanpa mengatakan apapun, ia berdiri di sampingnya, tak berani memulai percakapan. Suasana di sekitar mereka terasa sunyi, hanya ada suara angin yang sesekali menerpa pepohonan di sekitar villa.
"Ekhm..." Raya membersihkan tenggorokannya, suara kecil itu seakan menjadi satu-satunya cara untuk mengingatkan Arka bahwa ia ada di sana. Namun, ia takut jika Arka malah kembali membahas hukuman yang harus diterimanya. Raya hanya ingin segera menyelesaikan hukuman ini dan kembali ke rumah, meskipun rumahnya bukanlah tempat yang menyenangkan atau penuh kasih sayang. Namun, itu jauh lebih baik daripada terus hidup di bawah bayang-bayang rasa takut yang selalu menghantui setiap kali ia bersama Arka.
"Berlutut lah..." perintah Arka dengan suara yang tegas, namun dingin. Raya sempat terdiam sejenak, bingung dan ragu. Namun, pada akhirnya, ia hanya mengikuti perintah itu dan perlahan berlutut di hadapan kaki Arka, rasa terpaksa memenuhi setiap geraknya.
" Pijat kaki gue... Gue cape!!" Arka berkata dengan suara datar namun penuh perintah. Ia sengaja menjulurkan kakinya, tepat di hadapan wajah Raya, seakan-akan menunjukkan kekuasaannya yang tak terbantahkan.
Raya mendengar perintah itu dan menghela nafas panjang. Keadaan ini begitu tidak adil baginya, tetapi apa yang bisa dia lakukan? Dengan hati yang terpaksa, tangan Raya mulai bergerak, memijat betis Arka yang terasa tegang. Setiap gerakan tangannya dipenuhi kebencian yang tak terucapkan, tetapi ia menahannya dengan rapat.
"*Begini kah rasanya jadi orang kaya? Bisa merendahkan siapapun sesuka hati, bisa menampar, memukuli, menghina, dan juga memperlakukan manusia layaknya seekor hewan peliharaan yang harus patuh dan tunduk pada tuannya*?" kata-kata itu melintas dalam hati Raya, meskipun tak berani terucap. Ia tahu, jika dia bicara, mungkin hukuman yang lebih berat akan menantinya.
"Lo boleh ngomong, jawab pertanyaan gue. Lo masak apa,?" Arka bertanya, matanya menatap tajam ke arah Raya yang sedang sibuk memijat kakinya. Suara Arka memecah keheningan, mengingatkan Raya akan posisinya yang terperangkap di antara perintah dan kebencian.
"Steak," jawab Raya singkat, namun tetap dengan fokus pada tangannya yang bergerak memijat betis Arka.
"Lo bisa masak daging itu?" Arka bertanya lagi, nada suaranya mencurigakan. Ia menatap Raya, seolah ingin tahu lebih jauh.
"Ya, bisa!" jawab Raya, masih tak mengalihkan perhatian dari tangan yang terus bekerja.
"Hemmmm... Boleh juga," ujar Arka sambil mengangkat ponselnya. Dengan nada santai, ia berbicara kepada seseorang di ujung telepon.
"Siapkan saja dan bawa ke sini," perintahnya, lalu langsung menutup telepon dan meletakkannya sembarangan di sampingnya. Seolah, ponsel itu tak lebih berharga daripada benda biasa.
"Pijat yang keras, loyo banget, gaada tenaga!" keluh Arka, seolah menuntut lebih. Raya tidak menanggapi. Ia hanya terus melanjutkan pijatannya dengan lebih kuat, meskipun perasaan tertekan terus menggerogoti hatinya.
"Lo dua hari tinggal di sini, dan Lo di sini bukan liburan. Karena Lo berani nolak pemberian dan perintah gue, maka sekarang gue akan ajarkan Lo bagaimana caranya bersikap sopan santun pada majikan Lo," Arka melanjutkan, masih dalam nada yang sama. Suaranya begitu dingin, tak ada sedikit pun empati dalam kata-katanya.
"Kak, lalu bagaimana dengan pelajaranku? Bagaimana dengan orang tuaku? Mereka pasti akan mencari aku," tanya Raya, berusaha bernegosiasi. Namun, hatinya tahu betul bahwa ini semua percuma.
"Jangan merasa jadi anak sok penting deh... Gue tau seburuk apa Lo di mata keluarga Lo. Sekalipun Lo mati, gak akan ada yang peduli. Mereka lebih sayang uang daripada Lo," jawab Arka dengan suara yang tak berbelas kasihan. Kata-katanya seperti pisau yang menusuk langsung ke hati Raya. Dia terdiam sejenak, merasa kosong mendengarnya. Meskipun ucapan Arka tidak salah, tapi menyakitkan mendengar ucapan itu dari orang lain.
"Mereka benci Lo, Raya. Lo mau denger satu fakta dari gue?" Arka melanjutkan, kalimatnya menggantung. Raya hanya menatap betis Arka, tidak berani menjawab. Namun, rasa penasaran mulai menyusup ke dalam dirinya.
"Permisi, Tuan, ini masakan Nona Raya," suara lembut seorang pelayan, Asih, memecah keheningan. Ia masuk sambil membawa nampan yang berisi sepiring steak yang baru dimasak dan segelas minuman.
Arka hanya menunjuk meja di sampingnya tanpa menoleh, memberi isyarat agar Asih menyimpan makanan itu di atas meja. Dengan anggukan kecil, Asih pun meletakkan nampan itu di meja, kemudian berlalu begitu saja, meninggalkan Raya dan Arka berdua.
Arka mengambil piring itu dan mulai memakan steak yang dibuat oleh Raya. Ia mengunyah perlahan, menikmati setiap suapan dengan penuh selera. Beberapa suap telah ia makan dengan lahap, sementara Raya hanya diam saja. *Apa yang bisa dia katakan? Arka bahkan tidak memberinya kesempatan untuk berbicara*.
"Ternyata dia pandai masak... Aku pikir dia nggak bisa apa-apa!" batin Arka, berbicara pada dirinya sendiri, namun pikirannya tetap terfokus pada Raya, meskipun wajahnya tampak tak berubah, tetap dingin dan sulit dibaca.
Karena terlalu menikmati makanan tersebut, Arka bahkan tidak menyadari bahwa Raya masih memijat kakinya. Setelah beberapa saat, dia menetralkan pikirannya, menatap Raya dengan tatapan datarnya yang dingin, seperti biasa.
"Dengarkan ini..." ujar Arka dingin, sambil mengeluarkan ponselnya dan menyetel sebuah rekaman dengan suara cukup keras, seakan ingin memastikan Raya mendengar setiap kata tanpa terlewatkan.
•••
Dalam Rekaman:
"Selamat siang... Maaf, saya mengganggu waktu Anda sebentar, Pak," terdengar suara seseorang memulai pembicaraan.
"Siang juga. Siapa Anda?" Sahutan seorang pria terdengar jelas, Raya langsung mengenali suara itu. Itu suara ayahnya. Jantung Raya berdegup lebih kencang, menunggu apa yang akan ia dengar selanjutnya.
"Ini tentang putri Anda, Pak."
"Apa anak itu membuat ulah lagi? Atau ada biaya yang harus dibayar?" Nada bicara sang ayah mulai terdengar tidak ramah, bahkan cenderung tajam.
"Begini, Pak. Bos saya menyuruh saya untuk menyampaikan bahwa putri Anda akan bersama beliau untuk beberapa waktu ke depan. Jadi, dia tidak akan pulang ke rumah. Sebagai gantinya, bos saya mengatakan bahwa Anda boleh meminta apa pun dari beliau."
"Serius?!" terdengar suara sang ayah yang kaget, namun lebih seperti antusias daripada khawatir.
"Ya, silakan katakan saja, Pak," ujar suara dalam rekaman itu dengan nada formal.
"Berikan saya uang sepuluh juta, lalu bawa pergi saja anak tak berguna itu selamanya pun tidak apa-apa!" ujar sang ayah dengan nada penuh keyakinan tanpa sedikit pun keraguan.
"Baiklah, sebentar..." Setelah itu, ada jeda hening dalam rekaman. Namun, beberapa detik kemudian, suara kembali terdengar.
"Ini uangnya. Saya sudah selesai bicara, dan saya pamit undur diri," ujar orang suruhan Arka.
"Tunggu dulu. Tolong sampaikan terima kasih saya pada bos Anda itu. Bodoh sekali dia sampai ingin memungut anak sialan itu," ujar sang ayah sebelum rekaman berakhir dengan bunyi klik.
••••
Raya merasa tubuhnya gemetar. Tangan mungilnya mencengkeram erat kain bajunya, seakan itulah satu-satunya hal yang mampu menahan dirinya agar tidak menangis. Hatinya terasa seperti dihantam palu. Kalimat-kalimat dari rekaman itu terus bergema di kepalanya. Ingin rasanya ia menangis saat itu juga, namun ia tahu itu tidak mungkin dilakukan di hadapan Arka.
"Nah, sekarang lo paham, kan?" *katanya dengan nada sinis, membuang ponselnya ke meja tanpa peduli* "Jadi jangan sok-sokan bilang keluarga lo bakal nyariin lo ke mana-mana. Lo tuh gak berharga buat mereka. Lo bukan anak emas yang bakal dirindukan kalau pergi." *Dia mendekatkan wajahnya, matanya menusuk seperti belati* "Buktinya, cuma dengan sepuluh juta, mereka jual lo gitu aja. Gak perlu mikir panjang. Dan lo tahu? Itu harga paling murah dari seorang bitch yang pernah ada. Bahkan, orang-orang kayak lo biasanya dihargai lebih tinggi," Arka menyeringai kecil, seperti menikmati penderitaan yang tergambar jelas di wajah Raya.
Raya hanya bisa menelan ludah. Kata-kata Arka terasa seperti racun, masuk ke dalam pikirannya dan membuat semua luka di hatinya semakin membusuk. Arka tiba-tiba bangkit dari duduknya tanpa aba-aba. Gerakannya yang mendadak membuat Raya kehilangan keseimbangan dan terjungkal ke belakang.
"Awwhh..." ringis Raya, pantatnya terbentur keras ke lantai. Namun, Arka bahkan tidak menoleh. Dia berjalan pergi dengan langkah panjang dan angkuh.
"Beresin semua ini. Setelah itu, lo datang ke kamar gue. Jangan lama-lama!" Ucap nya sembari melangkah pergi, dia memberi perintah terakhir dengan nada penuh otoritas.
Tanpa menunggu jawaban, Arka menghilang di balik pintu, meninggalkan Raya yang masih terduduk di lantai.
Raya memandang kosong ke arah piring-piring kotor yang berserakan di atas meja. Air matanya berusaha ia tahan, namun matanya mulai memerah. Kata-kata di rekaman tadi terus terngiang-ngiang. Sepuluh juta. Itu saja harga yang sang ayah berikan untuk menukar dirinya. Sepuluh juta untuk menghapuskan keberadaannya dari hidup mereka.
"Bagaimana bisa ada orang tua setega itu...?" pikir Raya. Hatinya terasa hancur berkeping-keping, namun ia tahu, tidak ada tempat untuk menangis di sini. Tidak ada seorang pun yang peduli. Bahkan, dirinya sendiri mulai merasa dirinya tak berarti.