Rosa kembali ke Bandung setelah enam tahun menghindari Papa dan Rama, Kakaknya. Selain kembali beradaptasi dengan sekolah baru dan menguatkan hatinya untuk bertemu Rama, Rosa yang kaku juga dikejutkan dengan kedatangan Angkasa. Kakak kelasnya yang adalah anggota geng motor.
Perasaannya dibuat campur aduk. Cinta pertamanya, kebenciannya pada Rama dan Papa, juga rasa kehilangan yang harus kembali dia rasakan. Bagaimana Rosa yang sulit berekspresi menghadapi semuanya?
Apakah Rosa bisa melaluinya? Apakah Rosa bisa mengembalikan perasaan damainya?
Update setiap hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noey Ismii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Untuk Kesempatan yang Hilang
“Ada kejadian gitu?”
Rosa mengangguk, “Kak Asa jangan bilang siapa-siapa, ya, ini rahasia kelas sebenarnya,” katanya setelah memberitahukan kejadian siang tadi ke Angkasa. Dia bercerita pada Angkasa karena kakak kelasnya itu tidak pernah membocorkan apapun tentang pembicaraan mereka.
“Lalu kamu gimana, Sa?” Angkasa bertanya lagi di seberang telepon.
“Gimana, gimana?” tanya Rosa tidak mengerti.
Terdengar suara khas Angkasa kalau sedang tersenyum, “Kamu gimana waktu tau ternyata Gisha melakukan itu buat membantu Ayahnya?”
Rosa terdiam. Angkasa seperti bisa membaca pikirannya, “Gisha anak yang baik. Aku ngerti sama apa yang dia lakukan. Mungkin aku juga akan ngelakuin apa aja, kalau aku bisa menyelamatkan mama.”
Dia memikirkan itu sejak tadi.
Gisha rela mencuri untuk biaya rumah sakit mamanya. Kalau saja Rosa juga punya kesempatan yang sama, kesempatan untuk menyelamatkan mamanya. Maka dia juga akan rela mencuri untuknya.
“Beda, Sa, kamu dan Gisha udah beda jauh. Gisha gak punya privilege yang kamu punya,” kata Angkasa halus.
Alis Rosa bertaut, “Kenapa beda? Motivasinya sama-sama buat mama.” Rosa menggigit bibir dalamnya.
Angkasa melanjutkan, “Kamu gak mungkin ambil uang kelas, Sa, kalau itu terjadi kamu dan keluarga akan bisa melunasi biaya apapun.”
Rosa terdiam mendengar penjelasan Angkasa.
“Udah tau bedanya?” Angkasa kembali bertanya.
Tapi Rosa masih mencerna apa maksud ucapan Angkasa.
“Kita gak bisa ber-andai-andai, Sa. Apa yang udah terjadi, apa yang sedang terjadi, adalah pelajaran dan perjalanan kita. Gue harap kamu akan mulai menerima. Karena kamu punya lebih banyak kelebihan,” Angkasa masih menunggu suara Rosa. Dia sudah hafal dengan kebiasaan loadingnya Rosa.
“Tapi aku gak punya Mama,” kata Rosa kemudian.
“Dan gue gak punya bokap,” Angkasa menimpali.
Rosa tersenyum kecut. Dia masih memikirkan kata-kata Angkasa barusan. Bisa saja dia mengakui perkataan Angkasa benar. Tapi semua kelebihan yang dia punya terasa tidak berarti apa-apa sejak saat itu. Rosa berusaha mengabaikan perasaan berat dalam hatinya.
“Masih ngisi buku soal?” suara Angkasa terdengar lagi.
Rosa menggeleng, “Udah diganggu Kak Asa dari tadi.” Jawabnya ketus.
“Iya deh maaf. Tadi ada yang cerita sih, masa harus gue potong ceritanya?”
“Kak Asa, jangan mulai nyebelin,” Rosa tertawa.
Terdengar suara tawa ringan Angkasa lagi,
“Jangan tidur terlalu malem, Sa,” Angkasa mengingatkan.
“Masih jam delapan, Kak Asa.” Sudut matanya melirik jam berbentuk mawar di dinding.
Angkasa berpamitan kemudian menutup telepon. Rosa menyimpan kembali ponselnya di atas meja. Dia berputar-putar di kursi belajar.
Memikirkan apa yang sudah terjadi. Ucapan Najwa tadi siang dan kata-kata Angkasa tadi berputar di kepalanya.
Rosa menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan. Mengambil kembali pensil dan melanjutkan mengisi bukunya.
-o0o-
Tangannya baru akan mengetuk pintu kamar adiknya saat didengarnya suara dari dalam kamar. Rama mengurungkan niat. Tapi kemudian memutuskan untuk menunggu sebentar. Saat tidak didengarnya lagi suara Rosa, Rama mengetuk.
Tangan kirinya menahan mangkuk besar berisi potongan semangka. Sedangkan tangan kanannya membuka pintu, “Rosa, mau semangka?” tanyanya dengan suara khas Rama saat menggoda Rosa.
Rosa yang baru akan fokus pada bukunya menyimpan kembali pensilnya. Dia memutar kursi. Melihat Rama dengan semangkuk besar potongan semangka, Rosa mengangguk. Dia sudah tahu cara membuat Rama diam. Dengan mengikutinya.
Turun dari kursinya, Rosa mengikuti Rama ke ruang keluarga. Dia duduk di sofa krem yang empuk. Menghadap TV yang masih menampilkan gambar sebuah lukisan bunga.
Rama menyimpan mangkuk semangka di depan Rosa. Memberikan garpu buah pada Rosa. Lalu berlari kembali ke dapur, mengambil minum. Setelah itu Rama menghempaskan diri di sebelah Rosa.
“Tadi pengumuman donasi, dia sekelas sama kamu?” Rama membuka obrolan.
Rosa mengangguk dengan wajah datar. Masih mengunyah.
“Mamanya gak apa-apa?” tanya Rama hati-hati.
Rosa menyimpan garpunya. “Gak tau.”
Rama mengangguk mengambil garpu kemudian mulai makan semangka.
“Dia hampir ngambil uang kelas,” kata Rosa kemudian.
Tangan Rama terdiam, semangka tidak jadi masuk ke mulutnya. “Dia pasti bingung banget.”
“Hm, aku bisa ngerti kenapa dia nekat,” Rosa menatap foto mama disalah satu lemari.
Mata Rama beralih mengikuti arah pandang Rosa. Dia mengangguk, “Kamu juga akan melakukan apa aja agar mama selamat. Tapi kita gak punya kesempatan untuk itu.”
Pandangan Rosa beralih pada Rama yang juga sudah menatapnya. ‘Kamu yang bikin aku gak punya kesempatan apa-apa.’ Rosa sudah tidak sanggup mengatakannya saat melihat Rama yang seolah meminta maaf.
“Makasih semangkanya,” Rosa berdiri. Berjalan ke kamarnya.
“Rosa.”
Gadis itu berhenti. Tangannya sudah di handle pintu dilepaskannya kembali. Dia berbalik dan melihat Rama yang juga sedang melihatnya.
“Maaf, aku bikin kamu gak punya kesempatan itu.”
Rama masih duduk di sofa, dia hanya berbalik sambil menatap Rosa. Mereka berpandangan sesaat dengan perasaannya masing-masing.
-o0o-
Rosa melihat Angkasa yang sudah menunggunya di depan rumah. Dia kembali melihat pantulan dirinya di cermin. Dress panjang berwarna pink pastel dengan sweater tebal berwarna senada, dia memakai legging tebal karena masih akan naik motor Angkasa.
Jam dinding sudah menunjukan angka empat. Setelah bersih-besih dan mengganti baju, Rosa mengambil sepatu dan berjalan keluar rumah. Tas selempang putihnya bergantung di pundak kanannya. Isinya sudah full dengan persediaan sekarang.
Dia sudah tidak memakai tas kecilnya lagi. Sejak kejadian lalu itu. Rosa jadi lebih tertata. Dia membawa persediaan barang-barang kebutuhan mendadaknya.
Angkasa turun dari motornya. “Rama belum pulang?” tanyanya. Agak aneh karena biasanya Rama akan merecoki saat Angkasa datang. Tapi hari ini sepi sekali.
Duduk di kursi panjang di teras, Rosa memakai sepatu di kaki kanannya. “Belum, tadi balik lagi sesudah antar aku pulang. Besok katanya akan sibuk banget untuk pameran. Aku tadi bantu bikin booth Photography bentar terus malah disuruh pulang,” Tangannya baru akan menalikan sepatunya saat tangan Angkasa mengambil alih.
“Aku bisa sendiri,” katanya kaget.
Angkasa tersenyum, “Gue bantu,” katanya dengan cekatan membuat simpul tali. Kemudian mengambil sepatu kiri Rosa. Membantunya memakai dan menalikan lagi.
Rosa mematung. Meskipun sering sekali Angkasa membantunya dalam banyak hal. Tapi menalikan tali sepatunya sepertinya tidak perlu.
Rosa langsung canggung. Dia menggigit bibir dalamnnya sambil menjaga napas dan degup jantungnya.
Matanya memandangi Angkasa yang berlutut di depannya. Wangi parfum dan wangi shampo yang dipakai Angkasa menguar di jarak sedekat ini.
Angkasa mengangkat wajah. Tersenyum dengan mata yang menatap Rosa.
Rosa sudah menyadari hal itu sejak lama. Bahwa Angkasa benar-benar ganteng banget! Dengan alis tebal, matanya yang berwarna hitam dan sorot cerita yang terpancar dari sana. Lalu bibirnya yang penuh dan selalu tersenyum saat berada di depan Rosa.
Tidak aneh karena Angkasa terpilih sebagai vokalis Utara Band dan menjadi wajah Utara selama dua tahun penuh ini. Suaranya juga bagus. Setiap kali meihat Angkasa latihan, Rosa langsung tahu kenapa Angkasa yang jadi vokalnya.
Selain karena wajahnya dan suaranya, Angkasa juga bisa membawa suasana menjadi menyenangkan. Meskipun semua orang bilang kalau Angkasa selalu terlihat cool dan cuek, tapi Rosa sama sekali tidak merasakannya setiap bersama Angkasa. Angkasa orang yang hangat dan menyenangkan.
Dan sekarang, saat Angkasa menatapnya seperti itu, Rosa mengerjap merasakan jantungnya yang berdebar. Oh tidak, sepertinya ia menyukai Angkasa.
-o0o-