Nara Stephana, pengacara cemerlang yang muak pada dunia nyata. Perjodohan yang memenjarakan kebebasannya hanya menambah luka di hatinya. Dia melarikan diri pada sebuah rumah tua—dan takdirnya berubah saat ia menemukan lemari antik yang menyimpan gaun bak milik seorang ratu.
Saat gaun itu membalut tubuhnya, dunia seakan berhenti bernafas, menyeretnya ke kerajaan bayangan yang berdiri di atas pijakan rahasia dan intrik. Sebagai penasihat, Nara tak gentar melawan hukum-hukum kuno yang bagaikan rantai berkarat mengekang rakyatnya. Namun, di tengah pertempuran logika, ia terseret dalam pusaran persaingan dua pangeran. Salah satu dari mereka, dengan identitas yang tersembunyi di balik topeng, menyalakan bara di hatinya yang dingin.
Di antara bayangan yang membisikkan keabadian dan cahaya yang menawarkan kebebasan, Nara harus memilih. Apakah ia akan kembali ke dunia nyata yang mengiris jiwanya, atau berjuang untuk cinta dan takhta yang menjadikannya utuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejelasan
Karena aku pernah ditolong olehnya. Jadi jangan berpikir semua yang berhubungan dengan Dewa Iblis itu jahat." Ujar Nara, tanpa sadar ucapannya tersebut membuat Raze kepikiran akan sesuatu.
Raze menyipitkan mata, rasa curiga tergambar jelas di wajahnya. "Jadi kau sudah bertemu dengan Dewa Iblis itu? Apa ini berarti kau bagian dari mereka karena kau pernah dibantu olehnya?" suaranya penuh tuduhan. "Mungkin kau ada di sini untuk menjalankan rencana terselubung. Siapa yang tahu tujuanmu sebenarnya."
Nara melangkah maju, menunjuk dada Raze dengan jarinya. "Pangeran Raze, kau ini kenapa gampang sekali menuduh tanpa bukti yang hanya mengandalkan asumsi? Jangan sampai kau salah menilai dan akan disesali nantinya, Pangeran."
"Mana ada bantuan, kalau bukan kawan." Raze menyilangkan tangan di dadanya, matanya tajam menusuk. "Informasi seperti ini seharusnya dibagikan kepada ayahku. Kau tahu berapa banyak yang mau membayar mahal untuk tahu kalau seseorang yang dijaga Dewa Iblis ternyata ada di istana?"
Nara mendengus, menatap Raze dengan penuh rasa kesal. "Kau ingin menjual informasi palsu ini?"
Namun bukannya terintimidasi, Raze malah tersenyum tipis. "Tentu tidak, asal kau mau menikah denganku Nara."
Sepertinya aku sudah salah bicara. Dia memanfaatkan keadaan. Batin Nara.
"Tidak bisa begitu, Pangeran Raze. Aku tidak berhutang apapun, apalagi harus menukar sesuatu dengan apa yang tidak pernah aku lakukan. Kau telah menghakimi ku secara brutal, Pangeran."
Langkah kaki berat memotong ucapannya. Dari balik pepohonan, muncul rombongan prajurit dengan kasim istana di depan mereka. Mata kasim itu menyipit begitu melihat keduanya. "Pangeran Raze. Nona Nara. Kalian diperintahkan untuk kembali ke istana sekarang juga. Jangan ada perlawanan," katanya dingin, suaranya bergema dengan otoritas.
Nara dan Raze saling bertukar pandang. Rasa tegang masih membekas di antara mereka. Namun, tidak ada pilihan selain menurut. Nara memutuskan untuk menahan emosinya sementara, tapi dalam hati ia bersumpah bahwa ia tidak akan menerima Raze apapun alasannya.
Dari balik bayangan pepohonan, Arven mengamati segalanya dengan tajam. Dialah yang diam-diam menghentikan serangan mendadak itu, memastikan Nara dan Raze tidak ada yang terluka. Namun, saat ia berniat pergi tanpa jejak, telinganya menangkap percakapan bisik-bisik mereka yang membuatnya tertahan.
"Arven sudah punya kekasih, kan?" suara Raze terdengar dengan nada santai dan rendah, tetapi penuh sindiran. "Jangan bilang kau berharap padanya, Nara. Kau tahu dia tidak akan memilihmu."
Nara mendengus kesal, melipat tangan di dadanya. "Kau benar-benar suka berasumsi, ya. Aku tidak punya waktu untuk memikirkan hal semacam itu." Namun, ada nada aneh dalam suaranya yang membuat Arven mengerti bahwa Nara sedang menahan rasa. Senyum tipis terlukis di wajah Arven.
Tanpa sepatah kata pun, Arven melangkah menjauh, membiarkan mereka tanpa tahu bahwa ia telah menjadi penonton diam di tengah perselisihan kecil itu.
...***...
Di Istana.
Nara sedang sibuk memeriksa beberapa dokumen di atas meja panjang yang dipenuhi coretan tangan miliknya. Matanya fokus pada detail kecil, mencari pola yang selama ini mengganggu pikirannya. Ia bahkan tidak menyadari suara langkah mendekat sampai bayangan panjang menghalangi pandangannya. Ketika ia mendongak, Pangeran Arven sudah berdiri di sana, menatapnya dengan ekspresi serius.
"Ada apa denganmu, Nara?" tanyanya tanpa basa-basi. Suaranya terdengar tenang, tetapi ada tekanan yang sulit diabaikan.
Nara menutup dokumen di tangannya dan bersandar di kursi dengan napas panjang. "Tidak ada apa-apa. Apa ada yang kau butuhkan Pangeran?" jawabnya singkat, menghindari tatapan mata Arven. Ia tahu sikapnya yang belakangan ini agak menjaga jarak terhadap pangeran itu mungkin menimbulkan pertanyaan.
"Tidak ada apa-apa?" Arven mengulangi dengan nada skeptis, lalu duduk di kursi di seberangnya.
"Aku bisa merasakan kau sengaja menghindar. Bukankah kita sedang memecahkan masalah ini bersama? Kenapa tiba-tiba kau berubah?" Matanya menyiratkan keinginan untuk memahami, bukan sekadar menuntut jawaban.
"Kau tentu masih ingat Nara, bahwa aku memperingatkanmu tentang pergerakan. Semakin lambat dan ditunda, kita tak tahu berapa banyak nyawa terancam bahkan jauh tertinggal langkah oleh musuh."
Nara terdiam sejenak. Kata-kata Arven menusuknya lebih dalam dari yang ia kira. Tapi bagaimana ia menjelaskan tanpa memperumit situasi?
"Aku hanya merasa...tidak ingin terlalu dekat denganmu, khawatir terjadi salah paham antara kau dengan sang kekasih. Aku alergi pria yang telah memiliki pasangan." Nara menatap meja, tidak berani melihat reaksi Arven.
"Ah iya, sepertinya aku mau menjelajahi ruangan Ratu Athera kembali. Aku belum sempat menyisir secara detail, karena aku sudah spechless duluan melihat lukisan beliau. Malam ini jika Pangeran tidak keberatan, aku mau kesana."
Untuk beberapa detik, keheningan melingkupi mereka. Tidak ada jawaban dari Arven. Aneh sekali, apakah karena dia bicara tanpa melihat wajah pria itu, sehingga Arven menganggapnya sebagai tindakan yang kurang sopan? Nara yang penasaran akhirnya mendongakkan kepala.
Tanpa aba-aba, Arven membungkuk perlahan dan mengecup bibir Nara dengan lembut. Sentuhannya ringan, nyaris seperti angin musim semi yang menyapa dedaunan. Bibir bertemu bibir tidak hanya sekadar menempel, tapi juga ada pergerakan lembut yang memabukkan Nara.
Waktu seolah berhenti, dan dunia di sekitar mereka lenyap, meninggalkan hanya kehangatan ciuman tersebut. Hati Nara yang semula dipenuhi kerisauan kini terasa tenang, seakan Arven telah menyapu semua keraguan di hatinya. Ketika ia akhirnya menarik diri untuk mengambil nafas, Arven menatap Nara dengan senyum kecil yang menenangkan.
"Jangan lupa bernafas, Nara." Sambil menyapu bibir Nara yang basah dengan ibu jari.
"Jangan dengarkan perkataan Raze si bocah rese itu. Di sini, kau hanya boleh percaya padaku saja. Jika kau melihat diriku bicara dengan seorang gadis, itu bukanlah kekasih atau calon istriku, Nara. Jadi kau tidak perlu khawatir."
Nara menggigit bibir bawahnya. Ia malu, seperti ketahuan bahwa dia cemburu.
"Ayo kita lakukan sekarang." Seru Arven, mata Nara membelalak. "Ayo lakukan apa nih?" tanya Nara yang sedang mikir macam-macam.
Arven menyentil dahi Nara sampai wanita itu mengaduh kesakitan sambil mengusap-usap dahinya.
"Ayo kita ke ruangan Ibuku untuk kembali mencari petunjuk. Kau kira kita mau apa memangnya?"
.
.
Bersambung.