Sakit hati sang kekasih terlibat Cinlok (Cinta Lokasi) hingga berakhir di atas ranjang bersama lawan mainnya, Ameera bertekad menuntut balas dengan cara yang tak biasa.
Tidak mau kalah saing lantaran selingkuhan kekasihnya masih muda, Ameera mencari pria yang jauh lebih muda dan bersedia dibayar untuk menjadi kekasihnya, Cakra Darmawangsa.
Cakra yang memang sedang butuh uang dan terjebak dalam kerasnya kehidupan ibu kota tanpa pikir panjang menerima tawaran Ameera. Sama sekali dia tidak menduga jika kontrak yang dia tanda tangani adalah awal dari segala masalah dalam hidup yang sesungguhnya.
*****
"Satu juta seminggu, layanan sleep call plus panggilan sayang tambah 500 ribu ... gimana?" Cakra Darmawangsa
"Satu Milyar, jadilah kekasihku dalam waktu tiga bulan." - Ameera Hatma
(Follow ig : desh_puspita)
------
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara dll)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25 - Tidak Menyesal
"Setelah ini, apa kamu akan pergi meninggalkanku lagi, Cakra?"
Seperti biasa, belum apa-apa Cakra selalu mengulas senyum lebih dulu. Padahal, jika dengan sekali lihat, terlebih lagi kala belum mengenalnya pria itu jauh dari kata ramah. Justru terkesan pendiam bahkan menurut Jihan, kekasih bayaran Ameera masuk kategori pria arogan yang tidak asik diajak berteman. "Aku tidak punya tempat pulang selain di sini, Ra," jawabnya kemudian tertunduk sesaat.
"Benarkah? Jadi kamu tetap akan di sini walau tahu aku datang?" Ameera berbinar, gurat kebahagiaan sontak terpancar dari wajah cantiknya.
"Iya."
Walau jawaban Cakra sebenarnya masih terkesan umum, tapi mengetahui bahwa Cakra tidak akan pergi sekalipun ada dia adalah sesuatu yang menyenangkan bagi Ameera. Setidaknya, Cakra tidak merasa terganggu dengan kehadirannya.
"Kamu tidak berbohong?" Belum puas dengan jawaban Cakra, wanita itu kembali mendekat dan meminta penegasan sekali lagi.
Seolah mengerti maksud wanita di depannya, Cakra menggeleng cepat hingga Ameera tidak kuasa menutupi kebahagiaannya. Agaknya, sikap malu-malu itu hanya berlangsung sesaat, kini dia kembali seperti beberapa minggu lalu, saat dimana Ameera bisa bebas berekspresi di hadapan Cakra.
"Hei, jangan lompat-lompat!! Nanti keringetan ... gimana coba kalau tiba-tiba gerah? Di sini tidak ada kamar mandi, Ameera." Cakra menahan pundak Ameera agar bisa diam sedikit saja, matanya juga menatap sekeliling demi memastikan tidak ada yang melihat kebersamaan mereka.
Beberapa waktu Cakra pergi, tapi tingkahnya masih sama seperti waktu terakhir kali mereka jalan berdua. Cakra kembali menemukan sosok Ameera yang manja, berbanding terbalik dengan yang terlihat orang-orang di sekelilingnya, terutama di hadapan produser muda yang kala itu mengantarnya pulang.
Mengingat tentang produser itu, mendadak Cakra menghela napas panjang. Wajahnya mendadak datar seketika sebelum kemudian melepaskan tangannya dari pundak Ameera. "Kali ini serius, masuklah, Ra ... aku juga mau pulang," ucapnya kemudian mundur beberapa langkah, menjaga jarak aman antara keduanya.
"Rumahmu yang mana? Boleh aku lih_"
"Tidak," jawab Cakra cepat, sangat cepat bahkan ucapannya saja belum tuntas.
"Kenapa? Tidak diizinkan masuk juga tidak masalah, aku cuma ingin tahu tempat tinggal kamu, itu saja."
Cakra memejamkan mata, dia tetap menggeleng seraya memijat pangkal hidungnya. Kuat sekali pendirian Cakra, padahal sepanjang acara penyambutan dirinya, tidak terhitung berapa orang yang menawarkan diri dan minta dihampiri, bahkan anak juragan sekalipun.
"Jawab dulu kenapa, Cakra?"
"Tidak kenapa-kenapa, cuma tidak mau saja."
Ameera mencebik, agaknya dia sedikit kecewa dengan pendirian Cakra. Padahal, sewaktu di apartemennya saja, mereka pernah berbagi tempat tidur. "Pelit."
Hendak dianggap pelit juga terserah, Cakra terima dan dia hanya tertawa kecil melihat wajah Ameera yang ditekuk saat ini. "Boleh ya? Sekali saja, aku tidak akan macam-macam, janji."
Ameera masih saja merayu, pria itu kini menatap tajam mata wanita di hadapannya. "Dengarkan aku baik-baik, satu hal yang aku tidak suka adalah dibantah ... kalau aku bilang tidak boleh, maka artinya tidak, lebih baik kamu menurut sebelum menyesal nanti. Cantiknya Cakra paham sampai sini?"
Bukannya takut, Ameera justru berdesir padahal wajah Cakra terlihat amat serius. Tatapan mata dan nada bicaranya tampak ditekan seolah tengah mengancam, tapi Ameera tetap fokus dengan ketampanan Cakra saja.
"Apapun yang terjadi, aku tidak akan pernah menyesal jika itu tentang kamu, Cakra," jawabnya pelan tanpa melepaskan tatapan dari Cakra, sebuah jurus jitu yang berhasil membuat Cakra bungkam dan terjebak dalam ungkapan hati Ameera.
Ungkapan yang sebenarnya tanpa direncanakan, sedikit saja tidak terpikirkan sebelum mendengar ucapan Cakra. Siapa sangka, hanya dengan ucapan itu, Ameera bisa bicara setenang mungkin pada Cakra. "Bahkan mengorbankan karir sekalipun, dan itu sedang aku lakukan," tambah Ameera yang semakin membuat Cakra menarik napas dalam-dalam.
"Seharusnya tidak perlu sejauh itu ... sejak dulu aku sudah katakan, jangan membuang waktumu untuk hal-hal yang tidak penting, Meera."
"Penting, sangat-sangat penting!! Bagimu mungkin tidak, tapi bagiku berbeda ... kamu pergi tanpa izinku, Cakra, dan aku tidak suka!" tegas Ameera menatap tajam Cakra yang tampak sendu di depan sana.
Cakra menunduk sesaat, "Untuk itu aku minta maaf, pikiranku kacau waktu itu," jawabnya kemudian tersenyum kecut, mengingat kembali bagaimana pria kaya yang merangkul pundak dan memegang payung untuk Ameera kala hujan sore itu.
"Oh kacau ya? Kalau kamu saja begitu lalu bagaimana denganku? Kamu menghilang tanpa bilang, teleponmu tidak aktif. Bahkan, aku sampai mencarimu ke apartemen dan kost lamamu, dan hasilnya tetap sama. Bisa jelaskan kacau karena apa sampai segitunya? Hm?"
Semakin lama mereka bicara, semakin dalam pula yang dia bahas. Cakra terdiam, dia memang tidak begitu banyak mengenal watak wanita, tapi yang seperti Ameera agaknya tidak akan pernah dia temukan dimana-mana. "Kacau saja, tiba-tiba ingat mama ... makanya pulang buat ziarah," jawabnya kemudian menggigit bibir, berusaha semaksimal mungkin menutupi alasan dia pulang sebenarnya.
"Bohong lagi?"
Cakra menggeleng, mana mungkin dia berani jujur, jelas semakin malu. "Mau ikut?"
"Mau!!"
Cakra hanya basa-basi, dia bertanya agar Ameera yakin saja. Lucunya, wanita itu justru antusias menjawab mau dan Cakra terpaksa mengajaknya sungguhan. "Ya sudah, besok aku jemput, pakai baju yang tertutup ... jangan yang begitu," ucap Cakra menyentuh bagian lengan baju Ameera dengan telunjuknya, bagian dada wanita itu memang sedikit terbuka walau tidak sampai belahhan.
Tidak ada protes, Ameera mengangguk patuh bak anak kecil yang dijanjikan akan liburan keesokan harinya. "Sudah masuk sana, matamu sudah merah," titah Cakra yang kali ini benar-benar Ameera patuhi, dia berlari kecil dan sempat melambaikan tangan sebelum kemudian masuk dari pintu belakang.
.
.
"Habis bahas apa, Nona?" tanya Mahendra kala menyaksikan nona mudanya masuk dan senyam-senyum seraya bersandar di balik pintu.
"Huaah!! Mahen_ ih bikin kaget!!" Ameera mengusap dadanya berkali-kali, entah sejak kapan Mahendra menunggu di dapur, tapi yang Ameera lihat kopinya hampir habis di sana.
"Sudah terungkap semua? Bagaimana katanya? Mau diajak menemui tuan besar?"
Ameera menggeleng, tapi dia tidak merasa hal itu sebagai sebuah kegagalan, justru sebaliknya. Dia merasa, memaksa Cakra sama halnya merendahkan, Ameera tidak mau hanya karena kekuasaan orang tuanya justru bermaksud menguasai hidup Cakra sepenuhnya.
"Ya Tuhan, lalu apa yang kalian bahas sampai setengah jam?"
"Bahas pasar saham!! Ya ada, secret! Anak kecil tidak boleh tahu," jawab Ameera asal ceplos, dia berlalu melewati Mahendra dan menuangkan air minum di atas meja.
"Serius, Nona, saya memang perlu tahu."
Ameera meletakkan gelas yang kini kosong dengan cara yang begitu elegan, tidak berbeda dengan di rumahnya. "Besok, Cakra akan mengenalkanku pada mendiang mamanya, dan aku gugup sekali, Mahendra!!" seru Ameera, hal itu sontak membuat Mahendra mengerjap pelan.
"Halah, bukannya cuma diajak ziarah?" Pertanyaan Mahendra sukses membuat wajah Ameera mendadak datar, demi Tuhan dia sebal hingga melayangkan tatapan tajam ke arah pria itu. "Sama saja, intinya diajak menemui mamanya titik!!"
.
.
- To Be Continued -