Nova Spire, seorang ahli medis dan racun jenius, tewas tragis dalam ledakan laboratorium saat mencoba menciptakan obat penyembuh paling ampuh di dunia. Tapi kematian bukan akhir baginya—melainkan awal dari kehidupan baru.
Ia terbangun dalam tubuh Kaira Frost, seorang gadis buta berusia 18 tahun yang baru saja meregang nyawa karena dibully di sekolahnya. Kaira bukan siapa-siapa, hanya istri muda dari seorang CEO dingin yang menikahinya demi tanggung jawab karena membuat Kaira buta.
Namun kini, Kaira bukan lagi gadis lemah yang bisa diinjak seenaknya. Dengan kecerdasan dan ilmu Nova yang mematikan, ia akan membuka mata, menguak kebusukan, dan menuntut balas. Dunia bisnis, sekolah elit, hingga keluarga suaminya yang penuh tipu daya—semua akan merasakan racun manis dari Kaira yang baru.
Karena ketika racun berubah menjadi senjata … tak ada yang bisa menebak siapa korban berikutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diawasi
Pintu terbuka. Joni masuk dengan langkah cepat dan ekspresi serius.
“Tuan, saya sudah cek. Kamera pengawas di ruangan ini tidak aktif.”
Leonel menoleh cepat, ekspresinya mengeras. “Apa maksudmu tidak aktif?”
Joni sedikit menunduk. “Menurut bagian teknis rumah sakit, ruangan ini memang tidak dipasangi kamera aktif … atas permintaan pribadi keluarga Frost. Khususnya, permintaan langsung dari Tuan Besar Frost.”
Suasana ruangan seketika hening.
Leonel mengerutkan kening, jelas ia sendiri tidak tahu soal itu. Ia melirik ke arah Kaira yang tampak menikmati sarapannya dengan santai, seperti tak peduli pada percakapan yang terjadi.
Kaira tersenyum kecil, seolah bisa merasakan tatapan Leonel padanya.
“Ah ... jadi tidak ada rekaman?” tanyanya ringan tanpa menoleh. “Sayang sekali. Padahal aku ingin tahu juga, bagaimana ekspresiku saat kaget tadi. Setidaknya meski aku tidak lihat, aku ingin kau mengomentari ekspresi terkejutku.”
Nada bicaranya begitu tenang, hampir terdengar seperti ejekan halus.
Leonel mengepalkan rahangnya. Ia tak suka perasaan seperti ini, seolah sedang diatur oleh seseorang yang tampak lemah dan tak berdaya.
“Kau terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja nyaris mencelakai orang lain.”
“Atau mungkin aku terlalu tenang untuk seseorang yang tahu dia hampir dibunuh,” balas Kaira sambil menaruh sendok di mangkuknya.
Kaira menoleh pelan ke arah suara Leonel, dan menyambung ucapannya, “Aku hanya ingin bertahan hidup, Leonel. Bukan salahku kalau suster itu yang salah gerak.”
Leonel diam. Ucapan Kaira membuat sesuatu bergetar dalam benaknya, sebuah ketidakyakinan bahwa perempuan ini adalah gadis buta polos yang dulu ia nikahi karena rasa tanggung jawab.
Ada sesuatu yang berubah. Terlalu tajam. Terlalu ... dewasa. Namun dia memilih mundur.
“Joni, atur agar CCTV diaktifkan mulai hari ini,” titah Leonel dengan suara dingin.
“Baik, Tuan.”
Leonel melangkah keluar tanpa berkata lagi. Setelah pintu tertutup, Kaira menyandarkan tubuhnya santai.
“Bagus. Sekarang aku tahu siapa yang tidak bisa kupercaya,” gumamnya.
Kaira meraba pot tanaman kecil yang pecah di lantai, lalu tersenyum tipis. “Dan siapa yang akan kubuat menyesal telah mencoba membunuhku dalam tidur.”
****
Sudah lima hari berlalu sejak Kaira—atau lebih tepatnya Nova dalam tubuh Kaira—terbangun dari komanya.
Di luar, kabut pagi menggantung di balik jendela besar kamar VVIP rumah sakit, menyelimuti kota dengan embun tipis. Di dalam ruangan, Kaira berdiri tenang di dekat jendela dengan mata tertutup, wajahnya menghadap ke arah matahari terbit.
Tangan kirinya memegang tongkat penuntun, tapi tidak digunakan. Sebaliknya, tubuhnya bergerak pelan, meregangkan lengan dan memutar bahu perlahan. Gerakannya begitu terkontrol dan seimbang, seperti penari yang hafal setiap gerakannya meski tak bisa melihat.
“Satu ... dua ... tiga ... tarik napas ... tahan.” Ia membisikkan hitungan kecil, menenangkan pikirannya.
Kaira atau Nova, telah membiasakan diri dengan tubuh mudanya. Meskipun tubuh Kaira sebelumnya lemah karena koma dan trauma, Nova tahu cara memperkuat otot-otot kecil dengan teknik pernapasan dan peregangan dalam diam.
Kaira tahu ia sedang diawasi. Kamera mungkin tak menyala di kamar, tapi telinga dan mata tersembunyi bisa saja datang dari mana saja, terutama dari keluarga Frost.
Di depan pintu, seorang perawat tampak melirik dari celah. “Aneh ... dia bisa berdiri lama tanpa goyah .…” gumamnya pelan, lalu mencatat sesuatu di ponselnya.
Di dalam ruangan, Kaira berbalik perlahan dan berjalan ke arah tempat tidur, tongkatnya menyeret pelan lantai marmer.
Begitu sampai di tepi ranjang, ia duduk dan membuka mulut pelan.
“Kukira mereka akan mencoba lagi hari ini.”
Tidak ada orang lain di ruangan, tapi Nova terbiasa berbicara dengan dirinya sendiri. Itu membantunya menganalisis situasi.
“Tanaman beracun, makanan dengan dosis halus, bahkan mungkin obat dalam cairan infus.” Ia mendesah, lalu mencibir. “Begitu putus asanya mereka ingin mengusirku dari dunia ini.”
Tiba-tiba, pintu terbuka.
Seorang suster masuk dengan wajah ramah, membawa nampan sarapan. “Selamat pagi, Nona Kaira. Semoga tidurnya nyenyak.”
Kaira menoleh ke arah suara, senyum tipis terukir di bibirnya. “Tidurku seperti orang mati. Tapi sayangnya, aku bangun lagi, ya?”
Suster itu tertawa kecil, meski rautnya sempat kaku mendengar ucapan Kaira.
“Saya taruh makanannya di meja ya, seperti biasa.”
“Letakkan di sisi kanan, lima langkah dari tempat tidur. Seperti kemarin,” ujar Kaira dengan nada pelan, tapi pasti.
Suster itu membeku sejenak. Ia tidak pernah menyebutkan jaraknya sebelumnya.
“Tentu, Nona.” Ia buru-buru menaruh nampan dan keluar.
Begitu pintu tertutup kembali, Kaira berdiri dan bergerak pelan ke kamar mandi. Di dalam, ia mengunci pintu lalu menarik napas panjang. Tangannya menyentuh dinding dingin, lalu ia mulai bergerak—push-up ringan, squat, latihan pernapasan dalam.
“Tubuh ini masih muda, tapi lemah. Kurang latihan.” Ia mengepalkan tangan. “Tapi sebentar lagi ... aku akan menguasai semuanya.”
Lima belas menit berlalu, ia keluar kembali, menyeka peluh di dahinya.
Ketika duduk kembali di ranjang, ia menyentuh sendok dari sarapannya tapi bukan untuk makan. Ia hanya mencium aroma makanannya, mendeteksi jejak bahan kimia atau racun.
“Tidak hari ini,” gumamnya. “Tapi bukan berarti besok tidak.”
Dengan tenang, Kaira menyuapkan sesendok bubur ke mulutnya, senyumnya tenang.
Di sisi lain, di lantai tertinggi gedung Frost Corporation, sebuah ruangan tersembunyi dengan dinding kaca hitam dan perlengkapan teknologi canggih menyala redup.
Di tengah ruangan, layar besar menampilkan rekaman CCTV dari kamar VVIP di rumah sakit. Tampak sosok gadis buta sedang duduk santai di dekat jendela, perlahan meregangkan tubuhnya, mengangkat tangan lalu menarik napas dalam.
Leonel Frost berdiri dengan tangan menyilang di depan dada, mata elangnya menatap layar tanpa berkedip. Di sampingnya, Joni, sang asisten pribadi, memegang tablet kecil yang juga tersambung ke rekaman yang sama.
“Sudah lima hari,” gumam Leonel dingin. “Dan tidak ada gerakan mencurigakan ... hanya peregangan setiap pagi. Terlalu rutin. Terlalu bersih.”
Joni menoleh ke arah layar dan mengangguk pelan. “Saya rasa itu justru normal, Tuan. Setelah enam bulan koma, tubuh siapa pun akan kaku. Terutama ... kalau ia tidak bisa melihat.”
Leonel tidak menjawab, hanya mengerutkan kening. Matanya bergerak ke sudut lain layar, memperhatikan pola gerakan Kaira—ke arah kamar mandi yang cukup lama setiap harinya.
“Kamar mandi. Dia selalu masuk setidaknya lima belas menit. Terlalu lama.”
Joni membalik layar tabletnya dan menampilkan catatan waktu.
“Memang agak lama, tapi sekali lagi ... wajar. Nona Kaira buta. Dia pasti bergerak pelan. Dan ....” Joni ragu sejenak sebelum menyambung, “Dia juga harus memastikan pakaiannya rapi. Dia seorang istri CEO. Bahkan dalam ketidakberdayaannya, dia tetap menjaga wibawa.”
Leonel melirik Joni. “Kau menyukainya?”
Joni langsung tegak. “Tentu tidak, Tuan. Maksud saya ... saya hanya mengamati dari sisi logis.”
Leonel mengalihkan pandangannya kembali ke layar. Kaira tampak tenang, bahkan terlalu tenang.
“Dia berbeda.” Leonel akhirnya berkata. “Kaira dulu ... selalu tertunduk. Diam. Tak pernah menjawab saat aku bicara. Tapi sekarang ... dia balas bicara. Dengan kalimat tajam.”
“Mungkin karena koma itu mengubahnya, Tuan. Trauma bisa mengubah seseorang,” sahut Joni hati-hati.
Leonel mendesah pelan. Tangannya mengusap dagunya yang mulai ditumbuhi bayangan halus.
“Atau ada yang lebih dari itu ....” ucapnya lirih.
Joni mencoba tersenyum. “Setidaknya, sekarang dia tidak lagi mencoba melompat dari atap sekolah.”
Leonel menoleh tajam, tatapannya menggelap. “Itu bukan candaan, Joni.”
“Maaf, Tuan.”
Keduanya kembali menatap layar.
Kaira di dalam kamar VVIP itu—tersenyum kecil sambil menyentuh daun tanaman kecil di meja. Seolah tahu dirinya sedang diperhatikan.
Leonel menyipitkan mata. “Lanjutkan pengawasan. Dan ... pasang kamera tersembunyi di kamar mandi. Aku ingin tahu kenapa dia betah lama di sana.”
"Tapi Tuan, itu privasi—"
Mata tajam Leonel langsung menghunus ke arah Joni. "Dia istriku! Aku berhak, meski melihat tubuhnya."
Joni terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Baik, Tuan.”
Leonel membalikkan badan dan berjalan ke arah jendela besar ruangan itu, menatap kota yang mulai sibuk pagi hari.
“Kalau dia menyembunyikan sesuatu, aku akan menemukannya. Dan kalau dia bukan Kaira yang dulu ... aku akan mencari tahu siapa dia sebenarnya.”
seirinh wktu berjlan kira2 kpn keira akan bis melihat yaaa
ya panaslah masa enggak kaira tinggl di rumah keluarga fros aja panas padahal tau kalo kaira di sana tidak di anggap,apa lagi ini bukan cuma panas tapi MELEDAK,,,,,,