Alana tak percaya pada cinta—bukan sejak patah hati, tapi bahkan sebelum sempat jatuh cinta. Baginya, cinta hanya ilusi yang perlahan memudar, seperti yang ia lihat pada kedua orang tuanya.
Namun semuanya berubah saat Jendral datang. Murid baru yang membawa rasa yang tak pernah ia harapkan. Masalahnya, Naresh—sahabat yang selalu ada—juga menyimpan rasa yang lebih dari sekadar persahabatan.
Kini, Alana berdiri di persimpangan. Antara masa lalu yang ingin ia tolak, dan masa depan yang tak bisa ia hindari.
Karena cinta, tak pernah sesederhana memilih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Candylight_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 — Benteng yang Kembali Kokoh
Alana akhirnya kembali duduk. Bukan hanya Naresh yang merasa heran melihat Alana bisa setenang itu setelah Jendral meminta maaf—anggota The Rogues pun tahu, ini bukan pemandangan biasa. Jendral, yang biasanya keras kepala dan enggan mengalah, kini justru meminta maaf lebih dulu.
“Bodoh. Cemburu itu cuma nyiksa diri lo sendiri,” gumam Alana dalam hati, tanpa benar-benar mengatakannya pada Jendral.
Alana tidak menepis tangan Jendral yang masih menggenggam pergelangannya. Sebaliknya, ia justru meraih tangan itu dengan tangan satunya dan menurunkannya perlahan.
“Ini udah kedua kalinya lo bikin gue kesel terus minta maaf,” ucap Alana, suaranya lebih tenang, meski nada kesalnya belum sepenuhnya hilang.
Aska, Dewa, dan Mahen saling melirik. Sorot mata mereka seperti berkata, “Serius? Udah dua kali Jendral minta maaf?”
“Dan lo udah entah berapa kali bikin gue cemburu… padahal lo baru masuk ke hati gue hari ini,” balas Jendral pelan tapi jelas, seolah ingin semua orang di meja mendengarnya.
Aska nyaris bertepuk tangan menyaksikan drama yang sedang berlangsung. Sementara itu, Naresh tetap diam, memperhatikan Alana dengan waspada. Ia tahu betul—kalau emosi Alana dibiarkan terus memuncak, bukan hanya amarah yang akan muncul. Tapi kepribadian lain dalam diri Alana bisa mengambil alih, dan kalau itu sampai terjadi, situasinya bisa jadi jauh lebih rumit daripada sekadar cemburu atau salah paham.
"Ngapain juga lo cemburu? Gue bukan cewek lo!" Alana kembali menyantap makanannya setelah berkata begitu, seolah emosinya langsung hilang begitu saja setelah Jendral meminta maaf.
"Lo belum jadi cewek gue aja gue udah cemburu, apalagi nanti kalau lo beneran jadi milik gue," balas Jendral santai, tapi nada suaranya penuh keyakinan—seakan tidak ada keraguan bahwa hari itu akan datang.
"Terserah deh." Dan kata itu kembali keluar dari mulut Alana—penanda jelas bahwa ia sudah lelah berdebat dengan Jendral.
Meja mereka akhirnya benar-benar tenang. Tapi ketenangan itu perlahan berubah menjadi keheningan yang aneh. Tidak satu pun dari mereka bicara lagi. Yang terdengar hanya suara alat makan yang saling beradu di atas piring.
Tring… tring…
Ponsel di saku Jendral bergetar, disertai dering yang cukup nyaring. Suara itu langsung memecah keheningan yang menyelimuti meja mereka. Jendral buru-buru meraihnya dan menatap layar—nama yang muncul: Yuna.
Alana sempat melihat nama itu sekilas, tanpa tahu siapa sebenarnya si penelepon. Tapi satu hal yang langsung memenuhi benaknya: perempuan lain.
"Baru juga ngomong cemburu, sekarang ada cewek lain yang nelpon dia," gumam Alana dalam hati. Bukan masalah siapa perempuan itu, tapi kenyataan bahwa ada sosok lain yang menghubungi Jendral cukup untuk membuat bentengnya makin kokoh.
Ia bahkan belum sempat membuka hatinya untuk Jendral. Tapi lelaki itu, dengan caranya sendiri, justru membuat hati yang belum terbuka itu tertutup lebih rapat dari sebelumnya.
Jendral tidak menerima telepon itu, dan langsung menatap Alana seolah memberikan klarifikasi agar tidak ada kesalahpahaman.
"Dia Yuna, mantan gue. Kita udah lama nggak komunikasi, nggak tahu kenapa dia tiba-tiba nelpon," ucap Jendral dengan nada yang sedikit defensif, seolah mencoba menjelaskan.
The Rogues menganggap penjelasan itu sebagai sikap gentle dari Jendral, memberi pemahaman agar situasi tidak semakin buruk. Namun, Naresh yang mendengarnya dengan seksama menangkap hal lain. Baginya, Jendral justru sudah melakukan langkah yang salah—menjelaskan hal itu pada Alana hanya akan memperburuk keadaan, bukan meredakannya.
Alana hanya terdiam, hatinya semakin rapat terkunci. Ia tidak ingin tahu tentang masa lalu Jendral, apalagi hubungan dengan perempuan lain yang entah siapa. Yang ia rasakan kini hanya sebuah jarak yang semakin melebar, meskipun Jendral sudah berusaha menjelaskan.
***
Setelah selesai makan, Alana beranjak dari kursinya dan menatap Naresh, siap untuk pulang. Namun, Naresh tampak ragu, seakan ada sesuatu yang ingin ia bicarakan dengan Jendral sebelum mereka pergI.
"Gue mau ngobrol dulu sebentar sama Jendral, boleh?" tanya Naresh hati-hati, khawatir jika Alana keberatan.
"Oke," jawab Alana singkat, meskipun sebenarnya dalam hati ada perasaan yang mengganjal. Setelah Jendral menerima telepon dari mantannya, Alana merasa kepalanya semakin berat, seakan ada perdebatan yang terus bergulir dalam pikirannya.
Alana setuju untuk menunggu, tapi di sisi lain, Jendral terlihat enggan ketika Naresh tiba-tiba ingin berbicara dengannya.
"Mau ngomong apa lo sama gue?" tanya Jendral dengan nada geli, memandang Naresh yang tampak serius.
Naresh menarik Jendral mendekat dan membisikkan sesuatu agar Jendral bersedia diajak bicara.
“Ini tentang Alana. Gue yakin lo perlu denger,” bisiknya pelan tapi serius.
Jendral akhirnya mengangguk setuju. Mereka pergi ke sudut lain restoran, cukup jauh dari meja, tapi masih dalam area yang sama. Sementara itu, Alana tidak terlalu memperhatikan mereka. Kepalanya mendadak terasa berat, nyeri seperti ada perdebatan hebat di dalam pikirannya.
“Alana, lo baik-baik aja?” tanya Aska, menyadari Alana memegangi kepala dengan ekspresi kesakitan.
Alana hanya mengangguk pelan sebagai jawaban, lalu kembali duduk agar rasa pusingnya tidak semakin menjadi.
“Serius lo baik-baik aja?” Mahen, yang biasanya pendiam, ikut bicara memastikan.
“Iya, gue baik-baik aja kok,” jawab Alana, masih memegangi kepalanya sambil berusaha menahan sakit.
Anggota The Rogues akhirnya memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. Mereka tahu satu hal soal Alana: kalau dia bilang baik-baik saja, berarti mereka harus belajar percaya.
Di sudut lain restoran, tempat Jendral dan Naresh berada sekarang. Naresh langsung menyampaikan apa yang ingin dikatakannya pada Jendral.
“Alana punya trauma,” ucapnya, langsung menuju inti pembicaraan. Jendral harus tahu, sebagai lelaki yang sedang berjuang mendapatkan Hati Alana.
Jendral terkejut, namun ia berusaha bersikap biasa. "Apa maksud lo? Lo bercanda?"
"Kalau lo emang suka sama Alana dan mau dapetin hati dia, jangan berhubungan sama cewek manapun," ucap Naresh mantap, tanpa menjelaskan lebih jauh tentang trauma itu.
"Maksud lo mantan gue, Yuna? Tadi kan..." Jendral seolah mengerti arah pembicaraan Naresh, namun Naresh menyela dan menjelaskan maksudnya.
"Perselingkuhan!” potong Naresh cepat dan tegas. “Sumber trauma Alana adalah perselingkuhan,” jelasnya dengan suara yang lebih rendah, tapi tegas, penuh peringatan.
Jendral menatap ke arah meja tempat mereka makan sebelumnya. Alana masih di sana, ditemani gengnya. Namun, Jendral bisa melihat Alana tampak seperti sedang merasakan sesuatu di kepalanya.
"Lo udah bikin dia mikir keras soal perasaan lo, tindakan lo, dan keseriusan lo," ucap Naresh yang juga melirik ke arah Alana.
"Itu nggak baik buat orang yang punya trauma kayak Alana," jelasnya, berharap Jendral benar-benar memahami maksudnya.
Saat mereka berniat mengobrol lebih jauh, tiba-tiba terdengar teriakan dari arah meja mereka.
"Alana!" teriak anggota The Rogues. Naresh dan Jendral langsung menoleh, dan yang mereka lihat adalah Mahen menahan tubuh Alana yang nyaris terjatuh.