🍁Ketika kesetiaan diragukan, nasib rumah tangga pun mulai dipertaruhkan.
-
-
Bukan pernikahan impian melainkan sebuah perjodohan. Aini harus menikah dengan anak dari sahabat lama Ayahnya atas permintaan sang Ayah yang tengah terbaring lemah dirumah sakit.
Berbeda dengan Aini yang berusaha menerima, Daffa justru sebaliknya. Dinginnya sikap Daffa sudah ditunjukkan sejak awal pernikahan. Meskipun begitu Aini tetap mencoba untuk bertahan, dengan harapan mereka bisa menjadi keluarga yang samawa dan dapat menggapai surga bersama.
Dan ketika cinta itu mulai hadir, masa lalu datang sebagai penghalang. Keutuhan cinta pun mulai dipertanyakan. Mampukah Aini bertahan ditengah cobaan yang terus menguji kesabaran serta mempertahankan keutuhan rumah tangganya?
📝___ Dilarang boom like, menumpuk bab apalagi sampai kasih rating jelek tanpa alasan yang jelas. Silahkan membaca dan mohon tinggalkan jejak. Terimakasih 🙏🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fajar Riyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 : Menghindar dulu...
"Tidak, Aini... Kamu percaya atau tidak, aku hanya ingin kamu yang ada disisiku,"
Aini memegangi kepalanya yang mulai terasa pusing, tubuhnya seperti kehilangan tenaga. Dengan sigap Daffa bergegas bangun dan menangkap tubuhnya yang hampir saja kehilangan keseimbangan itu.
"Lepas, Mas."
Kali ini Daffa tidak memperdulikan penolakan Aini, dia mengangkat tubuh istrinya, membawanya ke arah ranjang dan membaringkannya disana. Jelas dia sangat khawatir melihat wajah Aini yang sedikit memucat, bahkan istrinya terlihat seperti sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk memberontak.
"Mas ambilin makanan sama obat dulu ya buat kamu," ucapnya yang sudah kembali berdiri dengan tegak, suaranya begitu lembut dan penuh dengan kehati-hatian.
"Nggak usah, kamu pergi aja kekantor. Aku lagi pengen sendiri," tanpa berniat menatap, Aini memiringkan tubuhnya memunggungi suaminya.
Daffa menghela nafas panjang, dia tau tidak akan semudah itu Aini memaafkannya, "Ya udah, Mas berangkat. Nanti Mas telefon Dina buat nemenin kamu disini ya,"
Tak ada jawaban, Aini lebih memilih diam sambil melayangkan pandangan pada tirai kamar yang sedikit terbuka. Cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah jendela kaca bahkan tak mampu menghangatkan hatinya sekarang. Hanya ada rasa sakit, seperti ada beban berat yang menindihnya.
Dan Daffa pun sangat memahami, dia tidak ingin terlalu menekan ataupun memaksakan apapun lagi untuk saat ini. Meskipun berat, akhirnya Daffa memilih meninggalkan kamar dan turun ke lantai bawah. Sebelum naik ke dalam mobilnya, Daffa lebih dulu menelfon adiknya.
"Din, kerumah sekarang. Kamu temani kak Aini, pastikan dia makan dan minum obat juga, kakak harus ke kantor sekarang soalnya,"
"Kak Aini sakit?" tanya Dina dari seberang telefon.
"Jangan banyak tanya, buruan datang!"
"Ish, iya, iya... Bawel." gerutunya sebal.
Setelah sambungan telefon terputus, tatapannya kini beralih pada motor supra yang dinaiki istrinya tadi. Dia mendekati motor itu dan mengambil kunci yang masih bergelantungan disana. Sengaja dia simpan kunci itu disaku celana, takut-takut nanti Aini pergi diam-diam.
Sekali lagi dia menatap ke arah balkon kamarnya sebelum masuk ke dalam mobil. Ada rasa tidak tega jika harus meninggalkan Aini sendirian dalam kondisi seperti sekarang, tapi saat ini kehadirannya memang sedang tidak diharapkan juga. Mungkin lebih baik dia memberi ruang dan waktu untuk Aini sendiri dulu, baginya yang terpenting sekarang Aini sudah ada di rumah, dan itu sudah cukup membuatnya merasa tenang.
Begitu sampai di kantor, hal pertama yang dia lakukan adalah menghampiri meja kerja Sinta, sekertarisnya. Sinta yang melihat kedatangan bosnya pun segera bangun untuk menyapa.
"Selamat pagi Pak Daffa."
"Pagi." jawabnya singkat. "Sinta, tolong kamu pastikan tidak ada yang boleh sembarangan masuk ke ruangan Saya mulai hari ini. Dan jika ada yang ingin bertemu dengan Saya sekalipun itu pak Dion, tolong kamu suruh tunggu dibawah saja dulu. Nanti biar Saya saja yang menemuinya disana,"
Sinta mengangguk mengerti, "Baik Pak, laksanakan."
Setelah selesai dengan tujuannya menemui Sinta, Daffa masuk ke dalam ruangan kerjanya dan menutup kembali pintunya rapat-rapat. Dia duduk di kursi kebesarannya dan menatap foto terbingkai yang sekarang menghiasi meja kerjanya. Sebuah senyuman tipis terukir di wajahnya saat memandangi wajah wanita yang ada didalam foto tersebut, begitu menghangatkan dan mampu menenangkan jiwa.
"Maafin Mas ya, Ai... Maafin Mas yang tidak bisa tegas sejak awal pada Celine. Harusnya Mas dengerin kamu, dan tidak membuat kamu sampai terluka seperti sekarang ini,"
-
-
-
Setelah janjian, Fera datang mengunjungi apartemen Celine. Kebetulan hari ini Celine juga masih ijin, dan baru besok dia akan mulai masuk kerja lagi.
"Gara-gara wanita itu, Mas Dion sampai berani membentakku, kurang ajar sekali dia, dasar wanita sialan!" Ungkap Fera geram, kembali dia teringat perdebatannya dengan suaminya tadi dimeja makan.
Celine tertawa renyah, segera dia letakkan gelas ditangannya diatas meja, "Dion sih urusan gampang, kamu tinggal pakai baju dinas aja dan beri dia sentuhan-sentuhan lembut juga dia bakal klepek-klepek lagi. Dulu aku dan Daffa juga begitu, kalau dia marah tinggal kasih jatah juga marahnya langsung hilang,"
"Tapi... Aini memang sialan," Celine menyenderkan tubuhnya pada punggung sofa, lalu menghela nafas panjang, "Gara-gara dia Daffa juga menolak aku. Padahal kalau nggak ada dia, aku yakin Daffa juga masih mau bersamaku. Dan aku lihat-lihat, mantan mama mertuaku terlihat sangat menyukai wanita sialan itu, semakin sulit saja jalanku untuk kembali bersama Daffa kalau begini."
"Lalu apa rencana kamu selajutnya? Mau menjebak Daffa untuk tidur denganmu?" tanya Fera, penasaran.
"Menjebak?" Celine mengerutkan kening, "Bukan ide buruk sih, tapi aku lebih suka bermain-main dulu, lebih tepatnya mempermainkan hati Aini... Sampai dia sadar, kalau dia memang tidak pantas untuk Daffa."
Celine mulai berfikir, menjebak Daffa dengan cara mencampurkan obat memang bukanlah hal yang sulit. Tapi cara itu justru akan membuat Daffa semakin membencinya iya. Terlebih keluarga Daffa juga terlihat sangat menyukai dan menyayangi Aini, akan semakin sulit saja baginya untuk menaklukkan hati Daffa dan keluarganya lagi seperti dulu.
-
-
-
Malam ini Daffa sampai di rumah tepat jam tujuh malam. Dia juga membawa sebuket bunga mawar putih yang memang sengaja dia belikan untuk Aini. Bukan untuk sebagai sogokan ucapan permintaan maaf, tapi karena memang dia ingin membelinya untuk sang istri.
"Terimakasih," ucapnya lirih begitu menerima bunga itu dari tangan suaminya, sama sekali tidak ingin berekpresi lebih karena dia memang masih marah.
Aini yang diberi bunga tapi Dina yang tersenyum bahagia, "Wah romantis sekali. Kalau begitu sekarang aku udah boleh pul..."
"Din, tadi katanya kamu mau nginep kan?" potong Aini cepat sebelum Dina sempat menyelesaikan kalimatnya. Dia sengaja berkata seperti itu karena memang sedang ingin menghindari suaminya dulu.
"Heuh..." Dina mengerjap pelan, "Nginep?"
Aini mengangguk, kali ini dengan senyuman tipis yang tergambar diwajahnya, "Iya, kita masih mau lanjutin obrolan yang tadi kan? Malam ini kakak temenin kamu tidur di kamar tamu ya biar kita bisa sambung lagi ngobrol-ngobrolnya,"
Sama sekali tidak ada omongan kalau dia mau menginap malam ini, tapi melihat tatapan kakak iparnya yang penuh harap membuat dia bingung juga untuk menjawab.
Daffa dan Dina saling menatap.
"Kamu nginep aja, lagipula ini udah malam. Kalian tidur dikamar, biar aku saja yang tidur di kamar tamu," ucap Daffa, lalu melangkahkan kakinya menaiki tangga untuk mengambil pakaian ganti didalam kamarnya. Raut kekecewaan jelas terlihat, tapi tak begitu dia tampakkan. Dia tau Aini sedang berusaha untuk menghindarinya.
Dina menggaruk kepalanya yang tidak gatal sembari menatap kepergian kakaknya yang terlihat kecewa itu. "Kalian yang berantem, aku yang ikut kena getahnya kan. Padahal kan aku mau pacaran bentar sama Reyhan. Hufftt... nasib... nasib..."
...💧💧💧...
. tapi aku ragu celine bakal sadar sebelum dapet karma instan🤧🤧