Setelah fenomena Dukhan melanda, dunia berubah drastis dengan iklim yang semakin ekstrem dan teknologi yang lumpuh. Umat manusia harus bertahan hidup di tengah panas terik dan kemarau panjang yang tak kunjung usai.
Kisah ini mengikuti perjalanan sebuah kelompok yang berjuang menghadapi kenyataan baru. Mereka mencoba menanam di tanah kering, mencari air, dan bergantung pada kebijaksanaan lama. Di tengah tantangan yang berat, muncul momen tegang, humor, dan rasa kebersamaan yang kuat.
Mencari Harapan di Tengah Kemarau adalah cerita tentang perjuangan, keimanan, dan kebersamaan dalam menghadapi ujian akhir zaman.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harapan di Tengah Kemarau
Pagi itu, langit masih terlihat sama seperti hari-hari sebelumnya, biru tanpa awan, dan matahari bersinar sangat terik. Budi, Rina, dan para warga sudah terbiasa dengan panas yang menyengat, tapi hari ini terasa lebih berat. Ladang mereka yang sempat hijau dan subur kini kembali kering. Durian yang kemarin mereka petik, sudah habis dinikmati, dan sekarang mereka dihadapkan lagi pada kenyataan bahwa tanah mereka tidak memberikan hasil apa pun.
Budi duduk di bawah pohon pinus yang hampir mati. "Kita tidak bisa terus begini," gumamnya sambil mengusap keringat dari dahinya. "Kalau terus-terusan, kita bisa kelaparan."
Rina datang menghampiri, membawa sebotol air yang tinggal setengah. “Minumlah, ini air terakhir yang kita punya untuk hari ini,” katanya sambil menyerahkan botol itu ke Budi.
Budi menerima botol itu dan meminumnya sedikit, cukup untuk membasahi tenggorokannya yang kering. “Kita perlu solusi lebih dari sekadar menunggu hujan. Kita tidak bisa hanya bergantung pada ladang lagi.”
Di tengah percakapan mereka, seorang warga datang dengan tergesa-gesa. “Budi! Rina! Ada belut listrik di ladang kita!” teriaknya dengan panik.
“Belut listrik? Di musim kemarau seperti ini?” Budi terkejut.
“Ya! Aku melihatnya sendiri. Di dekat sumur yang kita gali kemarin, ada belut listrik berukuran besar. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa di sana, tapi sepertinya belut itu bisa membantu kita!”
Dengan rasa penasaran, Budi dan Rina segera menuju ladang bersama warga lainnya. Di sana, mereka melihat belut besar berkilauan di tanah yang retak. Belut itu tampak mengeluarkan aliran listrik kecil yang mengalir ke sekitarnya. Warga berkumpul, sebagian merasa takut, sementara yang lain justru penasaran.
"Bagaimana ini bisa terjadi?" Rina bertanya sambil memandangi belut itu.
"Aku tidak tahu," jawab Budi, "Tapi mungkin kita bisa menggunakan listrik dari belut ini untuk sesuatu. Setidaknya, kita bisa mendapatkan penerangan pada malam hari."
Pemikiran itu membuat semua orang bersemangat. Mereka mulai berdiskusi tentang bagaimana cara menyalurkan listrik dari belut ke desa. Beberapa warga mencoba membuat alat sederhana dari kawat dan bahan-bahan seadanya. Namun, semua upaya mereka berakhir dengan tawa ketika belut tersebut malah membuat salah satu pemuda terkejut karena tersengat listrik kecil.
"Aduh! Sial, hampir saja aku tersengat lagi!" keluh pemuda itu sambil menggaruk kepalanya, membuat semua orang tertawa.
Di sela-sela tawa dan kegaduhan, Rina tiba-tiba mendapatkan ide. "Bagaimana kalau kita membangun kolam kecil di sekitar belut ini? Mungkin dia butuh air lebih banyak untuk menghasilkan listrik yang lebih kuat."
Semua orang setuju, dan meskipun mereka tidak memiliki banyak sumber daya, mereka memutuskan untuk mencoba menggali kolam kecil di sekitar belut itu. Dengan kerja sama dan semangat kebersamaan, mereka mulai menggali, meski di bawah terik matahari yang tidak bersahabat.
Sambil bekerja, Budi berkata, “Kita harus tetap optimis. Mungkin belut ini adalah tanda bahwa kita masih punya harapan. Setidaknya, kita punya sesuatu yang bisa dimanfaatkan di tengah kesulitan ini.”
Saat sore tiba, kolam kecil itu akhirnya selesai. Mereka mengisi kolam dengan sedikit air yang mereka kumpulkan dari sumur-sumur kering, berharap belut listrik itu bisa menghasilkan energi yang cukup. Setelah beberapa waktu, belut itu tampak lebih aktif, dan aliran listrik kecil mulai muncul di sekitar kolam.
“Lihat! Listriknya bertambah!” seru seorang warga dengan penuh harapan.
Malam harinya, warga desa berkumpul di sekitar kolam belut listrik. Meski belum cukup untuk menghidupkan lampu-lampu besar, mereka berhasil menggunakan sedikit listrik dari belut itu untuk menyalakan beberapa lampu kecil. Dalam gelapnya malam, lampu-lampu kecil itu bersinar lembut, memberikan secercah cahaya harapan bagi semua orang.
Budi tersenyum, menatap lampu-lampu yang menyala. “Mungkin kita tidak punya teknologi canggih lagi, tapi kita masih bisa bertahan. Kita hanya perlu terus berusaha dan tidak menyerah.”
Rina mengangguk setuju. “Selama kita bersama, kita pasti bisa menemukan jalan keluar dari kemarau ini.”
Di tengah kesulitan yang mereka hadapi, warga desa mulai menyadari bahwa yang paling penting adalah kebersamaan dan semangat pantang menyerah. Meski kemarau terus berlanjut, mereka percaya bahwa selama mereka tetap bersatu, mereka bisa mengatasi segala tantangan yang ada.
Keesokan harinya, ketika matahari baru saja muncul di ufuk timur, desa kembali terbangun dalam suasana kemarau yang menyengat. Semua warga tampak lelah, namun semangat mereka belum padam. Setelah berhasil memanfaatkan belut listrik semalam, meski hanya untuk sedikit cahaya, mereka merasa ada secercah harapan.
Budi dan Rina memulai hari dengan mengunjungi ladang yang kemarin masih terlihat hijau setelah hujan singkat, namun hari ini, kondisi ladang mereka mulai mengkhawatirkan. Tanah yang kemarin lembab kini sudah retak kembali di beberapa bagian, dan tanaman mereka yang sempat segar mulai terlihat layu. Mereka berjalan pelan di antara barisan tanaman, berharap masih ada yang bisa diselamatkan.
“Sial, kenapa panasnya jadi makin parah?” keluh Budi sambil menyeka keringat di dahinya. “Padahal baru kemarin kita merasa lega.”
Rina menatap ladang dengan sedih, “Hujan yang kita dapatkan cuma sementara, Budi. Kita harus cari cara lain, atau tanaman kita bakal mati semua.”
Tiba-tiba, di ujung ladang, terdengar suara tawa. Budi dan Rina segera berlari menuju sumber suara dan mendapati beberapa warga tengah berkerumun di dekat pohon pinus. Di antara tawa mereka, tampak seorang pemuda yang tengah memanjat pohon, mencoba mencari sesuatu untuk menghibur diri di tengah suasana gersang ini.
“Eh, kamu ngapain di atas sana?” teriak Rina, setengah bingung setengah penasaran.
Pemuda itu, bernama Jono, menjawab sambil tetap bertengger di dahan, “Aku cuma mau cari angin segar! Di bawah sini panasnya gila-gilaan, siapa tahu di atas lebih adem!”
Tapi tak lama setelah Jono berkata begitu, tiba-tiba dia mengaduh keras, “Aduh! Aduh! Digigit bunglon!”
Semua orang tertawa melihat Jono yang tergelincir sedikit, berusaha menjaga keseimbangan sambil mengelus lengannya yang digigit bunglon. “Itu tanda, Jon! Nggak ada tempat adem di sini, kecuali kamu mau digigit bunglon terus-terusan,” ledek salah satu warga sambil tertawa.
“Bunglon pun nggak kuat sama panasnya!” canda Budi sambil tertawa terbahak-bahak.
Setelah berhasil turun dari pohon dengan susah payah, Jono mendekati kerumunan. Wajahnya masih kesakitan, tapi ia ikut tertawa bersama mereka. “Sial, aku kira bunglon nggak bakal gigit. Ternyata, di musim kemarau kayak gini, mereka juga kelaparan!”
Suasana yang sempat tegang karena keadaan ladang mendadak terasa lebih ringan dengan humor sederhana itu. Tapi meski mereka bisa tertawa untuk sesaat, kekhawatiran tetap membayangi. Ladang mereka dalam bahaya, dan jika tidak ada tindakan cepat, mereka bisa kehilangan semua tanaman.
Rina, yang selalu berpikiran logis, mencoba mencari solusi lain. “Kalau air dari hujan nggak bisa diandalkan, kita mungkin harus mulai menggali sumur lebih dalam. Mungkin di bawah sana masih ada sumber air yang bisa kita manfaatkan.”
Budi mengangguk setuju. “Kita harus coba, kalau nggak, kita bakal kelaparan.”
Akhirnya, sore itu, warga desa kembali berkumpul untuk merencanakan penggalian sumur baru di berbagai titik. Mereka bekerja keras, menggali dengan peralatan seadanya. Meski keringat mereka bercucuran di bawah terik matahari, semangat mereka tetap terjaga. Harapan untuk menemukan air menjadi pendorong yang kuat.
Di sela-sela kerja keras mereka, humor tetap menjadi cara mereka melepas lelah. Jono, yang digigit bunglon tadi, tak henti-hentinya dijadikan bahan lelucon oleh teman-temannya.
“Eh, Jon! Kalau ada bunglon lagi, kasih tahu ya. Biar kita nggak perlu galih sumur dalam-dalam, bunglon itu bisa jadi tanda ada air,” canda salah seorang warga.
“Ya, ya! Bunglon tadi digigit aku karena dia haus juga. Mungkin dia nyari sumur,” balas Jono dengan cengiran lebar.
Tawa pun kembali menggema di ladang yang panas itu. Meski suasana serba sulit, mereka tetap berusaha saling menguatkan dengan humor-humor sederhana yang menambah keceriaan.
Malam harinya, mereka kembali berkumpul di sekitar kolam belut listrik. Cahaya lampu kecil yang mereka dapatkan dari energi belut itu masih menyala, dan meski sangat redup, itu cukup untuk memberikan sedikit penerangan di tengah gelapnya malam. Mereka duduk bersama, merenung tentang masa depan, namun tetap menjaga semangat untuk terus bertahan.
“Kita belum tahu kapan kemarau ini akan berakhir,” kata Budi pelan, “tapi selama kita bersama, kita pasti bisa melewati ini. Apa pun yang terjadi, kita nggak boleh menyerah.”
Semua warga mengangguk setuju. Meski tantangan di depan mereka sangat besar, keyakinan mereka bahwa kebersamaan dan kerja keras akan membawa hasil tetap menjadi pegangan kuat. Kemarau yang keras ini belum tentu akan berakhir dalam waktu dekat, tapi selama mereka terus berusaha, harapan akan selalu ada.
Setelah siang yang panjang dan panas, malam pun tiba, namun hawa gerah masih menggantung di udara. Suasana desa mulai terasa lebih sunyi, dengan hanya suara binatang malam yang jarang terdengar karena cuaca kering. Namun, di antara kelelahan dan rasa was-was akan kondisi ladang, para penduduk desa mencoba mencari sedikit hiburan.
Jono yang tadi sempat digigit bunglon masih menjadi bahan lelucon di antara teman-temannya. Ia mencoba menghibur diri dengan memanjat pohon pinus, tapi nasib kurang beruntung masih mengejarnya. Kali ini, setelah turun dari pohon, ia meringis sambil memegang tangannya yang bengkak. “Sial, aku digigit bunglon, dan sekarang malah kejatuhan getah pinus! Harusnya tadi aku cari pohon durian biar kalau jatuh ada yang bisa dimakan.”
Salah satu temannya tertawa terbahak-bahak. “Durian? Di musim kemarau begini? Paling yang jatuh cuma durian kering!”
Jono cemberut, tapi ikut tertawa. “Ya, paling tidak kalau kering nggak ada yang mau rebutan! Makan sendiri puas!”
Namun, meski suasana tampak lebih ringan dengan candaan itu, Jono dan teman-temannya tetap menyadari bahwa situasi semakin sulit. Ladang yang hijau sesaat setelah hujan singkat kemarin, kini mulai kembali kering. Rasa cemas perlahan-lahan menyelimuti desa, meskipun mereka berusaha tetap tenang.
Saat malam semakin larut, beberapa penduduk mencoba mengalihkan perhatian dengan berjalan-jalan di sekitar desa sambil berdzikir. Mereka berusaha menguatkan hati mereka dengan mengingat Allah, berharap cobaan ini segera berlalu. Tapi saat mereka melewati ladang yang semakin gersang, pikiran tentang hujan kembali menghantui.
Budi, yang juga ikut dalam kelompok dzikir itu, menatap ladangnya dengan pandangan kosong. “Ladang ini... kemarin kita lihat segar, tapi sekarang...,” suaranya parau, menahan rasa frustasi.
Rina, yang berjalan di sebelahnya, menepuk pundaknya dengan lembut. “Kita harus tetap sabar, Budi. Ini ujian buat kita semua. Mungkin Allah ingin kita lebih kuat menghadapi ini.”
Tapi Budi hanya menghela napas panjang. “Aku tahu, tapi rasanya makin sulit setiap harinya. Dan hujan sepertinya semakin jauh dari jangkauan kita.”
“Jangan putus asa,” kata Rina, mencoba menenangkan suaminya. “Kita sudah berhasil melalui banyak hal bersama. Kita pasti bisa melewati ini juga.”
Sambil terus berdzikir, mereka melanjutkan perjalanan. Tapi tak jauh dari situ, mereka melihat sekumpulan anak muda yang tengah berkumpul di sekitar ladang. Salah satu dari mereka, dengan penuh semangat, melompat-lompat seperti orang kesurupan.
“Eh, lihat itu! Apa yang dia lakukan?” tanya Budi heran.
Rina tersenyum tipis. “Sepertinya mereka menemukan sesuatu.”
Mereka berdua mendekat, dan ternyata salah satu pemuda itu baru saja menangkap seekor belut besar dari aliran sungai kecil yang mulai mengering. “Ini dia! Belut listrik!” seru si pemuda bangga. “Bisa buat kita pakai untuk nyalain lampu lagi!”
Mereka tertawa bersama-sama, meskipun mereka tahu bahwa sumber daya seperti itu tak akan cukup untuk menyelamatkan mereka dari kekeringan. Namun, humor kecil seperti itu tetap menjadi penghibur di tengah kondisi yang berat.
“Setidaknya kita masih punya belut,” canda Jono, yang tiba-tiba muncul dari balik pepohonan. “Kalau nggak ada durian, belut ini bisa jadi santapan!”
Warga desa kembali tertawa, meskipun canda itu hanya menjadi penutup dari kekhawatiran mereka yang sebenarnya. Ladang yang retak, terik matahari yang semakin menjadi-jadi, dan hujan yang tak kunjung datang semakin menambah beban pikiran mereka. Tapi satu hal yang pasti, mereka tahu bahwa mereka harus terus berjuang, apa pun yang terjadi.
Babak kemarau ini masih panjang, dan mereka hanya bisa berharap bahwa kekuatan mereka, bersama-sama, akan cukup untuk bertahan.
Malam semakin larut, dan sekelompok warga desa yang masih berkumpul di tepi ladang mulai merasakan lelah. Meskipun mereka berusaha untuk tetap semangat, kekhawatiran akan nasib ladang dan tanaman yang mulai meranggas membuat suasana kembali serius.
“Aku nggak yakin, seandainya kemarau ini berlanjut, apa kita masih bisa panen?” gumam salah seorang petani tua sambil mengelus jenggotnya yang sudah mulai memutih.
Jono, yang tadi sempat membuat lelucon tentang durian, kini duduk terdiam, menatap tanah yang mulai retak di bawah kakinya. “Kemarin kita dapat hujan sebentar, tapi sekarang lihat… tanahnya kembali kering. Kalau begini terus, lama-lama bisa nggak ada yang tersisa di ladang ini.”
Anak-anak muda yang sebelumnya penuh semangat mulai kehabisan kata-kata. Mereka hanya memandang satu sama lain dengan raut wajah lelah. Mereka paham, meskipun mereka mencoba menciptakan humor untuk mengurangi ketegangan, kenyataan bahwa musim kemarau ini akan terus berlanjut membuat mereka semua merasa putus asa.
Tiba-tiba, suara petir terdengar menggelegar dari arah timur. Semua orang mendongak, terkejut. Awan gelap yang muncul di kejauhan hanya memberikan pertanda hujan yang tak kunjung turun. Sekali lagi, harapan akan hujan sirna.
“Kita harus melakukan sesuatu!” seru salah satu dari mereka dengan suara yang penuh semangat. “Tidak mungkin kita hanya duduk di sini dan menunggu!”
Budi, yang biasanya pendiam, tiba-tiba berdiri. “Benar, kita tidak bisa terus berharap hujan datang. Ladang kita semakin kering, dan jika kita hanya menunggu tanpa berbuat apa-apa, kita akan kehabisan waktu. Kita harus menemukan cara lain.”
“Cara lain? Apa yang bisa kita lakukan?” tanya Rina dengan wajah cemas. “Teknologi sudah lenyap, kita tidak punya alat-alat canggih lagi. Bahkan pompa air pun tak bisa kita gunakan.”
Budi berpikir sejenak sebelum menjawab, “Aku pernah dengar dari kakekku, dulu sebelum ada teknologi canggih, orang-orang menggunakan cara tradisional untuk mengairi sawah. Mungkin kita bisa coba menggali sumur di sekitar ladang, siapa tahu masih ada sumber air yang bisa kita manfaatkan.”
Usulan itu disambut dengan keheningan. Semua orang berpikir keras, mencoba mencerna gagasan tersebut.
“Gali sumur?” gumam Jono, sambil memandang tanah yang keras dan retak. “Itu bisa jadi ide bagus, tapi... kita butuh tenaga, alat, dan waktu.”
“Lebih baik kita mulai daripada menunggu tanpa kepastian,” sahut Budi tegas. “Siapa tahu kita berhasil menemukan air di bawah tanah. Kalau tidak dicoba, kita nggak akan pernah tahu.”
Akhirnya, mereka sepakat untuk mencoba menggali sumur. Meskipun tidak ada yang tahu seberapa dalam mereka harus menggali, setidaknya usaha itu memberikan mereka secercah harapan.
Malam itu, meskipun udara masih panas dan gerah, beberapa pemuda desa mulai berkumpul di ladang, membawa alat seadanya—cangkul, sekop, dan ember—siap untuk memulai penggalian. Meskipun cahaya bulan yang redup menjadi satu-satunya penerangan, semangat mereka tak luntur.
“Ini benar-benar seperti kembali ke zaman batu,” kata Jono sambil tertawa kecil, mengangkat sekopnya. “Tapi setidaknya sekarang kita nggak perlu takut digigit bunglon lagi.”
Tawa mereka sejenak mengisi malam yang sunyi. Meski dengan segala kesulitan yang ada, mereka tetap menemukan cara untuk saling menghibur.
Penggalian dimulai, dengan semangat gotong royong yang sudah lama menjadi ciri khas desa mereka. Setiap sekop tanah yang diangkat menjadi simbol harapan mereka untuk menemukan air, meskipun peluangnya kecil.
Tapi, tak peduli seberapa sulit, mereka tahu bahwa menyerah bukanlah pilihan. Terus bergerak dan berusaha adalah satu-satunya cara untuk bertahan di tengah kemarau yang terus mendera.