Di pertengahan tahun 1980, Dewi merasakan pedihnya dijadikan tulang punggung layaknya sapi perah, tapi tetap dianggap sebagai benalu. Bahkan, KDRT kerap Dewi maupun anaknya dapatkan dari suami dan juga keluarga suami, yang selama 5 tahun terakhir Dewi nafkahi. Karenanya, Dewi nekat menjadikan perceraian sebagai akhir dari rumah tangganya.
Dewi bertekad bahagia bahkan sukses bersama kedua anaknya. Segala cara Dewi lakukan, termasuk menjadi ART, sebelum akhirnya menjadi warung keliling. Namun pada kenyataannya, menjadi sukses bukanlah hal mudah. Terlebih, Dewi masih saja diganggu orang-orang dari masa lalunya. Dewi sampai berurusan dengan hukum akibat fitnah keji, sebelum akhirnya mengikuti program transmigrasi di era Orde Baru yang tengah berlangsung.
Akan tetapi karena sederet cobaan itu juga, Dewi menemukan cinta sejati sekaligus kesuksesan yang selama ini Dewi perjuangkan. Kesuksesan yang membuat Prasetyo sekeluarga sangat menyesal!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Lima
Sopir travel yang ditugasi mengantar Dewi, bernama Agus. Usianya sekitar tiga puluh tahun. Agus seorang duda dan memiliki seorang putri yang sampai saat ini masih ikut sang mantan istri. Agus langsung menceritakan itu kepada Dewi, hingga Dewi bingung sendiri. Selain itu, Agus juga berdalih bahwa sang putri tidak akan pernah ikut dirinya, andai nanti Agus menikah lagi.
Layaknya sopir travel pada kebanyakan, Agus juga mirip Prasetyo yang sangat menjaga penampilan.
“Kata ibu Safangah, Mbak Dewi juga janda? Sudah keluar putusan, belum?” tanya Agus sambil membawakan setiap belanjaan yang Dewi beli.
Mereka sudah di pasar, dan kebersamaan mereka lebih mirip pasangan atau setidaknya sejoli yang punya hubungan cukup dekat. Akan tetapi selama kebersamaan, bahkan meski Agus cerita sekaligus bertanya panjang lebar, Dewi tetap diam. Dewi hanya sesekali melirik Agus, dan itu saja sangat jarang. Selain itu, Dewi yang masih berjilbab juga selalu menjaga jarak. Meski selama itu juga, Agus selalu berusaha mendekat. Hingga yang ada, belum apa-apa Dewi sudah merasa risi. Ditambah lagi Dewi sadar, statusnya sebagai seorang janda, sangat rawan. Belum lagi, status Dewi di rumah mas Abdul merupakan pembantu baru. Dewi tidak mau kedekatannya dengan siapa pun termasuk itu Agus, membuatnya kehilangan kepercayaan dari mas Abdul sekeluarga. Yang dengan kata lain, kenyataan tersebut juga bisa mempengaruhi pekerjaannya.
Ketika akhirnya Dewi memboyong belanjaannya masuk ke dalam rumah mas Abdul, di teras rumah, Dewi akhirnya naik pitam. Sebab Agus dengan sengaja menahan tangan kanan Dewi.
“Mas Agus, mohon maaf ya. Saya tidak suka dengan cara Mas yang sampai pegang-pegang seperti tadi!” tegas Dewi marah sesaat setelah langsung menarik tangan kanannya dari tangan kiri Agus.
“Saya di sini hanya untuk bekerja. Tidak lebih! Jadi tolong, jaga sikap Mas. Temanan boleh, tapi tidak usah pegang-pegang! Permisi!” tegas Dewi lagi yang kemudian berkata, “Taruh saja semua belanjaan di teras. Nanti akan langsung saya ambil!” Ia terus melangkah sambil menahan gemuruh di dada akibat rasa dongkol yang ia rasa.
“Tuh orang kenapa sih? Enggak sopan banget!” batin Dewi benar-benar jengkel. Rasa jengkel yang akhirnya terbawa di aktivitasnya seharian ini. Mas Abdul yang akhirnya pulang di siang harinya, sampai merasakannya. Bahwa Dewi yang mengambilkan makan siang sekaligus membuatkan kopi untuknya, tengah marah.
“Ngopi saja Mbak, ketimbang emosi. Emosi cuma bikin kamu capek,” ucap Mas Abdul sambil menyeruput kopi hitamnya.
Dewi yang awalnya akan langsung pergi, jadi tidak jadi. Ia balik badan kemudian menghadap sekaligus menatap mas Abdul. Ternyata, pemuda yang kiranya hampir sebaya dengannya itu tengah memperhatikannya sambil menyeruput kopi.
“Mamaku enggak bikin ulah, kan?” ucap mas Abdul kali ini berbisik-bisik sambil mengawasi sekitar.
Dewi berangsur menggeleng.
“Terus ...?” tagih Mas Abdul yang makin penasaran dan menang masih menyikapi Dewi dengan serius.
Setelah menghela napas dalam, Dewi memutuskan untuk jujur. “Gini yah, Mas. Sebenarnya saya juga tahu kalau laki-laki sudah ditakdirkan buat genit!” ucapnya lirih tapi terdengar nyelekit bahkan di telinganya sendiri.
“Maksud kamu, ... saya ...?” bingung mas Abdul. Dalam hatinya, ia berujar, apakah rasa kagumnya kepada Dewi, telah membuatnya memberikan perhatian berlebihan dan sampai Dewi anggap genit.
Namun ketika Dewi menggeleng tegas dan seolah menepis anggapan sekaligus kekhawatiran mas Abdul, pemuda itu juga sampai berucap lirih, “Alhamdullilah ....”
“Maaf Mas, bukan maksud saya tidak sopan. Namun, tolong bilangin ke karyawan di sini. Tolong jangan genit. Saya tidak suka. Jangankan sampai dipegang-pegang, sekadar kata-kata saja, saya tidak suka. Digeniti bukan oleh pasangan, bagi saya sama saja dile.cehkan. Ditambah lagi, ...saya berkerudung loh. Sebisa mungkin saya mencoba waras berdasarkan agama saya,” ucap Dewi lirih dan memang jauh lebih bisa mengontrol diri.
“Siapa yang berani pegang-pegang kamu?! Beneran ada yang berani melakukan itu?!” sergah mas Abdul yang memang langsung marah.
Secangkir kopi panas dan awalnya tengah mas Abdul nikmati, pemuda itu letakan dengan kasar. Isinya sampai tumpah bersama air mata Dewi yang akhirnya membasahi pipi.
Hening sempat menyelimuti bersama amarah dan kecewa yang berpadu dari kedua insan di sana.
“Sudah cerita saja, ... biar nanti saya tegur semuanya!” tegas mas Abdul.
Sekitar lima menit kemudian, para sopir yang ada di depan dan kebetulan sedang istirahat, langsung dipanggil sekaligus dikumpulkan. Semuanya disidang dadakan oleh mas Abdul. Pemuda itu sampai meninggalkan kopi dan juga makan siangnya. Mas Abdul yang sudah mengantongi identitas yang Dewi sebut, membuat semua sopirnya apalagi Agus, takut. Beruntung, mas Abdul tak sampai menyebut nama Agus. Mas Abdul menegur pria itu secara pribadi ketika semuanya sudah bubar melanjutkan pekerjaan.
“Jangan diulangi. Mau dia janda, istri orang, bahkan istri saya, ... termasuk ke wanita mana pun, JANGAN!” tegas mas Abdul lirih sambil menatap tajam Agus.
Selain sengaja menjaga suaranya, di hadapannya, Agus juga terus menunduk dan tak hentinya meminta maaf.
Mas Abdul tak mengindahkan permintaan maaf dari Agus. Ia melangkah masuk dan kembali ke meja makan. Namun, ia tak lantas makan dan malah merenung memikirkan masa depan Dewi.
“Mungkin karena mbak Dewi hanya pembantu, jadi pada menganggapnya sebelah mata. Termasuk Mama yang juga sama, menganggap Dewi tak beda dengan nenek Retno hanya karena mereka sama-sama pembantu,” pikir mas Abdul yang kemudian memiliki ide. “Bagaimana jika aku membuatkan mbak Dewi usaha menggunakan uang kemarin?”
“Tapi usaha apa? Makanan? Rumah makan?”
“Masalahnya, zaman sekarang kalau ada yang jualan langsung laris, pasti akhirnya tragis. Kirim preman bahkan guna-guna lah. Ngeri ....”
“Namun, ... masakan mbak Dewi enak loh,” pikir mas Abdul lagi.
Di lanin sisi, Dewi yang tengah mengumpulkan arang yang ia bakar ke seterika, jadi khawatir. “Jangan-jangan, semuanya dibabat habis sama mas Abdul. Duh, jadi enggak enak gini. Tapi salah siapa genit begitu,” lirih Dewi yang kemudian membawa setrikanya yang sudah penuh arang, ke ruang sebelah.
Pakaian yang harus Dewi seterika sudah menumpuk karena mama dan adik-adik mas Abdul sangat sering ganti pakaian. “Alasanku di sini murni buat kerja. Agar aku bisa menghidupi anak-anak dan sebagian pun buat tabungan masa depan.”
Kedatangan mas Abdul yang tak sampai melayangkan salam, membuat Dewi terkejut. Dewi segera menaruh seterikanya di tempatnya. Kemudian, ia yang awalnya jongkok juga berangsur berdiri.
“Mbak, kamu enggak usah kerja di sini lagi ya!” sergah mas Abdul sangat serius.
“Hah ... saya, di ... pecat, Mas?” lirih Dewi benar-benar syok. Dewi langsung kebas dan sangat yakin, bahwa buntut dari laporannya justru membuatnya kehilangan pekerjaan.
saat itu jamannya.....
semuanya pada sakit......