Aku Raima Nur Fazluna, gadis yang baru saja menginjak usia 21 tahun. Menikah muda dengan Sahabat Kakakku sendiri yang sudah tertarik sejak awal pertemuan kita.
Namanya Furqan Hasbi, laki-laki yang usianya berbeda 5 tahun di atasku. Dia laki-laki yang sudah menyimpan perasaannya sejak masa sekolah dan berjanji pada dirinya sendiri akan menikahiku suatu saat nanti ketika dirinya sudah siap dan diantara kita belum ada yang menikah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chocoday, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25
Aku terdiam mendengar pertanyaannya. Dia menepuk tanganku yang ada di perutnya.
"Kok malah diem!"
"Abisnya bingung jawabnya gimana, lagian masa dilamar di tengah jalanan gini," ujarku.
Dia terkekeh mendengarnya, "Ya udah nanti Kakak datang ke rumah secara resmi," ucapnya.
"Emang udah yakin mau nikah sama Nur?"
"Yakin dong. Kalau gak yakin gak mungkin dikenalin sama keluarga besar," jawabnya.
Selama di perjalanan kita mengobrol hal-hal kecil yang bahkan kita tidak pernah bahas sebelumnya.
Setelah perjalanan panjang, Kak Furqan langsung mengantarku ke rumah. Dia langsung pamit kembali untuk pulang karena hari sudah larut.
Keesokannya,
Aku sedang sarapan bersama Kak Asya, dia senang sekali mendapat oleh-oleh yang diberikan Bibi kemarin.
"Kak Emangnya enak?" tanyaku sedikit ragu melihatnya.
"Enak tau Nur, cobain deh nih!" dia menyodorkan kerupuk yang baru saja dia goreng.
"Gak ah, Nur gak mau makan itu dari ikan laut," tolak-ku.
Bang Daffa baru saja keluar dari kamarnya, sudah rapih dengan pakaian kerjanya.
"Kamu makan apa itu?" tanya Bang Daffa.
"Kerupuk, bawa Nur kemarin," jawab Kak Asya sembari terus menikmatinya.
"Mamah sama Bapak mana Nur?" tanya Bang Daffa melihat rumah sudah terlihat sepi.
"Di rumah Nenek," jawabku singkat. Bang Daffa manggut-manggut mendengarnya.
Setelah sarapan, Bang Daffa pamit untuk berangkat kerja. Tinggal aku dan Kak Asya di rumah sekarang.
Seharian itu, aku tidak mendapat kabar sedikitpun dari Kak Furqan. Bahkan pesan yang aku kirim semalam hanya dibaca olehnya.
Kak Asya menoleh kebingungan padaku, "kamu daritadi cek hp terus, nungguin kabar Furqan?"
Aku mengangguk menjawabnya, "chat aku dari semalem gak dia bales."
"Mungkin dia lupa atau sekarang dia lagi sibuk kerja. Kan kalau karyawan baru suka sibuk kerjaannya," sangka Kak Asya.
"Iya mungkin ya, ya udahlah biarin aja," ucapku menaruh ponsel di atas meja.
Beberapa hari berlalu,
Hingga malam ini Kak Furqan belum juga ada kabar, entah sekedar membalas pesan yang aku kirim atau menghubungiku.
Aku mencoba mengirimkan pesan kembali padanya. Tidak lama dari itu, Kak Furqan menghubungiku.
"Assalamualaikum Kak,"
"Waalaikumsalam Nur," jawabnya, "maaf ya beberapa hari ini Kakak gak ada kabar."
"Kak Furqan lagi sibuk ya?"
"Iya," jawabnya singkat.
"Kak Furqan besok libur kan?" tanyaku, "temenin ke toko buku yuk!"
Kak Furqan terdiam mendengarnya, "Kak? Masih di situ kan?" tanyaku.
"Nur,-"
"Iya?"
"Kayaknya kita gak bisa lanjutin hubungan kita deh!"
Aku tersentak mendengar ucapannya, "kenapa Kak?"
"Kita gak cocok Nur. Kakak selama ini udah coba buat ngerti kamu, tapi kayaknya tetep gak bisa," ungkapnya.
Air mataku mulai meluruh mendengarnya, "Kak Furqan gak usah becanda deh! Ulang tahun Nur masih lama tau," ucapku sembari menangis.
"Nur... Kamu pasti dapet laki-laki yang lebih baik dari Kakak," ucapnya terdengar bergetar.
"Kak Furqan lagi sembunyiin apa sih dari Nur? Kenapa tiba-tiba kayak gini setelah ngelamar Nur di tengah jalan sekarang malah ninggalin lewat telepon," rengek ku.
Karena aku gak bakal sanggup kalau ketemu kamu, Nur!
"Gak ada yang disembunyiin Nur, Kakak cuman tersadar aja. Daripada hubungan kita semakin jauh nantinya lebih baik berhenti sekarang," jawab Kak Furqan.
"Tapi Nur gak mau berhenti Kak, Nur juga gak mau cari yang terbaik. Nur maunya Kak Furqan," tangisku terus terurai memohon padanya.
"Enggak Nur, Kakak gak mau hubungan yang seperti itu. Nanti kamu yang akan capek, Udah ya! Kakak pamit, makasih buat beberapa bulan yang udah jalanin sama Kakak,"
Teleponnya langsung diputus begitu saja oleh Kak Furqan. Aku mencoba menghubunginya kembali tapi nomornya sudah tidak aktif.
Kak Furqan jahat!
Mamah yang mendengarnya langsung masuk ke kamar, "Nur kenapa nangis?"
Aku segera memeluk Mamah dengan tangisan yang belum mereda, "Kak Furqan tiba-tiba putusin Nur, padahal Nur gak buat apa-apa. Dia malah bilang kita gak cocok."
Mamah hanya mengusap punggungku agar tenang. Bang Daffa dan Kak Asya yang mendengarnya di luar juga tidak tega.
"Kakak yakin gak bakal kasih tau Nur?" tanya Kak Asya berbisik.
"Kakak juga gak tega sebenernya Sayang, tapi mau gimana lagi. Furqan nyuruh kita buat sembunyiin semuanya," kata Bang Daffa.
Aku menangis hingga terlelap di pelukan Mamah. Dia keluar dari kamar setelah memastikan aku tertidur.
Bang Daffa masih terdiam di sofa ruang tengah. Dia menoleh lalu menghampiri Mamah yang baru saja menutup pintu kamar.
"Gimana Nur, Mah?" tanya Bang Daffa.
"Syut ... Dia baru aja tidur, matanya merah banget. Mamah gak tega kalau harus pura-pura gak tau tentang apa yang ada dibalik semua ini Daf," keluh Mamah pelan.
"Mau gimana lagi Mah. Daffa juga gak punya pilihan, ini permintaan Furqan untuk kebaikan Nur. Mungkin nanti Nur bisa lupain Furqan," ujar Bang Daffa.
Keesokan paginya,
Aku pergi begitu saja mengendarai motor Abang yang sudah ada di halaman sejak pagi.
"Loh Nur mau kemana?" teriak Bang Daffa.
Aku masuk ke halaman rumah Kak Furqan yang terlihat sepi. Beberapa kali aku panggil sama sekali tidak ada sahutan yang terdengar.
Nenek yang mendengar suaraku dari rumahnya memanggil, "Nur sini!"
Aku menghampiri Nenek yang duduk di teras rumahnya, "mau ketemu Furqan ya?" tanyanya.
"Iya Nek, Kak Furqan-nya kemana ya? Kok rumahnya sepi juga," ujarku.
"Loh emangnya Furqan gak kasih tau kamu kalau mereka pindah ke luar kota?" tanya balik Nenek.
Aku menggelengkan kepalaku dengan bingung, "Nur gak tau Nek, sejak kapan Kak Furqan pindah?"
"Enggak lama setelah pulang dari pantai waktu itu, Mamahnya tiba-tiba mengemas barang lalu mereka pindah semua," jawab Nenek.
"Ya udah kalau gitu gak apa-apa Nek, nanti Nur tanyain lagi aja. Nur pamit ya Nek!"
Aku kembali ke rumah dengan kebingungan. Memarkirkan motor Bang Daffa di halaman begitu saja lalu masuk ke rumah.
"Nur, kamu darimana sih?" tanyanya.
"Bang, Kak Furqan pindah?" tanyaku tiba-tiba membuat Bang Daffa terdiam.
"Bang Daffa pasti tau kan?" sambung-ku.
"Nur, Abang harap kamu bisa lupain Furqan. Dia udah pergi dari kamu," ucap Bang Daffa sembari meraih tanganku.
"Kenapa harus kayak gini sih Bang? Setelah Nur buka hati buat dia, dengan santainya dia ninggalin Nur gitu aja?" protes-ku sembari kembali menangis.
"Kenapa Abang gak benci sama dia? Apa selama ini Abang juga udah tau kalau Kak Furqan bakal ninggalin Nur?" tanyaku beruntun.
Bang Daffa hanya terdiam mendengarnya, dia memutuskan untuk segera berangkat kerja sebelum tersulut emosi.
Aku kembali masuk ke kamar, seharian ini bahkan tidak berniat untuk keluar sedikitpun walaupun hanya untuk makan.
merinding jadinya
jangan sampai thor kasihan si ica